PENCULIKAN ANAK DAN TEKNIK INTEROGASI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Penculikan adalah salah satu kejahatan modern yang paling menarik, karena efek psikologis pada tawanan, para penculik dan keluarga tawanan. Penculikan terhadap anak adalah tindak kejahatan yang sangat meresahkan karena mengorbankan anggota masyarakat yang paling tidak berdosa dan paling mampu mempertahankan diri  (Mark Constanzo, 2008;307). Hal ini merupakan alasan yang mendorong  seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan terhadap anak, terutama karena anak-anak tidak mampu mempertahankan diri menghadapi mereka (penculik). Kasus penculikan terhadap anak adalah salah satu bentuk kejahatan yang marak dilakukan orang-orang dewasa.
Maraknya kejahatan terhadap anak seringkali terjadi karena ada kesulitan untuk mengungkapkan pelaku kejahatan itu. Mengungkap penculikan anak tidaklah semudah yang dibayangkan. Thriller "Prisoners" menggambarkan betapa emosi orangtua kadang menyulitkan penyelidikan. Selain emosi, faktor yang paling menghambat dalam mengungkapkan kejahatan sebagaimana yang digambarkan film Prisoners adalah sulitnya mendapatkan  pengakuan bersalah dari tersangka.
Analisis yang cermat terhadap tempat kejadian perkara (TKP) mungkin dapat memberikan bukti-bukti fisik, tetapi arahan dan bukti-bukti yang diungkap dengan menanyai saksi dan tersangkalah yang seringkali menimbulkan keyakinan akan kesalahan tersangka. Jika polisi yakin bahwa seseorang bertanggung jawab atas sebuah tindakan kejahatan artinya, jika orang itu adalah seorang tersangka maka tujuan menanyainya adalah untuk mendapatan pengakuan bersalah darinya (Mark Constanzo, 2008;49).
Tugas polisi adalah menemukan orang yang melakukan tindak kejahatan  dan mengumpulkan bukti yang cukup kuat untuk mendukung keyakinan mereka akan kesalahan tersangka (Mark Constanzo, 2008;49). Berhubungan dengan kasus penculikan dalam film “Prisoners”, Detektif Loki, tidak menemukan cukup bukti untuk menjerat sopir karavan, yaitu pemuda bernama Alex Jones. Oleh karena itu, Detektif Loki bersama kedua orangtua anak yang diculik terus menerus mendesak tersangka, Alex Jones, untuk mengakui perbuatannya dan memberitahukan dimana anak-anak mereka dibawa.
Karena tidak puas dengan kerja Detektif Loki, Keller Dover bertindak main hakim sendiri. Bersama ayah Joy, Franklin, Keller berusaha menginterogasi Alex secara ekstrim. Dengan menyekap dan menyiksanya, Keller menemukan beberapa petunjuk lewat pengakuan Alex. Di lain pihak, Detektif Loki punya cara sendiri untuk menjerat pelaku. Bermodal kemampuan investigasi, polisi muda itu mencoba menghubungkan dengan kasus-kasus penculikan dan pedofilia. Dia justru mencurigai anak muda yang sering membeli baju anak-anak di mal.

Usaha untuk mendesak pengakuan dari Alex Jones terus dilakukan oleh kedua orangtua korban penculikan itu. Mereka menggunakan cara kekerasan untuk mendesak Alex Jones segera mengaku dan memberitahukan keberadaan anak-anak mereka. Tindakan kekerasan yang dilakukan Ayah Anna, Keller Dover terhadap tersangka merupakan tindakan yang tidak dibenarkan jika ditinjau dari teknik-teknik interogasi yang dilakukannya.
Sejak tahun 1961, pengakuan bersalah secara umum dianggap tidak dapat diterima jika dinilai merupakan hasil paksaan berupa siksaan fisik, deprivasi tidur atau makanan, isolasi dalam jangka panjang, ancaman kekerasan, janji mendapat hukuman yang lebih ringan, atau janji dibebaskan dari tuntutan (Mark Constanzo, 2008; 54).
Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai teknik-teknik interogasi untuk mendapatkan pengakuan bersalah atau pernyataan bersalah dari terdakwa atau pelaku kejahatan. Sebelum membahas mengenai teknik-teknik tersebut, terlebih dahulu diuraikan mengenai penculikan anak dan sebab-sebabnya.




BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Definisi Penculikan
Penculikan adalah tindakan menangkap, melarikan, dan menahan seseorang di luar kehendaknya melalui paksaan, melalui tipuan, atau intimidasi. Penculikan adalah  kejahatan yang memiliki beberapa unsur pokok yakni;
1.      Pertama, membawa pergi seseorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara. Misalnya dibawa pergi dari rumahnya atau tempat kostnya atau dari rumah tempatnya menumpang (misalnya rumah keluarganya).
2.      Unsur yang kedua : membawa pergi itu dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain atau untuk membuat dia dalam keadaan sengsara. Artinya selain dibawa pergi diluar kehendak korban, hal itu juga dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum, misalnya diancam, dipaksa, dibohongi dsb.
3.      Sering juga menjadi perhatian masyarakat adalah penculikan anak. Ini diatur dalam pasal 330 KUHP dan pasal 83 UU Perlindungan anak. Bunyi pasal 330 KUHP  “Barangsiapa dengan sengaja menarik seseorang yang belum cukup umur, dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara maksimal 7 tahun”.
4.      Menarik orang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya itu berarti : melepaskan anak itu dari suatu kekuasaan yang sah, misalnya kedua orang tuanya atau wali  atau kekuasaan pemerintah yang sedang membina anak yang dijatuhi tindakan karena melakukan tindak pidana.
5.      Pada dasarnya kedua orang tualah yang memiliki kekuasaan terhadap anak, kecuali ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan salah satu orang tua dicabut kekuasaannya terhadap anak, misalnya karena sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak atau berkelakuan sangat buruk.
2.2. Penculikan Anak
Membebankan kejahatan kepada anak yang tidak bersalah secara berkesinambungan baik sengaja maupun tidak disengaja merupakan tindakan kejahatan moral atau kejahatan kemanusiaan. Salah satu bentuk yang merupakan kejahatan kemanusian adalah penculikan atau melarikan seorang anak dengan maksud tertentu misalnya untuk dibunuh, atau disandera untuk minta tebusan kepada orang terdekat dari si anak (orang tua si anak). Kasus penculikan yang melibatkan anak-anak bisa dijadikan sebagai salah satu tindakan yang dapat menimbulkan masalah pada perkembangan emosi dan kejiwaan mereka. Sebab penculikan dapat menimbulkan trauma mendalam yang terbawa hingga si anak sampai pada masa selanjutnya, yaitu remaja atau dewasa. (Dewi Trismahwati, dalam Harian Rakyat Aceh, 29 Agustus 2007).
Anak butuh kasih sayang dari orang tua atau keluarganya untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar dan layak dalam mengejar masa depannya. Apapun alasan dari kejahatan penculikan anak, berarti perbuatan tersebut telah melanggar ketentuan pidana dan merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia pula.
2.3. Tujuan Penculikan
            Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, mengatakan, setidaknya ada empat tujuan kuat mengapa pelaku melakukan penculikan. Pertama, penculikan yang bertujuan untuk praktik adopsi ilegal. Kedua, latar belakang untuk tebusan. Ketiga, eksploitasi ekonomi dan keempat, penculikan anak yang nanti dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK) anak.



