Analisis Yuridis Proses Perkawinan dan Pembagian Harta Warisan ditinjau dari Kebudayaan Aceh

1.                  Bab I
Pendahuluan

1.     Latar Belakang Masalah
Semua orang yang berasal dari daerah istimewa Aceh adalah orang Aceh.Kecuali orang-orang Gayo dan Alas yang sistem kemasyarakatannya berdasarkan kekerabatan, maka seluruh masyarakat Aceh merupakan masyarakat territorial keagamaan. Walaupun masih Nampak adanya pengaruh keturunan bangsawan sengan gelar Teuku bagi keturunan pria dan gelar Cut bagi keturunan wanita yang demikian banyaknya, orang-orang Aceh tidak mengenal sistem klen. Kehidupan keluarga yang bersifat parental atau bilateral mendiami tempat kediaman yang disebut “mukim”, “gampong”, atau “meunasah” yang dikepalai oleh kepala mukim, Keuchiq (kepala kampung) dan Tengku Meunasah (kepala pusat pengajian kampung), disamping itu orang-orang tua selaku pemuka masyarakat setempat. Merekalah yang berperilaku sebagai kepala adat dan berperan menjadi penengah atau jurudamai dalam menyelesaikan perselisihan setempat.
Orang Aceh tidak biasa dalam pertemuan warga masyarakat menanyakan hubungan kekerabatan, mengusut-usut pertalian darah atau pertalian perkawinan seperti orang Batak atau orang Lampung.Bagi mereka hubungan persaudaraan atau ketetanggaan cukup dengan pertalian keagamaan Islam, dengan mengucapkan “assalamualaikum” sudah merupakan langkah terbuka untuk menjalin pembicaraan selanjutnya. Di kota Banda Aceh walaupun orang tidak saling kenal mengenal di jalan-jalan sudah biasa saling memberi salam dengan mengucapkan “assalamualaikum”. Mungkin hal inilah yang menyebabkan Aceh disebut sebagai kota “serambi Mekkah”
Untuk mengetahui bagaimana hubungan persaudaraan dan ketetanggaan orang Aceh yang asli dapat diilihat pada gampong yang relatif terisolir. Misalnya saja pada masyarakat pedesaan Montasik di Kabupaten Aceh Besar yang dekat dengan kota Banda Aceh, masih terdapat gampong yang masih kompleks perumahan penduduk yang berpusat pada suatu sumur, dimana keluarga-keluarga berhimpun dalam apa yang disebut “saudara lingkar” dan manis pahit dalam kehidupan dirasakan bersama dengan tetangga (Machdar Somadisastra-Alfian, 1977). Pada kampung-kampung yang sudah terbuka, masing-masing rumah telah membuat sumur sendiri dan bangunan rumah tidak lagi menghadap kiblat, tetapi mengikuti arah jalan.
Bagi orang Aceh agama Islam merupakan hal yang sangat sensitif, ia memandang dirinya identik dengan Islam. Baginya yang dikatakan hukum adalah hukum Islam yang berjalan bersama dengan hukum adat, oleh karenanya adat harus sesuai dengan hukum Islam,adat itu mempunyai sanksi dan tidak bisa di pisah dengan hukum Islam, ia merupakan mata putih dengan mata hitam. Pepatah Aceh mengatakan, “hokum ngon adat lagee zat ngon sipheuet” , hukum dengan adat itu seperti zat dengan sifat. Adat dalam arti kebiasaan yang tradisional menurut bahasa Aceh disebut “reusam” dari kata Arab “rasam” yang artinya adat istiadat, kebiasaan, cara.

2.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana cerminan perilaku hukum dalam proses perkawinan berdasarkan asas kebudayaan yang berlaku di Aceh?
