Membangun Manggarai Raya dari Desa: Bagaimana Peran Pemuda?
Bicara soal pembangunan desa, tentu
bukan menjadi tugas pemerintah semata. Tetapi sudah menjadi tanggung jawab
semua komponen bangsa, tak terkecuali pemuda. Lalu, apakah peran pemuda dalam
pembangunan desa betul-betul bisa diandalkan? Seberapa jauh pemuda memberi
kontribusi dalam pembangunan Manggarai raya secara umum, dan desa secara
khusus? Apa yang mesti ditawarkan oleh pemuda dan seberapa strategisnya dalam
program pembangunan desa?
Kalau kita melihat tapak tilas dan jejak
rekam para pemuda dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka
memiliki sejarah yang cukup bagus. Dalam konteks perubahan sosial Indonesia,
pemuda selalu berada di garda paling depan. Tak jarang pemuda menjadi pemompa
semangat, pencerah pemikiran dan pembakar api perjuangan untuk keluar dari
penjajahan dan keterjajahan. Itulah sebabnya mengapa Presiden pertama Indonesia
Soekarno hanya meminta 10 pemuda saja untuk membangun bangsa ini daripada 1000
orang tua tak berdaya.
Masalah Umum
Pembangunan pada prinsipnya sebuah
proses sistematis yang dilakukan oleh masyarakat atau warga setempat untuk
mencapai suatu kondisi yang lebih baik dari apa yang dirasakan sebelumnya.
Namun demikian, pembangunan juga merupakan proses “bertahap” untuk menuju
kondisi yang lebih ideal. Karena itu, masyarakat yang ingin melakukan
pembangunan perlu melakukan tahapan yang sesuai dengan sumber daya yang
dimilikinya dengan mempertimbangkan segala bentuk persoalan yang tengah
dihadapinya.
Persoalan yang tengah dihadapi desa-desa
dimanggarai raya adalah terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia yang
profesional; belum tersusunnya kelembagaan sosial-ekonomi yang mampu berperan
secara epektif dan produktif; pendekatan top down dan button up yang belum
berjalan seimbang; pembangunan belum sepenuhnya partisipatif dengan melibatkan
berbagai unsur; kebijakan yang sentralistik sementara kondisi pedesaan amat
plural dan beragam; pembangunan pedesaan belum terintegrasi dan belum
komperhensif; belum adanya fokus kegiatan pembangunan pedesaan; lokus kegiatan
belum tepat sasaran; dan yang lebih penting kebijakan pembangunan desa selama
ini belum sepenuhnya menekankan prinsip pro poor, pro job dan pro growth.
Selain itu selama ini desa dilihat
sebagai sebuah obyek pembangunan. Di tingkat makro pembangunan desa bersifat
proyek dan tidak berkelanjutan. Lokasinyapun tidak merata, dan factor politis
sangat berperan. Di manggarai raya praktek-praktek seperti ini sering terjadi,
para politisi memanfaatkan jalur politik untuk merebut bahkan memindahkan
lokasi proyek pemberdayaan masyarakat desa seenaknya.
Kenyataan di atas tentu sangat
mengkhawatirkan kita semua. Mengapa desa yang memiliki kekayaan yang melimpah
dan sumber daya alam yang tak terhitung justru mengalami ketertinggalan.
Padahal pasokan makanan dan buah-buah untuk wilayah perkotaan semuanya berasal
dari desa. Desa memiliki lahan yang luas, wilayah yang strategis, dan kondisi
yang memungkinkan untuk berkarya dan mencipta. Mengingat demikian besarnya
sumber daya manusia desa, di tambah dengan sumber daya alam yang berlimpah
ruah, serta dilihat dari strategi pertahanan dan ke amanan nasional, maka
sesungguhnya basis pembangunan nasional adalah di pedesaan. Sangat disayangkan
sekali bila pembangunan kabupaten di wilayah manggarai raya tidak ditunjang
dengan pembangunan pedesaan.
Undang-Undang Desa
Setelah tujuh tahun, UU Desa akhirnya
disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 18 Desember 2013 dan telah
ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 15 Januari 2014
(UU no 6 tahun 2014 tentang Desa). Ini menjadi penanda mulainya babak baru
dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan di desa.
Selama ini, ketiadaaan dana yang
mencukupi merupakan masalah terbesar yang dihadapi desa untuk melaksanakan
pembangunan di tingkat desa. Desa selama ini banyak bertumpu pada
program-program pembangunan dari pemerintah pusat, karena tidak memiliki
kemandirian yang cukup untuk mengurus dan melakukan pembangunan yang mereka
butuhkan.