2.5. Teknik Interogasi untuk mendapatkan Pengakuan Bersalah
Untuk pelbagai alasan, polisi lebih menyukai pengakuan bersalah dibanding bukti-bukti dalam bentuk lain. Pertama, pengakuan bersalah menghemat waktu. Persidangan tidak perlu digelar karena tersangkan yang mengaku  bersalah biasanya diputuskan bersalah. Proses pengumpulan bukti, menganalisis bukti-bukti, dan menemukan serta menanyai saksi-saksi, yang berjalan lamban dan membosankan dapat dipersingkat atau bahkan dihindari. Kedua, yang paling penting, sebuah pengakuan bersalah adalah hal terdekat yang diperoleh penuntut untuk menguatkan tuduhannya. Pengakuan bersalah menempatkan tersangka pada jalur cepat menuju keputusan bersalah (Mark Constanzo, 2008;50).
Mendapatkan pengakuan bersalah dari pelaku kejahatan atau tersangka tidaklah mudah. Oleh karena dibutuhkan taktik-taktik atau langkah-langkah yang panjang untuk mendapatkan bukti yang benar dan menerima pengakuan bersalah. Ada sembilan langkah interogasi menurut pendekatan Inbau, Reid, Buckley, dan Jayne.
ü  Langkah pertama, interogator menghadapi tersangkaa dengan ringkasan tindak kejahatan dan bukti-bukti (riil atau tiruan) yang menunjukan bahwa ia terlibat dalam tindak kejahatan yang dimaksud.
ü  Langkah kedua, interogator menawarkan beberapa kemungkinan  excuses (alasan yang dapat dimaklumi)  untuk tindak kejahatan yang dimaksud kepada tersangka. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada tersangka untuk menempatkan beban moral atas kesalahan itu kepada orang lain.
ü  Langkah ketiga, interogator secara persisten memotong pernyataan tersangka yang berusaha mengingkari keterlibatannya dalam tindak kejahatan yang dimaksud, lalu kembali ke moral excuses yang sebelumnya ditawarkan.
ü  Langkah keempat adalah mengatasi penjelasan yang ditawarkan tersangka untuk mendukung pengingkarannya. Misalnya, seorang yang dituduh terlibat perampokan bersenjata mungkin menyatakan bahwa ia tidak memiliki senjata api, atau bahwa ia tidak membutuhkan uang, atau bahwa sikap religiusnya yang kuat mencegahnya untuk melakukan tindak kejahatan semacam itu.
ü  Langkah kelima adalah upaya mengembalikan fokus perhatian tersangka, yang mungkin menarik diri setelah menjalani proses interogasi yang panjang dan intensif. Pada tahap ini, petugas harus tampak tulus dan memahami. Ia mungkin mendekati tersangka dan menyentuhnya, misalnya menepuk bahunya atau jika tersangkanya perempuan, memegang tangannya dengan lembut.
ü  Saat prosesnya mencapai langkah keenam, tersangka biasanya menunjukkan tanda-tanda “menyerah” dan interogator disarankan untuk mempertahankan kontak-mata dengan tersangka dan menggerakkannya ke arah pengakuan bersalah.
ü  Langkah ketujuh adalah menyusun kembali isunya menjadi sebuah pilihan: melakukan tindak kejahatan dimaksud dengan alasan yang kuat atau melakukan tindak kejahatan dimaksud tanpa alasan yang kuat.
ü  Langkah kedelapan adalah mendapatkan pengakuan bersalah penuh.
ü  Langkah kesembilan adalah menuliskan pengakuan bersalah lalu tersangka diminta menandatanganinya (Mark Constanzo, 2008; 59-60).
Selain itu dalam analisis terhadap taktik-taktik interogasi, Saul Kassin dan Karlyn McNall (1991) mengindentifikasikan dua strategi dasar yang digunakan oleh petugas polisi, yaitu maksimalisasi dan minimalisasi. Maksimalisasi dilakukan dengan menekankan kekuatan bukti-bukti yang memberatkan terdakwa dan mengatakan kepada terdakwa bahwa hukumannya mungkin sangat berat jika ia tidak mau mengaku tindak kejahatannya. Minimalisasi dilakukan dengan mengatakan terhadap tersangka bahwa tindak kejahatannya dapat dipahami dan dapat dibenarkan. Kedua macam strategi ini menghindari janji-janji keringanan hukuman yang bersifat langsung. Maksimalisasi menyiratkan ancaman hukuman berat dan minimalisasi menyiratkan janji keringanan hukuman (Mark Constanzo, 2008; 61).