2.      Bagaimana kaitan perceraian dengan pembagian harta warisan menurut kebudayaan Aceh?



Bab II
Pembahasan

1.     Cerminan Perilaku Hukum dalam Proses Perkawinan Berdasarkan Asas Kebudayaan yang Berlaku di Aceh
Perilaku hukum dalam kekeluargaan Aceh dapat dilihat dari cara pembentukan keluarganya melalui acara perkawinan, yang diadakan dengan acara pelamaran dari orang tua pihak pria kepada orang tua pihak wanita. Yang kebanyakan terjadi di masyarakat Aceh adalah perkawinan anak sudah dewasa terutama antara pria dan wanita sekampung atau semukim.Perkawinan dengan orang luar kampung, luar daerah, luar negeri kebanyakan terjadi di kalangan orang-orang bangsawan, hartawan, ulama, atau para terpelajar yang pergaulannya sudah luas. Bagi orang Aceh, sejak dahulu sudah terjadi perkawinan dengan orang asing yang datang ke Aceh misalnya perkawinan dengan orang-orang Arab, Turki, Iran, India, Pakistan, Gujarat, asal saja jika boleh jangan orang Negro. (M. Hoesin, 1970)
Lamaran untuk perkawinan dimulai dari pihak pria kepada orang tua pihak wanita. Apabila orang tua bujang telah setuju untuk melamar seorang gadis, maka ia mencari orang yang semartabat dengan dia untuk dijadikan “seulangke” yang akan berfungsi dan berperan mewakili orang tua bujang guna melaksanakan pertemuan dengan orang tua gadis. Dalam melaksanakan tugas-tugas terhormatnya tersebut, Seulangkeakan diberikan balas jasa dari pihak bujang.
Menurut adat Aceh, anak-anak muda dilarang mendatangi rumah gadis, apalagi masuk-masuk ke bawah rumah gadis, berbicara di dapur atau luar dinding ruma seperti di Lampung.Jika mereka sudah keluar dari kampung halaman, tentu saja perkenalan antara muda-mudi sudah bebas, berpesiar ke pantai saling mengadu kasih cinta. Hal ini berlaku di luar pengetahuan orang tuanya, tetapi jika pergaulan mereka akan meningkat ke jenjang perkawinan, maka harus ada sepengetahuan orang tua guna diadakannya suatu lamaran.
Apabila Seulangke berhasil dan lamarannya diterima oleh pihak gadis, maka untuk selanjutnya Seulangke bersama ayah sipemuda mengahadap Keuchiq dan Teungku Meunasah di kampung pihak gadis, untuk melaporkan maksud pelamaran dan menentukan hari yang baik untuk menyerahkan tanda pertunangan (peukong haba/narit).
Pada hari yang telah ditentukan bersama, orang tua pria yang didampingi Seulangke, Keuchiq, dan Tengku/Imeum Meunasah dan beberapa anggota kerabat pria berkunjung ke tempat wanita dengan membawa tanda pertunangan (konghaba/narit). tanda pertunangan itu disertai sirih yang tersusun (ranub dong) dan perhiasan emas, bahan pakaian baju, selendang, sabun mandi, minyak wangi, telur ayam/itik,yang sudah matang dan diberi warna dengan hiasan karangan bunga, ditempatkan dalam wadah talam dan baki-baki.
Dalam penyerahan tanda pertunangan itu kedua pihak berbicara sahut menyahut dengan kata-kata adat yang berirama penuh, sopan dan hormat. Penyampaian hadiah pertunangan tersebut akan dibahas pula oleh pihak wanita (dara baro) dengan 2-3 talam bahan makanan (halwa meuseukat) disertai pula sirih tersusun (ranub gapu) untuk pihak pemuda (linto). dalam pengembalian talam-talam dari pihak dara baro, pihak linto mengisinya dengan bahan makanan pula seperti emping, gula putar dengan bunga kenanga. Sejak waktu itu berarti linto dan dara baro telah terikan dalam ikatan pertunangan.