Paradigma pembangunan-pun berubah, kini
desa menjadi subjek pembangunan, bukan lagi sekedar objek pembangunan. Dalam
hal ini, pembangunan tidak hanya dari pusat namun beriringan, pembangunan dari
atas dan dari bawah (desa).
Desa akan mendapat dana yang diperoleh
dengan besaran kurang lebih satu miliar rupiah per tahun sebagai dana untuk
menjalankan program pembangunan desa. Pasal 72 ayat 1 huruf c dalam UU
Desa menyebutkan tentang pendapatan desa yang berasal dari bagian hasil
pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota minimal 10 persen.
UU Desa memberikan ruang partisipatif
masyarakat secara aktif dalam pengelolaan keuangan, proses perencanaan program,
implementasi hingga evaluasi program (Pasal 80 dan 82 UU Desa).
Tantangan yang kemungkinan besar muncul
dengan adalah proses politik perebutan jabatan kepala desa menjadi lebih panas.
Dengan gelontoran dana 10% dari APBN yaitu sebesar 59,2 triliun untuk 72 ribu
desa di Indonesia, belum lagi adanya aturan 10% dari APBD, diperkirakan
memancing aktor-aktor potensial desa untuk memperebutkan jabatan desa termasuk
jabatan perangkat desa secara tidak sehat.
Karena itu pengawasan terhadap
penggunaan anggaran yang dialokasikan untuk desa harus terus dilakukan.
Setidaknya, ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam rangka optimalisasi
penggunaan anggaran untuk desa, yakni aspek perencanaan pembangunan, aspek
penggunaan atau implementasi anggaran yang sesuai dengan perencanaan, serta
aspek pelaporan atau pertanggungjawaban penggunaan anggaran.
UU Desa dapat menjadi titik balik dalam
mengembalikan kemandirian desa dalam membangun dirinya secara mandiri. Pemerintah
pusat dan pemerintah daerah perlu melaksanakan dengan baik amanat dalam UU ini.
Jangan sampai UU ini digunakan oleh
sebagian politisi atau partai politik untuk meraup dukungan dalam pemilu yang
sebentar lagi akan digelar. Untuk itu, perlu pengawasan bersama, terutama oleh
masyarakat desa setempat masyarakat sipil terkait pada umumnya
Posisi Strategis Pemuda
Sebelum membahas peran strategi pemuda
dalam proses pembangunan di desa, kita perlu melihat realitas yang terjadi di
manggarai raya. Secara objektif, tiga Kabupaten di Manggarai raya dalam situasi
”krisis”. Krisis dalam arti pemerintah daerah di tiga kabupaten ini sedang
mengalami pathologi atau kondisi sakit yang amat serius. Pemerintahan di
manggarai raya telah mengalami salah urus, rapuh dan lemah. Banyaknya para
birokrat nya yang korup dan belum menunjukan keberpihakannya pada rakyat cukup
membuktikan betapa rapuhnya kondisi pemerintahan di manggarai raya.
Dampak dari salah urus Negara (baca:
Pemkab di manggarai Raya) yang sedang kita hadapi saat ini adalah kondisi
kemiskinan kondisi kemiskinan teresar berada di perdesaan. Kualitas pendidikan
yang masih rendah, banyak warga yang tidak bisa melanjutkan pendidikan. Kondisi
ini diperparah dengan ketersediaan pangan yang semakin terbatas. Krisis sosial
juga berdampak pada memudarnya nilai-nilai dan ikatan kohesifitas warga. Ada
kecendrungan nilai-nilai gotong royong, praktik swadaya mulai melemah seiring
dengan memudarnya budaya lokal yang semakin tergerus oleh budaya lain.
Maka dalam rangka memperbaiki kondisi
krisis ini keberadaan pemuda sebagai penggerak perubahan sangat strategis dalam
UU Desa. Pemuda dapat berperan aktif disetiap aspek mulai dari aspek
perencanaan, implementasi dan pengunaan anggaran.
Keberhasilan pembangunan desa pada
akhirnya berarti juga keberhasilan pembangunan nasional. Karena desa tidak
dipungkiri sebagai sumber kebutuhan warga perkotaan. Dan sebaliknya
ketidakberhasilan pembanggunan pedesaan berarti pula ketidakberhasilan
pembangunan nasional. Apabila pembangunan nasional digambarkan sebagai suatu
titik, maka titik pusat dari lingkaran tersebut adalah pembangunan pedesaan.
Antara desa dan kota memerlukan pembangunan yang seimbang dan merata dan pemuda
memiliki peran penting dalam pencapain cita-cita besar tersebut. Mari terlibat
dalam pembangunan desa. Salam Pemuda!!
Oleh: Chelluz Pahun, Pemuda Labuan Bajo-Manggarai Barat, saat ini bekerja pada lembaga Riset The Institute for ECOSOC Rights-Jakarta
Komentar