Belajar Mencintai Budaya dan Lingkungan
Rasanya sulit jika seorang yang dibesarkan dalam keluarga yang tertutup dan
bertempat tinggal dalam lingkungan yang serba canggih untuk belajar mencintai
budaya dan lingkungan. Tetapi perasaan itu tidak menjadi halangan bagi kita,
para seminaris yang mengenyam pendidikan di seminari, baik seminari menengah
maupun seminari tinggi. Kecintaan akan budaya dan lingkungan adalah dua hal
yang saling berkaitan. Kebudayaan yang tumbuh dalam masyarakat sangat beraneka
ragam dan dianut oleh berbagai kelompok yang berbeda-beda. Kebudayaan kita
dapat saja berbeda dengan kebudayaan teman, bahkan keduanya saling
bertentangan. Misalnya dalam suatu komunitas ada yang berbudaya Flores, Jawa,
Sumatra, Kalimantan, sulawesi, dan berbagai jenis kebudayaan lain. Mencintai
budaya yang multi bukanlah sesuatu yang mudah, karena mebutuhkan proses belajar
dan interaksi yang lama. Menjadi sulit juga karena kebuyaan yang satu dengan
kebudayaan yang lain ada yang saling bertentangan, bahkan perbedaan itu tidak
mudah disatukan.
Begitu
pula perilaku kita terhadap lingkungan alam sekitar. Berbagai tindakan kita
terhadap alam lingkungan sekitar ada yang berwawasan lingkungan tetapi ada
banyak juga tindakan yang tidak berwawasan lingkungan. Lingkungan alam
merupakan ciptaan Allah yang dijadikan sejak awal mula, dan Allah melihat
ciptaan-Nya itu baik dan indah adanya. Manusia dan budayanya menyebabkan alam
ini rusak, bahkan tidak layak lagi disebut sebagai ciptaan Allah, sebab keindahannya sudah hilang secara perlahan.
Keindahan alam kita semakin hari semakin memburuk. Lingkungan yang indah dan
harmonis telah diciptakan oleh Allah sejak dunia ini dijadikan. Alam dan
lingkungan kita sungguh indah dan harmonis dan memberi inspirasi bagi manusia.
Allah menganggap semua ciptaan-Nya itu
baik dan indah.
Seminari
adalah lembaga pendidikan calon imam, calon pemimpin Gereja masa depan. Menjadi
pemimpin umat merupakan suatu pekerjaan mulia dan besar. Kita mungkin hanya
melihat kesenangan-kesenangan dan kebaikan-kebaikan yang akan kita nikmati saat
kita sudah berada di puncak hidup kita, yaitu menjadi imam atau biarawan. Seorang
pemimpin menjadi bijaksana dan diteladani jika ia mampu mencari jalan keluar dari
persoalan yang sering menjadi penghalang menuju perubahan. Dalam rangka ini,
seminaris sebagai calon imam atau misionaris perlu mendapatkan pendidikan
khusus agar mampu bersikap bijaksana terhadap situasi yang melanda kehidupan
manusia. Sepintas kita melihat ada keganjilan dalam hidup kita terhadap
lingkungan alam, terutama tindakan serakah yang merusak alam. Tetapi hal ini
sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya yang
membiarkan alam rusak. Menjadi tantangan bagi kita sebagai seminaris
untuk mengatasi persoalan seperti ini. Tantangan besar bagi seminaris atau
calon imam adalah bagaimana belajar untuk mencintai budaya yang beraneka ragam
dan lingkungan alam yang seringkali menjadi masalah umum dalam hidup manusia.
Kebudayaan
multikultur adalah tantangan bagi imam untuk melayani Tuhan dan sesama. Tetapi
imam dituntut utuk mempunyai kebudayaan yang multi, menjadi imam yang
multikultur. Proses menuju imam yang multikultur merupakan proses yang panjang
dan memakan waktu yang lama. Proses ini lebih mudah dan akan berhasil jika kita
sebagai seminaris memulainya dari sekarang. Dengan kata lain, harus berawal di
seminari, sebagai tempat kita dididik dan didewasakan. Multikultur adalah
kebudayaan yang beraneka ragam dengan sistem nilai dan norma yang berbeda-beda,
bahkan bertentangan dengan kelompok lain. Menjadi
imam yang multikultur berarti harus mampu beradaptasi dengan beraneka ragam
kebudayaan. Seorang seminaris yang multikultur harus mampu belajar atau
mengenal kebudayaan tertentu secara mendalam. Kebudayaan adalah hasil belajar,
sehingga kebudayaan itu dapat saja berbeda dengan kebudayaan lain, karena cara
seseorang belajar tentang suatu hal berbeda-beda. Proses belajar mengenal
kebudayaan yang beranekaragam adalah bagian dari pendidikan bagi seminaris.
Pendidikan mengenai kebudayaan yang beranekaragam (multikultur) bagi seminaris
bertujuan untuk menyiapkan imam yang
bijaksana, profesional dan tanggap serta solider. Proses belajar ini dapat
dilakukan dengan mempelajari berbagai macam kebudayaan yang ada atau dengan
cara ikut serta menjadi bagian dalam kebudayaan itu. Hal ini menjadi mudah jika
dalam hidup berkomunitas di seminari kita belajar mengenal kebudayaan
teman-teman kita. Dalam suatu komunitas seminari yang kecil saja tentu ada
beraneka macam kebudayaan yang kita amati, apalagi dalam komunitas seminari yang
besar. Hubungan-hubungan sosial yang terus menerus dengan orang lain yang
berbeda kebudayaan dengan kita merupakan proses belajar untuk mengenal
kebudayaannya. Interaksi sosial dengan banyak teman yang masing-masing berasal
dari kebudayaan yang berbeda merupakan suatu proses belajar menjadi imam yang
multikultur.