Selama masa pertunangan, sekitar waktu satu bulan atau sampai masa panen berikutnya, linto dilarang berkunjung ke rumah dara baro, ia dilarang berbicara dengan dara baro atau calon mertuanya, kecuali dalam keadaan luar biasa misalnya ada musibah di tempat dara baro. Namun, dimasa sekarang, adat ini sudah dilanggar, oleh karena sudah ada calon mertua yang berbicara dengan linto mengenai rencana perkawinan dengan anaknya. Bahkan adakalanya acara pertunangan itu sudah berlaku cara asing dengan tukar cincin atau langsung dilaksanakan perkawinan.
Andaikata selama pertunangan terjadi putus pertunangan dikarenakan kesalahan linto misalnya dengan linto menikahi perempuan lain, maka semua hadiah pertunangan menjadi milik dara baro. Sebaliknya jika pertunangan putus karena salah dara baro, misalnya dara baro berbuat tidak baik dengan pemuda lain, maka hadiah pertunangan dikembalikan semua kepada pihak linto.Jika putus pertunangan itu dikarenakan salah orang tua gadis, misalnya secara diam-diam telah menerima lamaran dari pria lain, maka hadiah pertunangan harus dikembalikan ayah gadis dua kali lipat dari jumlah semula kepada pihak bujang.Penyelesaian dalam perselisihan ini dilakuakan dengan damai yang ditangani oleh Keuchiq dan Tengku Meunasah sebagai penengahnya.
Jika masa pertunangan tiada aral melintang maka dilanjutkan dengan acara persiapan perkawinan, baik di tempat wanita maupun di tempat pria.Untuk mempersiapkan upacara perkawinan tersebut kedua pihak meminta bantuan dan menyerahkan pengaturannya kepada Keuchiq dan Tengku Meunasahnya masing-masing berserta dengan orang-orang tua kedua belah pihak.Dalam rangka persiapan perkawinan tersebut maka para anggota kerabat terdekat memberikan sumbangan (teumeunteuk) berupa bahan makanan, sayur-mayur, ternak ayam atau kambing dan sebagainya yang merupakan adat balas membalas (adat muqabalah).
Beberapa hari menjelang waktu upacara perkawinan dara baro melakukan penginayan (bohgaca), sekurang-kurangnya menghias kuku-kuku jarinya.Suasana sudah mulai ramai dan meriah karena sudah ada acara-acara kesenian atau membaca riwayat-riwayat, sampai saat pesta perkawinan (uroe meukeureuja).Pada malam menjelang waktu upacara linto diantar kerabatnya ke kampung dara baro untuk melaksanakan akad nkah (mamplue).Akad nikah itu dilakukan bertempat di rumah orang alim atau di meunasah, yang dilaksanakan oleh Tengku Meunasah atau petugas agama, setelah menerima kuasa wali dari ayah dara baro.kecuali jika mempelai wanita itu janda maka ia dapat berwali sendiri (jidong wali keudroe).
Untuk pelaksanaan akad nikah pihak dara baro menyediakan tikar pengawinan, wadah air (mudam) untuk linto berkumur agar lancar berbicara menerima penyerahan wali. Sedangkan mas kawin (jeunamee) disediakan pihak linto. Besarnya mas kawin adat lama yaitu 25 ringgit Aceh untuk orang biasa, 50 ringgit untuk keluarga Keuchiq atau Tengku Meunasah, 100 ringgit untuk keluraga raja (Cut, Meurah) atau Uleebalang dan 500 ringgit untuk Tuanku-Raja. Sedangkan biaya akad nikah menurut adat lama untuk Keuchiq ringgit, untuk teungku meunasah 1 ringgit dan untuk para saksi  ringgit.
Setelah akad nikah selesai, maka linto diantar ke tempat dara baro (antat linto).Sampai di rumah dara baro para tamu dipersilahkan lebih dahulu mengambil tempat, baru kemudian linto dibawa menuju ke kamar dara baro yang telah menunggu di dalamnya (juree).Dipintu kamar dara barodisediakan pinggan berisi telur ayam dan beberapa lembar daun.Sebelum masuk ke kamar dara baro, kaki linto dicelupkan ke dalam pinggan air atau menginjak telur terlebih dahulu, kemudian kakinya dibersihkan oleh wanita yang sudah berumur.Selanjutnya linto dipertemukan dengan dara baro.Ketika itu linto memberi dara baro hadiah sejumlah uang yang diterima oleh wanita pendampingnya (pengajo).Kemudian kedua mempelai didudukkan, bersanding, dan para undangan serta kerabat yang hadir memeriahkan pesta perkawinan itu memberi selamat kepada kedua mempelai.