2.6. Pengakuan Bersalah Palsu
Kita tidak tahu – dan mungkin mustahil untuk mengetahui – berapa banyak pengakuan bersalah yang sebenarnya palsu. Banyak terdakwa diputuskan bersalah hanya berdasarkan pengakuan bersalahnya semata. Sebagian diantara mereka yang menyatakan di dalam dan setelah persidangan bahwa pengakuan bersalah mereka sebenarnya palsu – pengakuan bersalah itu adalah hasil tipuan, intimidasi, dan penganiayaan yang dilakukan polisi terhadapnya. Kadang-kadang pengakuan bersalah  tersebut kelak terbukti palsu ketika bukti-bukti fisik membuktikan bahwa si pembuat pengakuan bersalah sebenarnya tidak bersalah atau menunjuk pelaku kejahatan yang sebenarnya. Tetapi, yang jauh lebih sering terjadi, pengakuan bersalah itulah yang dipakai. Biasanya mustahil untuk mengetahui apakah orang yang menyatakan dirinya tidak bersalah benar-benar tidak bersalah. Karena kesulitan ini, estimasi untuk pengakuan bersalah palsu amat sangat bervariasi, yaitu dari hanya 30 sampai 600 kasus per tahun (Kassin, 1997), (Mark Constanzo, 2008; 65).
Hal yang benar-benar kita ketahui adalah bahwa sebagian besar pengakuan bersalah palsu itu adalah pengakuan bersalah yang diperoleh dari orang-orang yang lemah terhadap tekanan situasional yang kuat. Tersangka bisa tidak berdaya atau lemah karena pelbagai macam sebab. Mereka mungkin masih muda, mudah didominasi, di bawah pengaruh obat-obatan, bersikap submisif terhadap penguasa, memiliki kecerdasan rendah, mengalami gangguan jiwa, kurang tidur, atau ketakutan (Mark Constanzo, 2008; 66)






BAB III
ANALISIS
3.1. Analisis Berdasarkan Teori-teori Kepribadian
3.1.1. Teori Psikoanalisa
Menurut teori ini kepribadian seseorang terdiri atas tiga sistem utama, yaitu ID, EGO, dan SUPER EGO. ID adalah sistem utama kepribadian yang berisi segala hal yang bersifat psikologis yang diturunkan dan sudah ada sejak lahir. EGO berkembang karena adanya kebutuhan organisme untuk mengadakan hubungan yang sesuai dengan lingkungan yang obyektif dan nyata.
Tugas ego adalah mengekang dan mengontrol kekuatan-kekuatan dari id dan menjamin kelancaran interaksi individu dengan dunia sekelilingnya;
 SUPER EGO adalah bagian kepribadian yang mewakili unsur nilai dan harapan-harapan masyarakat dan budaya yang telah diserap seorang anak pada masa mudanya melalui hubungan dengan kedua orangtuanya. SUPER EGO merupakan unsur moral dari kepribadian yang dilengkapi dengan hati nurani dan ego ideal. Super Ego berfungsi untuk menghambat impuls-impuls yang berasal dari ID, terutama impuls negatif yang tidak dikehendaki masyarakat. Superego, adalah fungsi mental yang disebut sebagai hati nurani dan merupakan alat keseimbangan (Abdul Djemali, 1984; 81-84).
