Karut-marut kepastian hukum di industri hulu migas indonesia.



A.               Pendahuluan
Manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memerlukan aturan-aturan yang menjamin rasa keadilan, ketentraman, dan keamanan bersama. Setiap negara memiliki tujuan dan nilai-nilai tertentu yang ingin diperjuangkan. Negara kita pun memiliki tujuan dan nilai-nilai yang merupakan wujud sebuah negara hukum. Dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan kaidah atau pedoman, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis agar tidak salah arah dan menjadi otoriter.
Untuk apa kaidah itu ada?
Kaidah itu diciptakan atau ada untuk menjamin terciptanya ketenteraman dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kaidah yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kaidah hukum yang merupakan pedoman utama dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan bersama dalam suatu masyarakat dan bangsa akan menjadi kacau, manakala tidak didasarkan  pada nilai-nilai dan norma hukum. Tujuan dibuatnya hukum adalah untuk menjaga agar kepentingan tiap-tiap manusia tidak terganggu.
          Kaidah hukum yang sama yang mengatur kehidupan masyarakat umum juga mengatur suatu organisasi atau lembaga atau perusahaan tertentu yang ada di suatu negara. Di Indonesia pun kaidah hukum dipakai untuk mengatur suatu organisasi, lembaga atau perusahaan tertentu. Namun, dalam penerapannya kaidah hukum itu kadang meresahkan banyak orang yang patuh terhadapnya. Salah satu penyebabnya karena adanya ketidakpastian hukum dalam mengatur suatu masalah, sehingga membinggungkan banyak pihak. Kepastian hukum adalah salah satu ciri hukum yang diungkapkan oleh F. M. Suseno dalam bukunya yang berjudul Etika Politik. Menurutnya kepastian hukum pertama-tama berarti kepastian dalam pelaksanaan atau dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Juga termasuk bahwa pengadilan mengambil keputusan melulu berdasarkan penilaian terhadap status masalah yang diperkarakan dan tidak menurut kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu.( Suseno, 1986: 79)
Salah satu persoalan yang menggambarkan ketidakpastian hukum di Indonesia adalah masalah bioremediasi di Industri hulu minyak dan gas (migas) yang menjadi masalah kontroversial. Persoalan ini dinilai kontroversial sebagai akibat ketidakpastian hukum yang berlaku sehingga menjadi persoalan multitafsir dari berbagai pihak/institusi/lembaga negara. Sebagai akibat lanjutan, ketidakpastian hukum menimbulkan persoalan-persoalan baru yang semakin pelik bahkan dapat merugikan kehidupan bersama.
Dalam karya tulis ini, penulis ingin mengkaji secara khusus tentang karut-marut kepastian hukum di industri hulu migas Indonesia. Penulis mencoba melihat pengaruh kekacauan kepastian hukum dalam menyelesaikan kasus bioremediasi di industri hulu migas, yang secara khusus menimpa PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI), dan secara umum berpengaruh bagi industri migas secara keseluruhan di Indoensia.
B.               Karut-marut kepastian hukum di industri hulu migas Indonesia.
 Kata ulang karut-marut berasal dari kata dasar karut yang artinya kusut; kacau tidak keruan, dan termasuk jenis kata sifat.
Karut-marut sendiri memiliki dua arti, arti pertama kata ulang tersebut adalah ‘kusut (kacau) tidak keruan’; ‘rusuh dan bingung (tentang pikiran, hati)’; ‘banyak bohong dan dustanya (tentang perkataan dsb.)’. Dalam kaitannya dengan masalah  kepastian hukum, kata karut-marut  berarti adanya kebinggungan, ketidakjelasan dan kebohongan dalam menegakkan hukum. Karut-marut kepastian hukum berarti situasi yang sangat membinggungkan bagi masyarakat umum karena hukum tidak bisa bersikap tegas dan pasti.
Ketidakpastian hukum dalam kasus bioremediasi di industri hulu migas Indonesia menjadikan masalah sangat pelik dan membingungkan banyak pihak bahkan terjadi perbedaan pandangan antar lembaga negara yang satu dengan lembaga negara negara yang lain.
SKK Migas menjelaskan seharusnya persoalan yang menimpa CPI masuk ke dalam ranah hukum perdata. Alasannya, persoalan itu merupakan permasalahan dalam pelaksanaan kontrak antara CPI dengan kontraktor yang melakukan bioremediasi. Selain itu, SKK Migas juga telah melakukan suspended account, yakni menangguhkan seluruh biaya operasi yang terkait dengan proyek bioremediasi. Dengan begitu, tidak ada kerugian negara, karena dana yang dikeluarkan perusahaan belum dikembalikan melalui mekanisme cost recovery.