Selesai acara pesta perkawinan itu linto kembali ke rumah orang tuanya dan keesokan malamnya barulah ia kerumah istrinya lagi dengan ditemani oleh beberapa anggota kerabatnya. Pada kesempatan ia mengunjungi rumah istrinya ia berusaha untuk berkenalan dengan tetangga dan kerabat istrinya, kemudian ia kembali lagi ke rumah orang tuanya. Setelah enam bulan berlalu barulah linto dapat menetap di tempat istrinya untuk seterusnya.
Istri Aceh menurut adat memang menetap di kampungnya dan di rumah pemberian ayahnya padanya (rumah peunulang).Ia tidak boleh dibawa ke suaminya ke kampung suami atau ke tempat lain; kalau juga ia dibawa pergi dari kampungnya maka menjadi kewajiban suami untuk membuatkan rumah untuk menjadi miliknya.
Setelah suaminya menetap di tempat istrinya, maka setelah beberapa tahun, ibu dari suami dengan beberapa anggota kerabat datang menjenguk (saweue) anak dan menantunya serta untuk menjemput menantunya (tueng dara baro) untuk bermalam di rumah orang tua suami dan mengakrabkan hubungan dengan para anggota kerabat suami.Kemudian dara baro itu kembali lagi kerumahnya sendiri di kampung, mengurus rumah dan harta kekayaan serta orang tuanya bersama dengan suaminya.
Sudah menjadi adat yang tradisional bagi orang tua Aceh terutama di Aceh Besar dan Aceh Pidie menyediakan rumah bagi anak-anak wanita.Jika orang tua itu tidak mampu maka setidak-tidaknya di bangunan rumahnya terdapat ruang kamar-kamar dengan dapur masing-masing untuk anak-anak wanita. Oleh karena itu, maka kecenderungan perkawinan di Aceh dan bersifat matrilokal dan orang tua istri menetap dengan anak wanita dan cucu-cucunya, walaupun akan memilih tempat tidur di ruang belakang atau di bagian dapur dalam rumah anak wanitanya. Namun, dengan cara demikian, ia ikut bertanggung jawab dan mengawasi perjalanan hidup anak dan cucu-cucunya.

2.     Kaitan Perceraian dengan Pembagian Harta Warisan Menurut Kebudayaan Aceh
Selain pemberian rumah kepada anak-anak wanita, sudah menjadi adat bagi orang Aceh bahwa orang tua akan memisahkan sebagian harta tetap atau harta bergeraknya kepada anak-anaknya yang menjelang dewasa atau akan berumah tangga, asal saja pemisah harta itu tidak melebihi  dari semua harta yang akan ditinggalkannya. Pemisahan harta ini dilakukan orang tua dalam upacara pemisahan belanja (pumeukleh) yang disaksikan oleh Keuchiq dan Teungku Meunasah serta orang-orang tua kampung dan anggota kerabat.
Setiap anak yang mendapat bagian harta yang dipisah dari orang tua wajib mengurus dan memelihara harta itu dengan baik, apabila kelak anak-anaknya tidak dapat mengurusnya dengan baik bahkan akan menghabiskannya maka orang tua dapat menarik harta itu kembali dalam kekuasaannya. Jika kesalahan dalam pengurusan harta itu disebabkan perbuatan dari menantunya, misalnya karena tidak bisa memelihara dan hidup boros, ada kemungkinan menjadi alasan untuk anaknya bercerai dari suaminya.
