SIKAP MELAWAN HUKUM SEBAGAI AKIBAT DISORIENTASI HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang.
Sejak awal sejarah pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi dalam masyarakat, persoalan kaidah atau norma merupakan jelmaan yang dibutuhkan dalam upaya mencapai harmonisasi. Secara empirik sosiologis, kaidah atau norma adalah tuntutan atau kunci dalam mencapai stabilisasi interaksi sehingga pelanggaran akan kaidah atau norma  akan dijatuhi hukuman atau sanksi sosial.
Kaidah hukum yang bersumber dari kaidah sosial merupakan payung kehidupan dalam masyarakat. Menurut Saifullah, dalam bukunya yang berjudul Refleksi Sosiologi Hukum, masyarakat yang tidak beradab adalah masyarakat yang tidak mempunyai kaidah sosial, atau masyarakat yang mengingkari  atau menyimpang dari kaidah sosial tersebut. Dalam sejarah kehidupan manusia hal ini telah banyak dibuktikan.
Interaksi kehidupan manusia dalam masyarakat sepanjang perjalanan hidup tidak ada yang berjalan lurus, mulus, dan aman-aman saja. Sepanjang kehidupan manusia, persengkataan, kejahatan, ketidakadilan, diskriminasi, kesenjangan sosial, konflik SARA dan sebagainya adalah warna-warni dari realitas yang dihadapi. Persoalan-persoalan tersebut semakin berkembang dalam modifikasi lain akibat pengaruh teknologi globalisasi akan semakin canggih setua usia bumi.
Manusia pun menyadari bahwa ketenangan dan ketentraman hidup tidak akan tercapai tanpa kesadaran pada diri untuk berubah, memperbaiki perilaku selain dukungan masyarakat untuk memulihkannya. Secara kodrati, hak esensial ini akan dicapai apabila masyarakat “menyediakan” perangkat kontrol, pengawasan sosial, baik itu berupa peraturan tertulis maupun  tidak tertulis, kelembagaan penerap sanksi maupun bentuk-bentuk kesepakatan masyarakat yang menjalankan fungsi tersebut.
Namun, segala bentuk persoalan yang ada di masyarakat tidak sekadar mengganggu ketenangan dan ketentraman hidup manusia. Dalam konteks hukum, persoalan itu dapat menyebabkan terjadinya keruntuhan hukum. Kondisi itu kemudian membentuk masyarakat anomi, masyarakat yang bertindak semaunya karena ketiadaan hukum yang mengatur. Selanjutnya, kekosongan hukum  sangat berdampak negatif bagi kehidupan sosial manusia, dalam setiap aspeknya. Maka dari sinilah keruntuhan hukum akan segera terlihat secara perlahan-lahan dan pada akhirnya hukum di sebuah negara tinggal sebuah nama belaka.
Ketiadaan  hukum adalah akibat yang terjadi ketika banyak orang melawan hukum. Sikap itu tentu muncul karena tingkat kesadaran hukum yang sangat rendah. Selain kesadaran yang rendah, perilaku para penegak hukum yang lalai dalam menegakkan hukum, membuat masyarakat tidak percaya terhadap hukum. Kalau masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap hukum negara, berarti kerusakan hukum akan mengakibatkan kerusakan semakin luas lagi, tentunya kerusakan hukum akan menimbulkan kerusakan di segala aspek tatanan realita kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengapa ada sikap skeptis terhadap hukum? Sikap tersebut lahir dari kenyataan bahwa hukum tidak lagi hadir sebagai “panglima” tetapi sebagai trouble maker. Bentuk kejahatan bertopeng hukum seperti; yudisial crime, activism crime, lawyer crime cukup untuk menggambarkan kenyataann hukum yang keluar dari dirinya sendiri yang adalah paglima.