          Sementara itu, Jaksa menyatakan 5 orang (Ricksy Prematury sebagai Direktur PT Green Planet Indonesia, bersama Herlan bin Ompo yang juga Direktur PT Sumigita Jaya, dan 3 orang pegawai PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) tersebut didakwa atas dugaan tindak pidana korupsi proyek normalisasi lahan tercemar minyak (bioremediasi) di Kecamatan Minas, Kabupaten Siak, Riau yang dilakukan CPI.
          Kedua pandangan berbeda tersebut sekilas membingungkan banyak orang, belum lagi muncul berbagai pendapat dari para pakar dan ahli yang saling bertentangan. Pakar lingkungan hidup, Dra Masnellyarti Hilman, MSc (Nelly) menilai, mencuatnya kasus bioremediasi PT CPI yang dituding bermuatan korupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) merupakan akibat dari minimnya pengetahuan serta pemahaman aparat penegak hukum tentang kegiatan bioremediasi di industri hulu minyak dan gas bumi (migas).
          Bahkan pakar hukum lingkungan, Asep Warlan Yusuf sudah menjelaskan bahwa penadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak berwenang mengadili kasus bioremediasi. Namun keterangan itu tidak diindahkan oleh jaksa maupun hakim.  Sementara pakar bioremediasi dari Intitut Teknologi Bandung (ITB) Dr Renni Sri Haryati Suhardi menuturkan, dari seluruh proyek bioremediasi yang telah berlangsung di seantero dunia, hanya di Indonesia yang sampai menjadi kasus pidana. “Kalau kasus pidananya pidana lingkungan sih wajar, tapi ini kasus korupsi. Kok tidak nyambung,” tutur Renni yang ikut membidani lahirnya Kepmen LH 128/2003. Bioremediasi sangat penting dilakukan bagi lingkungan. Pasalnya limbah migas yang diperoleh dari eksplorasi dan eksploitasi perlu diolah agar tidak mencemari tanah dari lokasi pengelolaan migas oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Bioremediasi memang menjadi kewajiban agar lokasi pengelolaan migas ini bisa diolah sehingga pencemaran tanah ini bisa dikembalikan seperti semula,"
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan industri hulu migas perlu kepastian hukum sehingga investor bisa menjalankan usahanya dengan tenang. Kepastian hukum yang dibutuhkan adalah adanya ranah publik yang harus diperhatikan dalam kegiatan hulu migas meski kontrak KKKS (kontrak kontraktor kerjasama) dengan pemerintah berupa perdata.
Ketua Komite Tetap Hulu Migas, Firlie Ganinduto mengeluhkan ketidakjelasan interpretasi hukum mengakibatkan iklim investasi terganggu dan investor ragu. "Investasi itu tergantung dari kepastian hukum," ujarnya.
Indonesian Petroleum Association (IPA) sangat prihatin atas keputusan bersalah yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kepada pekerja Chevron Pacific Indonesia (CPI) terkait kasus Bioremediasi. 
IPA dan para anggotanya percaya bahwa kepastian hukum dan regulasi sangat diperlukan untuk menciptakan iklim investasi dan produksi yang stabil.
Keputusan pengadilan telah menciptakan ketidakpastian hukum bagi para anggota IPA karena dalam proses peradilan, dua institusi pemerintah yaitu Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan SKK Migas menyatakan bahwa proyek Bioremediasi yang dilakukan oleh CPI adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 
          Pendapat-pendapat para pakar/ahli/tokoh di atas menggambarkan bahwa betapa suramnya kepastian hukum yang menanggani masalah bioremediasi industri hulu migas yang menimpa PT CPI. Banyak pihak yang meinginkan adanya kepastian hukum dalam menangani masalah ini. Kasus yang menimpa anak usaha Chevron Corporation itu telah memunculkan kegelisahan dan ketidakpastian hukum pada industri migas nasional. Kasus bioremediasi yang menimpa CPI ternyata berdampak luas terhadap industri migas nasional. Para pelaku migas saat ini lebih berhati-hati dalam melakukan aksi korporasinya, karena takut bernasip serupa.
Menurut Frans Magnis Suseno, dalam bukunya yang berjudul Mencari Makna Kebangsaan, agar hukum dapat dilaksanakan dengan pasti maka hukum harus jelas. Hukum harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan hakim harus berpedoman padanya. Penegak hukum bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku sehingga menjamin kepastian hukum dan mencegah kesewenangan penguasa.