Jadi, menurut teori ini suatu tindakan menyimpang atau tindak kejahatan merupakan akibat lemahnya fungsi sistem SUPER EGO yang ada dalam diri pelaku. Lemahnya fungsi SUPER EGO mengakibatkan kecenderungan seseorang untuk berperilaku menyimpang semakin besar. Hal ini karena ia hanya mengedapankan Id dan Ego dan tidak mengedepankan hati nurani yang merupaka bagian dari sistem super ego.
Tindakan penculikan anak sebagaimana yang digambarkan dalam film Prisoners merupakan akibat lemahnya peran super ego dalam diri pelaku. Pelaku kejahatan hanya mengedepankan kebutuhan mereka tanpa melihat apakah kebutuhan itu melanggar norma yang ada dalam masayarakat atau tidak.

3.1.2. Teori Behaviourism
Behaviourism bertolak dari anggapan bahwa hampir semua tingkah laku adalah hasil belajar dan diubah dengan belajar. Melalui belajar (learning) seseorang akan memiliki pengetahuan, bahasa, sikap, nilai, ketrampilan, ketakutan, sifat dan kemampuan untuk mawas diri. Dalam meninjau kepribadian, Skinner, salah seorang tokoh ajaran tingkah laku ini, menitikberatkan pandangannya  kepada tingkah laku yang tampak, obyektif, dan dapat diuji secara empiris (Abdul Djemali, 1984; 85-87).
Teori ini menekankan bahwa tindakan seseorang merupakan hasil belajar. Berkaitan dengan kasus penculikan anak dalam film Prisoners dapat dipahami bahwa tindak kejahatan yang dilakukan oleh Alex Jones secara langsung merupakan hasil belajarnya bersama bibinya, Holly Jones. Sejak kecil Alex dibesarkan bersama Holly Jones yang mempunyai kebiasaan menculi anak-anak. Dapat dibayangkan bahwa jika seseorang sejak kecil hingga masa dewasa hidup dalam lingkungan tertentu dimana orang-orang di dalamnya cenderung berperilaku menyimpang maka nilai-nilai menyimpang perlahan-lahan mempengaruhi setiap orang di dalamnya.  Dengan kata lain, seseorang secara pelan-pelan mempelajari apa yang dominan mempengaruhi lingkungannya dan kemudian hasil belajar itu mempengaruhi tingkah laku seseorang.
3.1.3.      Phenomenological Theory
Dalam teori kepribadian, kelompok humanistic mempunyai dasar pandangan ‘phenomenology’. Menurut teori ini, yang dianggap penting untuk diketahui tentang manusia adalah ‘pengalaman seseorang yang sifatnya subyektif’. Rogers mengemukakan bahwa tingkah laku sepenuhnya tergantung kepada bagaimana seseorang mengamati dunianya. Tingkah laku  itu sebagai akibat dari kejadian-kejadian sesaat dari pengamatan yang diberi makna oleh seseorang (Abdul Djemali, 1984; 87-88).
Hasil pengamatan seseorang terhadap dunianya mempengaruhi tingkah laku dalam kehidupannya. Pengamatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan terhadap dunia menyebabkan dia bertindak jahat. Penculikan anak yang digambarkan dalam film ‘Prisoners” merupakan hasil dari pengamatan yang salah oleh para pelaku terhadap dunia. Artinya bahwa mereka berpandangan bahwa anak-anak menjadi objek yang tepat sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
3.2.             Analisis Berdasarkan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pribadi Manusia
3.2.1.      Menurut Kaum Nativisme
Aliran ini dipelopori oleh SCHOUPENHOUR, yang berpendapat bahwa faktor bawaan lebih kuat dibanding faktor luar. Aliran ini didukung oleh aliran Naturalisme yang dipelopori oleh J.J. ROUSSEAU, yang berpendapat bahwa ‘segala yang suci dari tangan Tuhan, rusak di tangan Manusia’. Seorang anak sejak lahir berada dalam keadaan suci, tetapi akibat dididik manusia lain justru menjadi rusak. Dirinya kenal kejahatan, penyelewengan, mencuri, korupsi dan lainnya (Abdul Djemali, 1984; 71-72).