Sikap melawan hukum tentu saja sangat berhubungan langsung dengan proses terjadinya keruntuhan hukum yang merupakan awal dari disorientasi hukum. Dalam karya tulis ini kami akan membahas masalah keruntuhan hukum yang disebabkan oleh disorientasi hukum dan pada akhirnya bermuara pada sikap melawan hukum. Oleh karena itu, penulis merumuskan judul : SIKAP MELAWAN HUKUM SEBAGAI AKIBAT DISORIENTASI HUKUM. Kami ingin mengkaji lebih jauh tentang masalah keruntuhan hukum di Indonesia yang disebabkan oleh disorientasi hukum yang nantinya menyebabkan lahirnya berbagai bentuk sikap melawan hukum.

1.2.Rumusan Masalah
A)    Apa itu sikap melawan hukum dan disorientasi hukum
B)    Bagaimana hubungan keruntuhan hukum dengan disorientasi hukum
1.3.Tujuan Penulisan
A)    Mendeskripsikan hakikat sifat melawan hukum dan disorientasi hukum
B)    Mendeskripsikan hubungan sikap melawan hukum dan disorientasi hukum
1.4.Manfaat Penulisan
A)    Bagi penegak hukum, agar semakin konsisten dan tegas dalam menegakkan keadilan dan kepastian hukum, sehingga masyarakat patuh dan taat hukum.
B)    Bagi pemerintah, agar lebih tegas dalam mengurus masalah hukum yang terjadi di Indonesia sehingga tidak menimbulkan masalah yang lebih kompleks yang menganggu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
C)    Bagi masyarakat, agar semakin menyadari hak dan kewajibannya sebagai sebagai warga negara yang baik, sehingga tidak bertindak di luar ketentuan undang-undang (melawan hukum)
D)    Bagi penulis, agar mampu menerapkan teori-teori  yang telah diperoleh dalam mengkaji masalah-masalah hukum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Hukum
2.1.1.      Menurut Emanuel Kant
Hukum adalah keseluruhan  dari syarat-syarat yang memungkinkan  terdapat persetujuan kesewenang-wenangan  (yaitu kebebasan  sebagai kebebasan pilihan) yang seorang dengan kesewenang-wenangan yang lain dapat sesuai menurut suatu undang-undang umum tentang kebebasan. Hukum adalah pembatasan kebebasan dari setiap orang untuk menjadikannya sesuai dengan kebebasan semua orang. (Scheltens,1984; 66)
2.1.2.      Ridwan A. Halim
Hukum ialah sekelompok atau sekumpulan peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bidang-bidang kehidupan yang mencakup pengaturannya di suatu wilayah tertentu pada waktu atau masa tertentu. (Ridwan Halim, 2007;2) 2
2.2.      Definisi Sikap Melawan Hukum
Dalam karya tulis ini, yang dimaksud dengan sikap melawan hukum adalah suatu perbuatan yang mengandung unsur atau sifat melawan hukum. Oleh karena itu, kami mendefinisikan sikap melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum (tertulis dan kebiasaan/adat) karena mempunyai sifat melawan hukum.
Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada pasal 1 KUHP. Dalam Bahasa Belanda sifat melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder = bertentangan dengan, melawan; recht = hukum). Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga pendirian:
a)      bertentangan dengan hukum (Simons)
b)      bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang lain
c)      tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum (H.R).
Unsur melawan hukum ini merupakan suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan bukan terhadap si pembuat. Dalam bahasa Jerman ini disebut “tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male, ialah masing-masing unsur dari rumusan delik.
Pengecualian atas tasbestand mer male, dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi rumusan delik (tatbestandsmaszig) itu tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan perintah undang-undang (ps. 50 KUHP).
Pengertian lain yang disebutkan dalam KUHP untuk memberikan pengertian terhadap sifat melawan hukum ini adalah dengan menyebutnya sebagai “tanpa hak” atau “tidak berhak” atau “tanpa wenang”.
2.2.1. Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum.
Di dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana, Moeljatno membagi ajaran sifat melawan hukum menjadi dua yaitu :

1)      Sifat melawan hukum formil.
Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang; sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).
Dalam sifat melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan :
a)      Perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut diancam pidana karena memenuhi unsur rumusan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, dalam ajaran ini, yang dimaksud dengan sifat melawan hukum adalah melawan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis).
b)      Perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut hanya dapat dihapuskan dengan suatu ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, alasan pembenaran hanya boleh diambil dari peraturan perundang-undangan (hukum tertulis).
2)      Sifat melawan hukum materiil.
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gezetzlich). Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila.

2.2.2. Unsur Melawan Hukum
Dari berbagai rumusan tindak pidana, Moeljatno menyimpulkan dan membagi unsur melawan hukum menjadi 2 (dua) macam, yakni melawan hukum yang objektif dan melawan hukum yang subjektif.
Secara ringkas, melawan hukum yang objektif menurut Moeljatno adalah melawan hukum yang berkaitan dengan perbuatannya sehingga menjadikan perbuatan tersebut terlarang, apakah melawan hukum dijadikan unsur tersendiri atau tidak. Kemudian Moeljatno juga mengatakan bahwa apabila sifat pantang dilakukannya perbuatan sudah tampak begitu wajar maka tidak perlu diadakan unsur tersendiri, yaitu kata-kata yang menunjukan bahwa perbuatan adalah bertentangan dengan hukum. Namun adakalnya kepantangan dilakukannya perbuatan tersebut belum cukup jelas dengan unsur-unsur yang ada maka dianggap perlu untuk menambahkan unsur melawan hukum di dalam rumusan pasal tersebut.
 Sedangkan melawan hukum yang subjektif merupakan melawan hukum yang berkaitan dengan segala sesuatu yang ada dalam diri pelaku, maksudnya adalah suatu perbuatan baru akan menjadi terlarang apabila adanya niat yang buruk dari pelaku perbuatan tersebut. Sifat melawan hukumnya tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi digantungkan kepada sikap bathin pelaku (Moeljatno, 2008, 67-69).
Dari pengertian sifat melawan hukum dan pembagiannya di atas, maka dapat dinyatakan bahwa sifat melawan hukum memiliki 4 (empat) makna. Pertama, sifat melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakukan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela; kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik, dengan demikian sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan; ketiga, sifat melawan hukum formil mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah terpenuhi; dan keempat, sifat melawan hukum materiil mengandung 2 (dua) pandangan, pertama dari sudut perbuatannya yang mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik, dan kedua dari sudut sumber hukumnya, dimana sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat (Eddy OS Hiariej, www.unisosdem.com).
2.2.5. Sebab sifat melawan hukum
2.2.5.1. Kesadaran Hukum Lemah
Kesadaran hukum pada hakikatnya merupakan kesadaran  tentang diri kita sendiri, di dalam mana kita melihat diri kita sendiri berhadapan dengan hukum. Orang yang memiliki kesadaran hukum berarti orang tersebut  yakin akan cita-cita kebaikan  yang setinggi-tingginya. Keyakinkan itulah yang menjadi tempat bagi jalinan nilai-nilai bergumul dalam benak  dan sanubari manusia. Orang yang merasakan dan mengalami keyakinan bahwa suatu perbuatan yang konkrit harus dilakukan atau sama sekali tidak boleh dilakukan. Maka, kesadaran hukum pada hakikatnya merupakan keyakinan akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia  tentang hukum yang pernah ada, yang ada dan yang akan ada. Selain itu, jalinan nilai-nilai dalam diri manusia itu merupakan refleksi terhadap akibat dari  proses interaksi sosial yang kontinu dan dinamis, dalam rangkamemilih arah kehidupan sosial.