Jadi, walaupun dalam perkawinan keluarga-keluarga Aceh sebagaimana juga pada suku-suku lain yang selalu dimeriahkan dengan pesta perkawinan itu mempunyai nilai di mata masyarakat dan dapat diharapkan agar kehidupan keluarga dapat dipertahankan sampai umur tua, namun bukan tidak mungkin terjadinya aral yang melintang, sehingga perkawinan tidak berkepanjangan. Perkawinan itu dapat putus dikarenakan salah satu suami atau istri tidak panjang umur atau timbul perselisihan yang berakibat terjadinya perceraian.
Apabila terjadinya putus perkawinan karena suami wafat, jika istri masih dalam masa belum mendapat harta pemisahan dari orang tuanya, maka istri akan mendapatkan  dari mas kawinnya. Kemudian menjadi kewajiban mertua atau pihak suaminya mencarikan ganti suami baginya baik dari anggota kerabat suami maupun orang lain yang disetujui kerabat suami. Jika orang tua suaminya orang berada ia mungkin pula akan mendapat bagian dari harta peninggalan mertuanya.
Tentang harta yang diperoleh bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan, apabila suami wafat, maka istri akan mendapat bagian menurut adat setempat atau istri mewarisi harta pencarian itu untuk mengurus kehidupan rumah tangga dan anak-anaknya. Hal inipun masih dapat dinilai jika harta pencarian (areuta dihareukat) itu berada di tempat lain, apakah ketika suami berangkat meninggalkan istri untuk perjalanan itu istri ada memberinya nasi sebungkus dengan ikannya (bu bungkosih) atau katakanlah sekapur sirih (M. Hoesin, 1970), apalagi jika memberi modal misalnya memberi perhiasan emas. Jika demikian maka istri mempunyai hak atas harta pencarian suaminya itu.Sedangkan mengenai harta milik suaminya bagian dari orang tuanya sendiri kembali ke asalnya dan istri tidak mempunyai hak atasnya.
Jika putus perkawinan karena istri wafat, apalagi jika keluarga itu baru mempunyai satu-dua anak dimana suami sepenuhnya membiayai keluarganya, karena keluarga masih menjadi tanggungan orang tua istri (masa goh pumeukleh), dalam artian disini, orang tua istri masih tinggal bersama anak perempuannya, maka suami hanya mempunyai hak untuk mendapatkan kembali (hak balee) setengah dari mas kawin yang diberikannya kepada istrinya. Bahkan seharusnya mertuanya itu mencarikan ganti istri, agar suami yang duda itu kawin lagi dengan istri lagi dengan saudara istri yang lain (pulang balee) dengan atau tanpa memberi mas kawin lagi. Kemudian istri yang wafat dalam masa goh pumeukleh itu biaya penguburan dan selamatannya menjadi tanggungan orang tuanya, tetapi suami boleh meminta dari mertuanya biaya selamatan untuk istrinya itu, setidak-tidaknya sebagian dari mas kawin yang telah diberikannya dahulu. Mengenai areuta peunulang istri yang merupakan harta asal istri dari orang tuanya (areuta tuha) adalah hak waris bagi anak-anaknya atau kembali dikuasai oleh mertuanya.
Putus perkawinan di Aceh yang bukan karena kematian adalah dikarenakan perceraian yang berlaku menurut hukum Islam, yaitu cerai talak (taleuk), cerai fasakh dan cerai khulu’.Cerai talak terjadi disebabkan suami melepas ikatan perkawinan atau memutuskan hubungan suami istri dengan atau tanpa alasan. Dalam hal ini istri menerima saja keputusan cerai oleh karena jika suami telah  mengucapkannya maka cerai itu sah, sedangkan pengesahan yang dimintakan pada Kantor Urusan Kecamatan hanya bersifat formal saja. Cerai fasakh dilakukan dengan keputusan hakim atas dasar pengaduan istri dengan alasan misalnya karena suami gila, berpenyakit kusta atau lainnya, lemah syahwat, miskin dan sebagainya.Jika alasan yang dikemukakan dapat dilaksanakan.Pada kenyataannya yang banyak terjadi di Aceh adalah cerai fasakh. Cerai khuluk’akan berlaku apabila istri bersedia membayar iwadl (pengganti) kepada suami. Biasanya pembayaran iwadl yang berlaku adalah mengembalikan nilai mahar atau barang-barang lainnya menurut jumlah tertentu yang disetujui suami atau menurut keputusan hakim agama. Dalam praktek hal ini, banyak ditengahi pejabat urusan agama dan suami akan mengucapkan talaknya setelah ia menerima iwadl secara tunai dihadapan hakim atau petugas agama bersangkutan (Baihaqi A.K. –Alfian, 1977).