Tindakan kejahatan yang dilakukan para penculik membuktikan bahwa faktor bawaan pada diri manusia padahal tidak lebih kuat dari faktor luar yang diterimanya. Maka teori dari kaum Nativisme tidak cocok jika digunakan untuk menganalis tindak kajahatan yang dilakukan oleh para penculik. Alasannya, tindak kejahatan pada umumnya dipengaruhi oleh faktor luar (lingkungan dan orang-orang di luar dirinya).
3.2.2.      Menurut Kaum Empirisme
Aliran ini dipelopori oleh JOHN LOCKE yang menentang Nativisme dengan teori Tabula Rasa. JOHN LOCKE berpendapat bahwa ‘sejak lahir anak masih bersih seperti tabula rasa dan baru akan dapat berisi kalau dirinya menerima sesuatu dari luar melalui alat inderanya; karena itu pengaruh dari luar lebih kuat dibanding pembawannya’.
Aliran iini didukung oleh J.F. HERBART dengan teori Psikologi asosiasinya, berpendapat bahwa ‘jiwa manusia sejak lahir masih kosong’. Jiwa itu akan berisi kalau alat inderanya dapat menangkap sesuatu kemudian oleh urat syarafnya masuk dalam jiwa dengan kesadarannya. Di dalam kesadaran ini hasil yang ditangkap tadi meninggalkan bekas dan disebut ‘tangapan’. Makin lama indera dapat menangkap rangsang dari luar akan bertambah banyak meninggalkan tanggapan. Di dalam kesadaran itu tanggapannya akan tarik-menarik dan tolak-menolak. Yang tarik menarik merupakan tanggapan sejenis dan yang tolak-menolak merupakan tanggapan tidak sejenis (Abdul Djemali, 1984; 72).
Berdasarkan teori ini maka tindak kejahatan yang dilakukan oleh Alex Jones adalah hasil tanggapan yang diterimanya melalui alat indera. Sebagaimana diketahui bahwa Alex Jones adalah korban penculikan pertama dan ia dibesarkan bersama dengan bibinya yang sering melakukan tindak kejahatan, khususnya penculikan terhadap anak. Maka, selama bertahun-tahun bersama bibinya, Holly Jones, ia menerima banyak banyak hal yang berasal dari luar dirinya. Walaupun Alex memiliki kepribadian yang baik di masa kecil, namun karena banyak menerima hal-hal buruk melalui alat inderanya, perlahan-lahan ia menjadi pribadi yang berperilaku menyimpang.
3.2.3.      Menurut Teori Convergensi
Aliran ini memadukan kedua aliran yang bertentangan (nativisme dan empirisme) dan berpendapat bahwa ‘kedua kekuatan itu sebenarnya terpadu menjadi satu dalam pengaruh-mempengaruhi’. Bakat yang ada pada anak kemungkinan tidak berkembang kalau tidak dipengaruhi oleh segala sesuatu yang ada pada lingkungannya. Dan pengaruh dari lingkungan tidak ada manfaatnya kalau tidak jiwa tidak menanggapi (Abdul Djemali, 1984; 72-73).
Menurut teori convergensi, tindak kejahatan adalah hasil pengaruh-mempengaruhi antara faktor bawaan dan faktor luar. Faktor bawaan yang ada sejak lahir dipengaruhi oleh faktor luar dan keduanya saling mempengaruhi sehingga muncul satu bentuk tindakan yang dihasilkan.
Jika dilihat berdasarkan teori ini, maka tindak kejahatan terhadap anak yang digambarkan dalam film ‘prisoners’ adalah tindakan yang dibuat karena ada perpaduan antara faktor bawaan dan faktor luar yang mendorong pelaku. Faktor bawaannya adalah kondisi mental dan kecerdasan yang rendah pada diri Alex Jones, sedangkan faktor luarnya adalah pengaruh dari bibi pengasuhnya, Holly Jones. Saling mempengaruhi antara kedua faktor tersebut adalah tindakan kejahatan atau penculikan anak yang dilakukan oleh alex jones.