Dalam situasi yang konkrit kesadaran hukum akan menjelma  dalam bentuk kepatuhan  atau ketaatan terhadap hukum. Kepatuhan terhadapa hukum  begitu bergantung pada pertumbuhan akal, kemauan dan rasa seseorang. Ada orang yang patuh terhadap hukum karena takut dengan hukuman, ada yang patuh terhadapa hukum karena demi kesedapan hidup bersama, ada yang karena sesuai dengan cita hukumnya, ada pula yang karena kepentingan. Namun, pada akhirnya, jika kesadaran hukum itu datang, orang hanya mempunyai dua pilihan, mau menerima atau menolak.
Konsekunsi psikologis dari adanya kesadaran moral atas hukum itu, bahwa kesadaran itu menggugah timbulnya rasa wajib, yaitu: 4
1.      Wajiib berbuat baik
Pengertian wajib di sini, timbulnya dari dalam jiwa yang sadar, untuk memenuhi atau memikulnya dengan penuh sadar, untuk memenuhi dan memikulnya dengan penuh tanggung jawab, jadi bukan karena adanya faktor paksaan atau mengharapkan sanjungan dari orang lain.
2.      Bahwa kesadaran moral atas hukum itu, menggugah rasa kemanusiaan
Timbulnya kejahatan antara seorang dengan yang lainnya, itu disebabkan oleh bukan rasa berkemanusiaan itu yang  ditonjolkan, tetapi nafsu hewani; nafsu hewani ini biasanya tidak kenal kompromi. Lawan dari nafsu hewani adalah rasa kemanusiaan yang mendorogn untuk tidak melakukan pelanggaran ataupun kejahatan terhadapa orang lain.
3.      Rasa Introspeksi
Yakni sebagai kesadaran untuk melihat ke dalam jiwa sendiri. Kesadaran ini akan membuat orang untuk berbuat lebih baik terhadap hukum (Erwin, Mohamad.2011;135-137)
2.3.            Apa itu disorientasi hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia  disorientasi adalah kekacauan kiblat; kesamaran arah, kehilangan daya untuk mengenal lingkungan, terutama yang berkenaan dengan waktu, tempat, dan orang. Sementara pengertian hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.
Dari kedua pengertian tersebut, maka disorientasi hukum dapat diartikan sebagai kekacauan atau kesamaran arah sebuah hukum, sehingga tidak dapat lagi menjadi alat pengatur pergaulan hidup masyarakat.        
BAB III
MELAWAN HUKUM DAN KERUNTUHAN HUKUM
Ketika hukum sudah menjadi permainan para mafia peradilan, apalagi hukum sudah tidak mempunyai kekuatan dalam menghukum dari segala bentuk sebuah tindak kejahatan. Maka dari sinilah keruntuhan hukum akan segera terlihat secara perlahan-lahan dan pada akhirnya hukum di sebuah negara tinggal sebuah nama belaka. Keberadaan hukum sudah seharusnya mampu menjadikan tempat pengayom bagi realita kehidupan masyarakat secara universal, supaya masyarakat mendapatkan hukum yang seadil-adilnya, tetapi kalau hukum sudah mengalami kerusakan terlebih dahulu dalam melakukan sebuah upaya peradilan, tentunya kerusakan hukum akan terlihat secara nyata di tengah-tengah realita kehidupan masyarakat secara menyeluruh,
Perbaikan hukum sangat dibutuhkan dalam membangun sebuah masyarakat yang jauh dari tindakan destruktif, tetapi kalau hukum negara sudah tidak mempunyai kewibawaan di mata masyarakat luas. Maka yang terjadi keruntuhan hukum akan terlihat semakin mempengaruhi kondisi kehidupan masyarakat. Sehingga di dalam realita kehidupan masyarakat dapat terjadi sebuah ketidak-percayaan terhadap hukum negara yang berlaku.
Kalau masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap hukum negara, berarti kerusakan hukum akan mengakibatkan kerusakan semakin luas lagi, tentunya kerusakan hukum akan menimbulkan kerusakan di segala aspek tatanan realita kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dari sinilah hukum harus ditegakkan, untuk mewujudkan sebuah realita kehidupan berbangsa dan bernegara, supaya dapat terjadi kondisi yang kondusif di segala aspek realita kehidupan masyarakat secara universal.