Interaksi
pengenalan kebudayaan menjadi lebih sempurna jika seminaris tidak hanya
berinteraksi dengan sesama seminaris (interaksi internal), tetapi juga
berinteraksi dengan Gereja secara umum (interaksi eksternal). interaksi
eksternal merupakan wujud nyata dari proses belajar yang mendukung para
seminaris untuk menjadi imam yang
multikultur. Hal ini karena pada seminaris yang nantinya menjadi imam
tidak lagi hidup berkomunitas dengan sesama temannya tetapi akan hidup bersama
umat Allah. Oleh karena itu pendidikan menuju imam yang multikultur dapat
dilakukan dengan melakukan interaksi eksternal, yaitu interaksi untuk mengenal
kebudayaan umat diluar seminari yang beraneka ragam. Tindakan nyata dari proses
pendidikan ini hampir pasti selalu dipraktekkan oleh setiap lembaga calon imam
dalam proses pendidikan yang diterapkan.
Kita
sering mengadakan kunjungan-kunjungan ke paroki, kelompok-kelompok basisi
Gereja atau ke masyarakat umum. Kunjungan-kunjungan seperti ini merupakan
bagian dari proses pendidikan seminari menuju imam yang multikultur. Manfaat
proses pendidikan ini yakni akan meningkatkan
kecintaan seminaris pada aneka budaya yang dipelajari. Selain itu proses
interaksi eksternal ini membantu seminaris untuk bertumbuh menuju imam yang
mampu beradaptasi dengan berbagai macam kebudayaan yang ada. Imam akan mampu
menghubungkan kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain dan menemukan
nilai-nilai positif dari kebudayaan-kebudayaan tersebut untuk membantu
pewartaan sabda Tuhan.
Kita sudah tenggelam dalam pembahsan tentang
kebudayaan dan seminaris. Kita juga sebagai seminaris perlu belajar tentang
lingkungan alam kita. Pembahasan tentang lingkungan mungkin sering kita dengar
atau kita lakukan bersama teman-teman atau guru-guru kita. Sebagai calon imam,
kita harus mampu mempertahankan lingkungan alam kita agar tetap indah dan
harmonis.
Bahwa lingkungan kita ini
sungguh indah ini kiranya tidak perlu dijelaskan. Kita hanya perlu mengamati, mengalami,
dan merefleksikannya saja. Kita juga tidak akan mendalami keharmonisan seluruh
kosmis ini, namun cukuplah kita mendalami alam lingkungan yang dekat dengan
kita seperti tanah, air, udara, flora dan fauna. Jika kita perhatikan dengan
teliti, semua unsur alam lingkungan kita ini memiliki semacam mata rantai
hubungan yang saling menunjang dan menghidupi. Mata rantai ini sudah ada sejak
dunia dijadikan. Lingkungan alam dan manusia mempunyai keterkaitan yang saling
menguntungkan. Apakah suatu waktu mata rantai itu terputus? Jawabannya ada
dalam tangan manusia, juga kita sebagai calon pemipin umat, memegang jawaban
atas pertanyaan ini. Mata rantai dapat saja putus jika kita membiarkan alam
dikelola secara salah, atau jika kita sebagai penguasa alam terus tenggelam
dalam kebiasaan merusak lingkungan alam. Tindakan manusia yang tidak berwawasan
lingkungan bisa mengubah kondisi alam menjadi buruk dan mata rantai yang ada
sejak awal mula akan berubah juga. Lalu bagaimana peran kita (seminaris)
sebagai calon pemimpin gereja menanggapi masalah lingkungan ini?
Di
sekolah kita sering melakukan diskusi tentang kerusakan alam, sebab-sebab dan
akibat-akibatnya. Diskusi yang kita lakukan adalah bagian dari proses
pendidikan kita menuju imam yang berwawasan lingkungan. Mungkin juga kita
pernah melihat lingkungan alam yang rusak, baik melalui televisi, majalah ataupun
melihatnya secara lansung. Pengalaman itu seringkali menggerakkan hati kita
untuk mencari solusi untuk mengatasinya. Sehingga kita seringkali melakukan penelitian
sederhana terhadap masalah yang terjadi dengan tujuan mendapat sebab dan akibat
yang pasti. Tanggapan terhadap masalah kerusakan lingkungan yang kita lakukan
melalui diskusi atau penelitian merupakan proses balajar untuk mencintai
lingkungan alam. Diskusi dan penelitian terhadap kerusakan lingkungan memang
merupakan bagian dari proses belajar untuk mencintai alam, tetapi tindakan kita
akan menjadi bermanfaat jika tindakan nyata untuk menyelamatkan lingkungan kita
lakukan juga. Kebiasaan kita untuk menanam pohon, misalnya, adalah bagian dari
tindakan nyata untuk menyelamatkan alam kita yang terancam rusak dan proses
belajar menuju imam yang berwawasan lingkungan. Kegiatan menanam pohon hanyalah
sebuah contoh. Contoh lain yang merupakan kebiasaan umum para seminaris adalah
kegiatan pembersihan lingkungan, kerja harian untuk menyapu atau kebiasaan membuang sampah pada tempatnya. Kita
mungkin mengaggapnya sebagai tindakan sepele, tetapi kebiasaan seperti ini
merupakan proses belajar menuju imam yang berwawasan lingkungan, imam yang
mencintai lingkungan yang indah dan harmonis.
Daftar pustaka:
Komisi Kateketik KWI. 2004. Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/SMK. Yogyakarta: Kanisius.
Susanto. 2004. Sosiologi
untuk kelas XII.
Komentar