3.2.4.      Faktor sugesti
Sugesti memegang peranan penting dalam kelansungan iinteraksi sosial. Sugesti adalah tanggapan dan pikiran tertentu  yang diterima seseorang tanpa kritik. Yang menjadi ciri utama sugesti adalah pikiran dan tanggapan yang menerima. Tanggapan atau pikiran itu sering mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh lainnya. Sugesti yang terjadi itu dapat berupa; sugesti karena hambatan berpikir, sugesti karena pikiran yang terpecah-pecah,  sugesti karena otoritas atau prestise, sugesti karena mayoritas, dan sugesti karena keinginan untuk menyakini (Abdul Djamali, 1984: 98-100)
Sugesti yang terjadi pada orang yang melakukan tindak kejahatan, dalam konteks ini, kasus penculikan anak dalam film Prisoners, adalah sugesti karena hambatan berpikir dan sugesti karena pikiran terpecah-pecah. Sugesti karena hambatan berpikir terjadi karena pelaku (Alex Jones) menerima saja hal-hal yang dianjurkan oleh orang lain (Holly Jones) karena daya berpikirnya sudah lelah atau proses berpikirnya sedang mengalami rangsang emosional. Sugesti karena pikiran terpecah-pecah terjadi karena pelaku dalam keadaan bingung, karena pikirannya terpecah-pecah.
3.3.            Analisis Berdasarkan Teknik-teknik Interogasi
Berdasarkan teknik-teknik interogasi yang dijelaskan di bab ii, ada tujuh teknik interogasi dan dua strategi yang dilakukan polisi atau interogator untuk mendapatkan pengakuan bersalah dari tersangka atau pelaku kejahatan. Berkaitan dengan kasus penculikan anak dalam film “Prisoners”, ada beberapa langkah yang dipakai oleh Detektif Loki dan Kedua orangtua Anna dan Joy.
ü  Langkah pertama, interogator menghadapi Alex dengan ringkasan tindak kejahatan dan bukti-bukti yang menunjukan bahwa ia terlibat dalam tindak kejahatan yang dimaksud. Salah satu bukti yang menyakinkan polisi adalah adanya mobil Karavan yang parkir dekat TKP. Mobil itu sebelum anak-anak hilang masih berada di depan rumah, tetapi setelah Anna dan Joy hilang mobil Karavan itu juga tidak dilihat lagi.
ü  Langkah kedua, interogator secara persisten memotong pernyataan tersangka yang berusaha mengingkari keterlibatannya dalam tindak kejahatan yang dimaksud, lalu kembali ke moral excuses yang sebelumnya ditawarkan. Langkah ini dilakukan oleh detektif Loki ketika mencoba menginterogasi tersangka (Alex Jones). Polisi memotong penjelasan yang ditawarkan tersangka untuk mendukung pengingkarannya. Detektif Loki berusaha mengatasi pernyataan Alex yaitu bahwa dia tidak mengenal Anna dan Joy, dia tidak menculik anak-anak itu, dan berpura-pura tidak mengetahui kasus penculikan yang  terjadi. Dalam proses interogasi berkali-kali detektif Loki memotong pernyataan Alex yang ingin mengingkari keterlibatannya dalam kasus penculikan anak.
ü  Langkah ketiga adalah upaya mengembalikan fokus perhatian tersangka, yang mungkin menarik diri setelah menjalani proses interogasi yang panjang dan intensif. Langkah inilah yang dilakukan oleh ibu Joy sebelum Alex disekap dalam ruang yang gelap dan sempit. Ibu Joy melakukan pendekatan untuk mengembalikan perhatian tersangka dan menanyakan keberadaan anaknya. Namun, langkah ini ternyata tidak berhasil karena Alex memanfaatkan kebaikan Ibu Joy, sehingga hampir meloloskan diri dari rumah Keller Dover.