Permasalahan keruntuhan hukum negara tidak dapat dipandang sebelah mata, apalagi hukum negara sampai diremehkan begitu saja. Karena kalau sampai hukum negara direndahkan, tentunya keruntuhan hukum negara dapat mengakibatkan sebuah kerusakan dalam bentuk sendi-sendi realita kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi. Bahkan, apabila keruntuhan hukum negara benar-benar terjadi, tentunya akan menimbulkan sebuah bentuk hukum rimba di tengah-tengah realita kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keruntuhan wibawa hukum merupakan sebuah kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi realita kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka untuk itulah peran masyarakat dalam membangun sebuah hukum sangat dibutuhkan, terutama bagi pemerintah sebagai pengelola negara harus berani menjalankan hukum tanpa pandang bulu, bukan malah yang terjadi pemerintah sebagai pengelola negara melakukan tindak mengangkangi sebuah hukum negara itu sendiri.
Lembaga peradilan sudah saatnya tidak tebang pilih dalam melakukan sebuah upaya penegakan hukum, supaya hukum negara dapat kembali berwibawa di tengah-tengah realita kehidupan masyarakat secara universal. Membangun hukum negara merupakan sebuah keharusan di dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara, supaya hukum negara kembali tegak dan berwibawa di seluruh bumi Indonesia raya.

2.1.6. Dampak keruntuhan hukum
a.  Ketidakadilan
Ketidakadilan adalah lawan dari keadilan. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Ciri atau sifat adil dapat diikhtisarkan makna sebagai berikut; adil (just), bersifat hukum (legal), sah menurut hukum (lawful), tidak memihak (impartial), sama hak (equal), layak (fair), wajar secara formal (equitable), benar secara moral (righteous).
Tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatannya. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat merupakan tujuan hukum satu-satunya. Contohnya ditunjukkan oleh seorang hakim Indonesia, Bismar Siregar dengan mengatakan, bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan (Erwin, Muhammad. 2011;218)3
Lalu, keadilan itu sendiri apa sesungguhnya?
Pertanyaan ini antara lain dijawab oleh Ulpianus (200 M), yang kemudian diambil alih oleh Kitab Justianus, dengan mengatakan bahwa keadilan ialah kehendak yang ajeg (terpola) dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (iustitia est constans et prepetua voluntas ius suum cuique tribuendi).
Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan  kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang  tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktivitas lagi.
Aristoteles menyatakan keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Aristoteles menyatakan bahwa adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaituyang semestinya. Disini juga ditunjukan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebihdari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.
Yang memang harus dikatakan ialah  bahwa  hukum  yang tidak adil menyimpang dari arti yang sesungguhnya.
b. ketidakpastian
c. Kekacauan
Kekacauan adalah lawan dari ketertiban. Secara konsepsional, ketertiban itu sendiri dapat dimaknai sebagai keadaan yang serba teratur baik, yang oleh C.J.M. Schuyt, keadaan itu dicirikan dengan adanya: (1) dapat diperkirakan, (2)kerja sama, (3) pengendalian kekerasan, (4)kesesuaian, (5) langgeng, (6) mantap, (7) berjenjang, (8) ketaatan, (9) tanpa perselisihan, (10) keseragaman, (11) kebersamaan, (12) ajeg, (13) suruhan, (14) keberurutan, (15) corak lahir, (16) tersusun.5
Oleh sebab itu, ketertiban adalah nilai yang menghendaki keadaan yang teratur, karena berdasarkan ciri-cirinya tadi di atas.  Ketertiban merupakan nilai yang mengarahkan  pada tiap-tiap individu untuk bersikap dan bertindak yang seharusnya agar keadaan yang teratur tersebut dapat dicapai dengan baik.