Dalam penelitian yang telah dilakukan terhadap masalah perceraian di Aceh, antara lainnya pada tahun 1972 oleh Pusat Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh di Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie terhadap 154 kasus perceraian, nampak bahwa terjadinya perceraian itu adalah disebabkan alasan-alasan yang bersifat ekonomi, tingkah laku, biologis dan campur tangan pihak lain. Dari tabel yang dikemukakan dari hasil penelitian tersebut menunjukkan perceraian lebih banyak terjadi dikarenakan permintaan istri daripada yang dilakukan oleh suami.Hal ini menunjukkan betapa perilaku wanita Aceh lebih banyak berperan dalam kehidupan keluarga daripada pria.
Alasan-alasan ekonomi mengapa istri meminta cerai di Kecamatan Mutiara dikarenakan suami kurang memberi nafkah, suami dikatakan tidak bertanggung jawab, suami suka meninggalkan istri, dan suami malas.Sedangkan alasan suami menceraikan istrinya dikarenakan istri terlalu boros.Alasan-alasan tingkah laku mengapa istri minta cerai dikarenakan tindakan suami kejam dan tidak patuh.Sedangkan mengapa suami menceraikan istrinya dengan alasan tingkah laku adalah karena istri tidak patuh dan suka pergi keluar rumah. Alasan-alasan yang bersifat biologis mengapa istri meminta cerai adalah karena di madu, suami mempunyai istri lain. Sedangkan mengapa suami menceraikan istrinya karena alasan biologis, kebanyakan karena istri melakukan perbuatan serong atau tidak punya keturunan. Alasan-alasan yang menjadi sebab perceraian karena ada pihak lain yang ikut campur tangan, dari pihak istri mengapa meminta cerai karena campur tangan orang tua. Sedangkan mengapa suami menceraikan istrinya karena istri dibujuk rayu orang lain (Baihaqi AK-Alfian, 1977)
Pernah jugga terjadi di Aceh karena istri memaksa suami agar menceraikannya dengan talak tiga sekaligus, maka suami dikurung dalam rumah atau dijureetempat tidur mereka.Karena suami tidak berdaya malu dengan kerabat tetangga, maka permintaan talak tiga itu diperkenankannya. Tetapi jika suami juga tidak mau menyerah dengan cara demikian, maka jalan yang ditempuh istri adalah membeli talak dari suaminya (teuboih taleuek) dengan membayar jeunamee (mas kawin) dua kali lipat kepada suaminya. (M.Hoesin, 1970)
Menurut adat jika istri dicerai suami maka sebaiknya sebelum suami meninggalkan rumah istri, ia memperbaiki rumah, misalnya dengan memperbaiki atap rumah yang bocor, pagar pekarangan rumah, dinding sumur yang diberinya, pula pakaian untuk istrinya. Selama masa idah, suami memberikan nafkah kepada istrinya.Jika ada anak, maka semua anak tinggal bersama istri, dan kewajiban suami memberi nafkah untuk anaknya dan sewaktu-waktu suami datang menjenguk anak-anaknya.Apabila ternyata istri tidak mengurus anak-anaknya, maka suami dapat mengabil hak asuh atas anak-anak tersebut.Jika terjadi perselisihan mengenai anak-anak ini, maka penyelesaiannya dilakukan dihadapan Keuchiq dan Teungku Meunasah.Biasanya anak yang masih menyusu tetapi diasuh oleh ibunya dengan bantuan baiaya suami sedangkan yang sudah besar boleh memilih ikut dengan ayah atau ibunya.