Pengaruh karut marut kepastian hukum adalah Penegakkan Hukum dan kepastian hukum di Indonesia belakangan ini dinilai buruk dan menjadi masalah yang sangat pelik. Jika ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum bisa semakin jelek. Carut marut dunia hukum dan peradilan di Indonesia cukup memprihatinkan saat ini. Persoalan bioremediasi di industri hulu migas dinilai sebagai persoalan yang kontroversial sekaligus persoalan yang multitafsir.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini berakibat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia harus berdasarkan ketetapan hukum yang berlaku. Tujuan dari penegakan itu sendiri agar terciptanya kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat. Undang-undang ini sekaligus menegaskan agar hukum itu bertindak sesuai dengan fungsi dan tujuan seharusnya tanpa merekayasa atau pun mengkriminalisasikan sesuatu. Maka tindakan rekayasa atau kriminalisasi merupakan tindakan yang melanggar hukum dan bukan memelihara dan mengembangkan hukum. Hukum harus pasti sehingga tidak menimbulkan aneka tafsir.
Hukum tidak berlaku secara diskriminatif sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 1 mengatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Namun kenyataannya sekarang kepastian hukum sangat jauh sekali dari yang diharapkan, bahkan sering membolak-balikan fakta sehingga tidak mencerminkan adanya kepastian hukum.
Padahal negara ini sudah menjamin kepastian dan perlindungan hukum pada setiap warga negara sesuai Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat 1 mengatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Masalah bioremediasi industri hulu migas dinilai sebagai salah satu bukti adanya ketidakpastian hukum yang terjadi di Indonesia. Jika terdapat kepastian hukum maka tidak mungkin masalah ini menjadi panjang dan bertambah pelik. Maka yang dibutuhkan adalah adanya kepastian hukum dan berjalannya hukum sesuai secara benar dan tepat.
Saat ini, Chevron Pacific Indonesia khawatir tidak dapat memproduksi migas di dalam negeri karena berhentinya fasilitas pengolahan limbah sebagai dampak dari kasus bioremediasi. Alasannya, kasus bioremediasi menyebabkan kontraktor tidak berani melakukan pengolahan limbah produksi yang sangat penting dalam proses pengeboran.
“Kalau tidak diselesaikan secepatnya, limbah produksi akan menumpuk. Kalau sudah menumpuk, kami khawatir harus menghentikan produksinya. Karena nanti dapat menyalahi aturan lingkungan hidup,” jelasnya.
Kepastian hukum yang dibutuhkan adalah adanya ranah publik yang harus diperhatikan dalam kegiatan hulu migas meski kontrak KKKS (kontrak kontraktor kerjasama) dengan pemerintah berupa perdata. Dengan adanya kepastian hukum maka persoalan akan berakhir dan mengembalikan situasi kekwatiran yang dialami banyak pihak, sehingga aktifitas industri dapat berlanjut dan kepastian hukum semakin jelas mengatur masalah bioremediasi di industri hulu migas.

C.               Penutup

          Masalah bioremediasi di industri hulu migas di Indonesia yang menyita  perhatian pihak atau institusi negara adalah akibat dari ketidakpastian hukum yang mengatur hal ini. Akibatnya, terjadi perbedaan pendapat dan tafsir dalam menanggani masalah ini, sehingga menimbulkan keresahan dan kekwatiran banyak pihak yang terkait. Ketidakpastian hukum atau karut marut kepastian hukum mengundang banyak orang untuk membahas dan mencari solusi, agar tidak menyita banyak waktu, tenaga, dan pikiran. Seperti yang ditegaskan oleh Frans M. Suseno dalam bukunya Etika politik bahwa perlu hukum yang jelas dalam mengatur suatu masalah sehingga kepastian hukum tercipta. Maka, solusi yang terbaik dalam menanggani masalah bioremediasi di industri hulu migas Indonesia adalah menciptakan hukum yang jelas demi kepastian hukum dan mencegah terjadinya karut-marut kepastian hukum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng Manggarai: Tombo ca anak koe ata oke le eman

Dasar, Struktur, Fungsi dan Corak Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja Katolik

HUKUM ADAT SUKU ASMAT