2.1.7. Proses keruntuhan hukum
2.2. Usaha-usaha meningkatkan kesadaran hukum
Pada umunya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan  para warga masyarakat mematuhi ketentuan  peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebalinya, apabila kesadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah. Pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukum dalam masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat. Pernyataan yang lain adalah kesadaran masyarakat terhadap hukum mempunyai beberapa masalah diantaranya: apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak di dalam masyarakat. Misalnya, pada umumnya, masyarakat yang mendiami kota palu pada tahun 80-an membangun rumah tanpa IMB (Izin Membangun Bangunan) sehingga sebagian jalan yang ada ditemukan mengikuti rumah. Akibatnya, jalan-jalan itu sebagian tidak lurus. Contoh dimaksud, menunjukan rendahnya kesadaran warga masyarakat terhadap izin mendirikan bangunan (IMB) di kota Palu.
Fungsi hukum sangat amat tergantungpada efektivitas menanamkan hukum tadi, reaksi masyarakat dan jangka waktu untuk menanamkan hukum dimaksud. Misalnya, apabila ada peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan maka pertama-tama yang perlu dilakukan adalah pengumuman melalui macam-macam alat mass media. Kemudian, perlu diambil jangka waktu tertentu untuk menelaah reaksi dari masyarakat. Apabila jangka waktu tersebut telah lampau, barulah diambil tindakan yang tegas terhadap para pelanggarnya. Bila cara tersebut ditempuh,warga masyarakat akan lebih menaruh respons terhadap hukum termasuk penegak dan pelaksanaanya.
Dengan demikian, masalah kesadaran hukum warga masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu  diketahui, dipahami, ditaati, dan dihargai? Apabila warga masyarakat hanya mengetahui  adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah dari mereka yang memahami, dan seterusnya. Hal itulah yang disebut legal consciousness atau knowlegde and opinion about law. Hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran hukum akan diuraikan sebagai berikut:
1.      Pengetahuan Hukum
Bila suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan dan diterbitkan menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis peraturan perundan-undangan itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa setiap warga negara masyarakat dianggap mengetahui adanya undang-undang tersebut. Namun, asumsi tersebut tidaklah demikian kenyataannya.
Pengetahuan hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan  mengenai pengetahuan hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mengetahui pengetahuan hukum yang benar. Sebaliknya, bila pertanyaan-pertanyaan dimaksud tidak dijawab dengan benar, dapat dikatakan masyarakat itu belum atau kurang mempunyai pengetahuan hukum.
2.      Pemahaman Hukum
Apabila pengetahuan hukum saja dimiliki oleh masyarakat, hal itu belumlah memadai, masih diperlukan pemahaman atas hukum yang berlaku. Melalui pemahaman hukum, masyarakat diharapkan memahami tujuan peraturan perundang-undangan serta manfaatnya bgi pihak-pihak  yang kehidupannya diatur oleh peraturan perundang-undangan dimaksud.
Pemahaman hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pemahaman hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mempunyai pemahaman hukum yang benar. Sebaliknya, bila pertanyaan dimaksud tidak dijawab dengan benar, dapat dikatakan bahwa masyarakat itu belum memahami hukum.
3.      Penataan Hukum
Seorang warga masyarakat menaati hukum karena pelbagai sebab. Sebab-sebab dimaksud, dapat dicontohkan sebagai berikut:
a.       Takut karena sanksi negatif, apabila hukum dilanggar
b.      Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa
c.       Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya
d.      Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
e.       Kepentingan terjamin
Secara teoritis, faktor keempat merupakan hal yang paling baik. Hal itu disebabkan pada faktor pertama, kedua, dan ketiga, penerapan hukum senantiasa harus diawasi oleh petugas-petugas tertentu, agar hukum itu benar-benar ditaati di dalam kenyataannya. Dalam hal ini, seyogianya ada suatu penelitian yang mendalam mengenai derajat ketaatan terhadap Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.