Jika terjadi perceraian maka areuta peunulang tetap tinggal pada istri menjadi areuta tuha untuk diberikan dan dibagikan kepada anak-anaknya dikemudian hari.Sedangkan mengenai areuta sihareukat dapat dibagi berimbang banyaknya antara suami dan istri atau sepertiga bagian bagi istri dan dua pertiga bagian bagi suami atau sebaliknya menurut keadaan setempat dan sejauh mana istri ikut berperan dalam pengumpulan harta pencarian itu.
Dengan demikian dalam keluarga Aceh yang hidup rukun sampai umur tua, ada kemungkinan mempunyai tiga macam harta yang akan menjadi harta warisan bagi para pewaris yang wafat, yaitu areuta tuha, areuta peunulang dan areuta sihareukat. Areuta tuha adalah harta yang menjadi milik suami istri (ayah ibu) masing-masing yang berasal dari hibah, wasiat, atau warisan orang tua masing-masing. Areuta peunulang adalah harta yang dimiliki istri (ibu) berasal dari pemberian orang tua atau mertua ketika berpisah hidup berumah tangga sendiri (dipeungkleh)
Menurut hasil penelitian Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas  syiah Kuala tahun 1980/1981 di daerah tingkat II Aceh Besar, apabila pewaris wafat, maka yang berhak menjadi waris adalah semua anak pria dan wanita, semua cucu dari anak laki-laki, ayah dan ibu, kakek dan nenek, saudara laki-laki, paman, anak-anak perempuan, janda dan atau duda yang masih hidup. Jika para pewaris itu semuanya ada, maka yang diutamakan mendapat bagian warisan adalah ayah dan ibu mendapat bagian, janda bagian, dudabagian, kemudian anak-anak laki-laki dan perempuan dengan perbandingan anak laki-laki mendapat satu bagian dan anak perempuan menddapatkan setengah bagian.
Pelaksanaan pembagian warisan (peuree atau weuk-pusaka) dilakukan dengan berpedoman pada hukum Islam dan memperhatikan hukum adat, artinya tidak mutlak semuanya berpegang pada hukum Islam melainkan juga diperhatikan adat tradisional yaitu kepentingan anak-anak wanita yang diutamakan dari anak-anak laki-laki. Dalam praktek pelaksanaan pembagian warisan dilakukan dalam tenggang waktu paling cepat 7 hari atau 44 hari atau 100 hari sejak wafatnya pewaris.
Apabila warisan akan dilakukan pembagian maka terlebih dahulu disisihkan biaya penguburan termasuk acara sedekah selamatannya, hutang-hutang yang harus di bayar, hibah dan wasiat pewaris yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jika harta warisan tidak cukup untuk membayar hutang, maka semua harta kekayaan para waris menjadi jaminannya. Sebagaimana dikemukakan diatas di Aceh karena sifat perkawinanya kebanyakan matrilokal, maka kedudukan  anak-anak perempuan lebih kaut dari anak-anak laki-laki. Sehingga dikarenakan bangunan rumah harus diberikan kepada anak perempuan, maka jika akan perempuannya banyak, sedangkan laki-laki sedikit, bisa terjadi ketika pewaris wafat anak laki-laki tidak kebagian rumah atau tanah pekarangan, jika keluarga yang bersangkutan bukan orang yang berada, walaupun pemberian atau hibah yang harus dilakukan itu tidak boleh ebih dari sepertiga dari harta kekayaan seluruhnya.
Menurut hasil penelitian Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat syiah Kuala tahun 1980/1981 di Kabupaten Aceh Besar pelaksanaan hibah dapat berlaku tidak saja terhadap bangunan rumah atau tanah kepada anak-anak wanita, tetapi juga mungkin perhiasan dan ternak yang bukan saja diberikan bagi keperluan anak melainkan juga keperluan orang lain. Biasanya penghibahan itu dilakukan di depanKeuchiq, Teungku Meunasah, dan orang-orang tuha (Tuha Peuet) sera para ahli waris. Tetapi adakalanya terjadi pula penghibahan tanpa ijab Kabul di hadapan perangkap gampong dan para ahli waris, melainkan langsung dilaksanakan sendiri oleh orang tua atau pemberi hibah itu kepada penerima hibah, asal saja pemberian itu tidak melebihi sepertiga bagain dari harta kekayaan yang akan ditinggalkannya.