ü  Langkah keempat  adalah menyekap Alex dalam ruangan tertutup yang sempit dan gelap. Langkah ini dibuat dengan maksud agar Alex segera mengakui perbuatannya dan memberitahukan keberadaan Anna dan Joy. Selama proses ini, Keller Dover putus asa karena belum mendapatkan pengakuan bersalah dari Alex. Tetapi pada akhirnya karena terus ditekan maka Alex memberitahukan nama tempat dimana Anna dan Joy dibawa.
ü  Langkah kelima  adalah mendapatkan pengakuan bersalah penuh. Sebelum mendapatkan pengakuan bersalah, polisi dan kedua orangtua korban berusaha untuk menemukan  dalang di balik kasus penculikan tersebut. Pada akhirnya mereka yakin bahwa bibi Alex, Holly Jones, merupakan tokoh utama yang melakukan penculikan terhadap anak-anak di Amerika.
Selain itu dalam analisis terhadap taktik-taktik interogasi, Saul Kassin dan Karlyn McNall (1991) mengindentifikasikan dua strategi dasar yang digunakan oleh petugas polisi, yaitu maksimalisasi dan minimalisasi. Maksimalisasi dilakukan dengan menjelaskan adanya bukti-bukti yang kuat akan keterlibatan Alex dalam kasus penculikan anak. Salah satu bukti yang kuat adalah adanya kesamaan antara lirik lagu yang dinyanyilan Alex Jones dengan lagu yang sering dinyayikan Anna dan Joy.  






















BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
            Kasus penculikan terhadap anak merupakan kejahatan yang paling marak dilakukan dewasa ini. Tindak kejahatan ini dilakukan dengan berbagai tujuan, misalnya untuk praktik adopsi ilegal, tebusan, eksploitasi ekonomi dan untuk  dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK) anak.
            Kasus penculikan terhadap anak dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari dalam dan dari luar. Faktor-faktor itu memberi pengaruh yang kuat terhadap pribadi seseorang karena adanya proses belajar yang terjadi secara tidak langsung dan perlahan-lahan. Tindakan kejahatan yang dilakukan seseorang kadang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor luar daripada faktor bawaannya.
Usaha untuk mengungkapan kasus penculikan tidaklah mudah karena ada berbagai hambatan. Sulitnya mendapatkan pengakuan bersalah, emosi yang labil, dan kecemasan yang menyelimuti keluarga korban adalah contoh hambatan yang dihadapi.  Dalam film ‘Prisoners’ usaha polisi dan orangtua untuk menemukan kembali anak-anak yang diculik berjalan alot. Hal itu disebabkan lamanya proses interogasi untuk mendaatkan pengakuan bersalah. Teknik-teknik interogasi telah dilakukan oleh polisi tetapi memakan waktu yang lama untuk sampai langkah yang terakhir, yaitu ketika kasusnya terungkap.
4.2. Saran
·         Bagi orangtua; agar selalu mengawasi dan mengamati anak-anak saat mereka bermain dan mengajarkan anak-anak untuk selalu bermain di rumah dan berhati-hati terhadap orang asing.
·         Bagi polisi; agar lebih tanggap terhadap masalah penculikan dan bekerja secara profesional dalam menemukan pelaku-pelaku penculikan/kejahatan.

·         Bagi mahasiswa; agar semakin kritis menanggapi situasi sosial yang ada dalam lingkungan masyarakat dan mencoba mengkaji masalah sosial itu dengan teori-teori yang diperolehnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar, Struktur, Fungsi dan Corak Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja Katolik

Dongeng Manggarai: Tombo ca anak koe ata oke le eman

HUKUM ADAT SUKU ASMAT