4.      Pengharapan terhadap hukum
Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya. Hukum tidak saja berkaitan dengan segi lahiriah dari manusia, kan tetapi juga dari segi batiniah.
5.      Peningkatan kesadaran hukum
Peningkatan kesadaran hukum seyogianya dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu, misalnya peraturan perundang-undangan tertentu mengenai zakat, pajak, dan sebagainya. Peraturan dimaksud, dijelaskan melalui penerangan dan penyuluhan hukum, mungkin hanya perlu dijelaskan pasal-pasal tertentu dari  suatu peraturan perundang-undangan, agar masyarakat merasakan manfaatnya. Penerangan dan penyuluhan hukum harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang ada dalam masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran penyuluhan hukum.
Penyuluhan hukum merupakan tahap selanjutnya dari penerangan hukum. Tujuan utama dari penerangan dan penyuluhan hukum adalah agar warga masyarakat memahami hukum-hukum tertentu, sesuai dengan masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi pada suatu saat. Penyuluhan hukum harus berisikan hak dan kewajiban di bidang-bidang tertentu, serta manfaatnya bial hukum dimaksud tertentu.
Penerangan dan penyuluhan hukum menjadi tugas dari kalangan hukum pada umumnya, dan khususnya mereka yang mungkin secara langsung berhubungan dengan  warga masyarakat, yaitu petugas hukum.  Yang disebutkan terakhir itu diberikan pendidikan khusus, supaya mampu memberikan penerangan dan penyuluhan hukum. Jangan sampai terjadi petugas-petugas itulah yang justru memanfaatkan hukum untuk kepentingan pribadi, dengan jalan menakut-nakuti warga masyarakat yang awam terhadap hukum.
·         Kesadara Hukum masyarakat sebagai basis penegakan hukum
Mempertanyakan kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya mempertanyakan juga aspek penegakan hukum. Telaah yang pernah dilakukan oleh soerjono sukanto tentang kesadaran  dan kepatuhan hukum di tahun 1982, membuak pintu kajian semakin jelas akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mematuhi secara sadar konsepsi hukum yang telah  disahkan dan dilaksanakan secara konsekuen  dalam komunikasi/hubungan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, bahkan berpolitik.
Sejak awal tidak ada kesepakatan yang jelas tentang konsepsi kesadaran hukum. Juga dipertanyakan apakah kesadaran hukum sama dengan perasaan hukum. J.J. von Schimd (1965) memberi ulasan tentang perasaan hukum, yaitu bahwa penilaian hukum yang timbul secara serta-merta dari masyarakat.  Sedangakan kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukannya melalui penafsiran secara ilmiah.
Paul Scholten (1954) menyebutkan kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum  yang ada atau tentang hukum yang diharapakan ada, sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap suatu kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
Munculnya  kesadaran hukum didorong oleh sejauhmana kepatuhan kepada hukum yang didasari oleh: indoctrination, habituation, utility dan group identification (bierstedt, 1970). Proses itu terjadi melalui internalisasi dalam diri manusia. Kadar internalisasi inilah yang selajutnya memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia atas persoalan penegakan hukum. Soerjono Sukanto (1982, 1993) menyatakan terdapat empat indikator kesadaran hukum  yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: faktor hukumnya sendiri (UU), faktor penegak hukum, faktor sarana/fasilitas, faktor kesadaran hukum masyarakat, dan faktor kebudayaan.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2006. Sosiologi Hukum.  Jakarta: Sinar Grafika.
Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.
Erwin, Muhamad. 2011. Filsafat Hukum (Refleksi Kritis terhadap Hukum). Jakarta: Rajawali Pers.
Halim, Ridwan. 2007. Pengantar Hukum Indonesia Dalam Tanya Jawab. Bogor: PT. Ghalia Indonesia.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar, Struktur, Fungsi dan Corak Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja Katolik

Dongeng Manggarai: Tombo ca anak koe ata oke le eman

HUKUM ADAT SUKU ASMAT