HAM dan Amnesia Nasional
Politik adalah soal kemanusiaan. Politik
tidak hanya berkisar seputar kekuasaan. Ketika politik bersangkutan dengan
kekuasaan, maka kekuasaan itu harus dirayakan demi memanusiakan manusia. Di
situ, politik merahimi manusia-manusia yang bebas berbicara, berekspresi dan
bebas dari ketakutan. Proyek emansipatoris politik ini beralaskan nilai-nilai
kemanusiaan universal. Tanpa nilai universalitas itu, politik hanyalah barisan
cacat kekuasaan yang memperburuk wajah politik itu sendiri.
Politik seharusnya menjadikan manusia
mencintai kehidupan seraya menyatu dengan manusia-manusia lain. Di situ,
politik menjadi perjuangan untuk melahirkan kebaikan bersama. Akan tetapi,
politik real seringkali hadir dalam wujudnya yang paling bengis. Lucian W. Pye
dalam bukunya Asian Power and Politics (1985) menulis, wajah buruk
politik seringkali disebabkan oleh watak kekuasaan yang primitif (primitive
power). Kekuasaan yang primitif adalah serangkaian agresi kekerasaan dan
kekuatan brutal untuk mengintimidasi, yang diasosiasikan dengan perampokan,
penembakan, penculikan dan penjarahan yang meniadakan efektivitas otoritas
sipil.
Akhir-akhir ini, masyarakat kita menggali
kembali sejarah awal masa reformasi yang penuh dengan laku kekuasaan yang
primitif. Masyarakat pencari keadilan memaksa negara untuk mengusut kembali
keterlibatan aktor-aktor militer dalam kasus penembakan mahasiswa Universitas
Trisaksti dan penculikan orang dalam tragedi Mei 1998. Pemaksaan itu terjadi
karena tragedi Mei 1998 adalah peristiwa kebiadaban dengan kekerasan rasial,
sadistis dan brutal. Peristiwa ini adalah sebuah pelanggaran HAM.
Di jelang Pilpres 2014, kasus-kasus
pelanggaran HAM menjadi topik seksi dalam politik kekuasaan. Hal ini terkait
dengan aktor-aktor militer tertentu yang diduga terlibat dalam kasus
pelanggaran HAM tersebut terlibat aktif dalam politik praktis dan Pilpres 2014.
Dalam konteks politik, tragedi Mei 1998 dicurigai jadi jualan politik Pilpres.
Tujuannya adalah mendelegitimasi tokoh-tokoh tertentu dalam Pilpres 2014.
Skeptisme politik tersebut sering kali
bermain dalam konteks perebutan kekuasaan. Akan tetapi, jauh melebihi konteks
politik kekuasaan, kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia sangat penting
untuk bicarakan. Hal ini berkaitan dengan kebenaran sejarah politik dalam
negeri. Dalam perspektif korban, rakyat berhak tahu akan kebenaran di balik
peristiwa pelanggaran HAM, termasuk peristiwa Mei 1998. Di sini, politik harus
berpihak pada sejarah bangsa yang benar.
Keberpihakan pada sejarah yang benar
adalah humanisme. Sastrawan asal Cekoslowakia, Milan Kundera, pernah
mengatakan, “humanisme adalah perjuangan manusia melawan lupa”. Patahan-patahan
sejarah yang tidak ditulis dengan benar akan membentuk peradaban bangsa rapuh.
Di situ, masyarakat akan terus dihantui oleh munculnya opresor-opresor
kemanusian. Itu terjadi karena adanya serpihan-serpihan sejarah yang tidak
lengkap dan pelaku-pelaku kejahatan kemanusian tidak adili.
Keadilan adalah wajah humanisme. Dalam
humanisme itu, setiap manusia punya hak untuk hidup, kebebasan dan kebahagiaan.
Oleh karenanya, setiap tindakan menghilangkan hak-hak tersebut harus berhadapan
dengan proses pengadilan. Ini berlaku untuk para pelaku (by commission) dan
aktor intelektual (by omission).
Terkait tragedi Mei 1998, para pelakunya
masih berkeliaran. Publik menuntut supaya aktor intelektualnya harus juga
diadili. Di sini, negara harus hadir untuk membuka kebenaran sejarah di balik
peristiwa itu. Pemerintah tidak boleh membiarkan dan meninggalkan rakyat dalam
ketidaktahuan dan pembodohan terus-menerus.
Para pemimpin harus menunjukan sikap
tegas terkait pelanggaran HAM. Di tengah situasi masyarakat yang haus akan
keadilan, ketegasan pemimpin juga harus ditunjukan dalam sikap pro akan
keadilan. Dalam hal ini, sikap “Pontius-Pilatisme” (cuci tangan) atas
peristiwa berdarah Mei 1998 hanya akan menciptakan memori kolektif yang kelam dalam
masyarakat.
Pencarian akan keadilan dalam Tragedi
Mei 1998 adalah sebuah alarm lemahnya supremasi hukum. Ketika hukum diletakan
sebagai alas kaki politik, maka chaos sedang tumbuh sebagai bom waktu
demokrasi. Pemimpin adalah seorang demokrat (democratic man) sejati apabila mau
bersahabat dengan keadilan dan kebenaran. Oleh karena itu, pemimpin harus
menjadi orang pertama dalam membela rakyat yang teraniaya oleh opresor-opresor
HAM. Dan, keadilan bagi rakyat apabila pemimpin memiliki keberanian politik
untuk menyelidiki dan mengadili setiap penjahat HAM. Biarkanlah pengadilan yang
membuktikan seseorang terlibat atau tidak terlibat. Hukum bisa memberikan rasa
keadilan. There is no justice without due process of law! Dengan
begitu, dirinya dan bangsa akan terlepas dari beban sejarah yang kelam.
Dengan demikian, politik tidak hanya
dimengerti sebatas mencari kekuasaan dan pemilihan umum, tetapi itikad tulus
untuk keadilan dan peradaban yang lebih baik. Negara sebagai sebuah institusi
politik harus menghadirkan keadilan dalam masyarakat dengan sistem hukum yang
adil juga. Tanpa sistem hukum yang adil, rakyat hanya hadir tanpa negara (stateless
society). Ketika negara gagal menghadirkan hukum yang adil, maka bangunan
negara pelan-pelan runtuh. Bangsa kita akan mengidap apa yang dikatakan oleh
teolog Desmond Tutu sebagai “amnesia nasional”.
Oleh: Alfred Tuname, kolumnis Floresa, pemerhati isu sosial dan politik
Komentar