Apabila ketika hidupnya orang tua belum menghibahkan harta kepada anak-anaknya, maka sebelum ia meninggal ia dapat berwasiat, meninggalkan pesan tentang harta kekayaan yang akan ditinggalkannya, baik dengan lisan maupun dalam bentuk tulisan. Wasiat itu dikemukakannya dengan diketahui oleh Keuchiq, Teungku Meunasah dan Tuha Peuet serta ahli waris.Jumlah harta yang diwasiatkannya itu juga tidak boleh lebih darri sepertiga bagian harta kekayaannya, baik wasiat untuk para ahli waris maupun kepada orang-orang yang berjasa kepada pewaris atau untuk mkasud tertentu.Jika wasiat yang diberikan lebih dari sepertiga bagian dari harta peninggalannya, maka para ahli waris berhak menuntut pembatalannya.
Anak-anak sebagai ahli waris dibedakan yang pria dan yang wanita; yang pria akan mendapat dua bagian sedangkan anak wanita sebagian, sedangkan anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, hanya mewaris dari ibu biologisnya, dan anak tiri hanya mewaris dari orang tua yang melahirkannya. Walaupun demikian adakalanya anak tiri yang sudah lama ikut dengan orang tua tiri diberi juga bagian dari harta warisan orang tua tiri.Begitu pula dengan anak angkat yang bukan ahli waris dari orang tua angkat tidak salahnya mendapat bagian dari harta warisan walaupun hanya selapis kain kafan (silapeh gaphan) (F.H.P.M.Unsyiah, 1980/1981).
Pewarisan itu tidak menimbulkan masalah jika warisannya tunggal, jika ahli waris anak laki-laki tungggal, maka semua harta peninggalan orang tuanya diwarisinya sendiri, ialah yang berkuasa mengaturnya, tetapi jika waris tunggal anak wanita, maka ia hanya mendapat seperduanya dan jika anak wanita dua orang, maka mereka berhak atas dua per tiga bagian dari harta warisannya. Tetapi jika ahli waris itu membunuh pewaris maka ia tidak mempunyai hak atas warisan tersebut. Yang serinng menimbulkan masalah adalah jika ahli waris dan waris itu banyak sehingga menimbulkan masalah adalah jika ahli waris dan waris itu banyak menimbulkan tuntutan agar hibah wasiat dibatalkan, sedangkan peribahasa Aceh mengatakan, “nyang kata muntah bek ta’uet le”, artinya yang sudah dimuntahkan jangan ditelan kembali. Namun pada umumnya perselisihan itu dilakukan penyelesaiaanya dengan musyawarah kekerabatan terutama di antara para waris yang ditengahi oleh Keuchiq, Teungku Meunasah dan Tuha Peuet.



Bab III

Penutup

1.     Kesimpulan
Dari pembahasan matri yang diberikan di atas, maka dapat disimpulkan:
a.       Masyarakat Aceh umumnya menganut hukum Islam yang berjalan bersamaan dengan hukum adat.
b.      Masyarakat Aceh bersifat matrilokal yang dalam hal ini erat sekali hubungan ibu dengan keturunannya dalam hal apapun yang berkaitan dengan adat.
c.       Untuk hal perkawinan dan segala macam urusan mengenai harta warisan, biasanya masyarakat Aceh mengandalkan seorang kepala desa (Keuchiq) dan kepala pusat pengajian kampung (Teungku Meunasah) yang dipercaya dan diyakini memiliki ilmu yang cukup untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi di suatu desa.

2.     Saran
Dalam mengakhiri makalah ini, penulis memberikan beberapa saran sejauh kemampuan yang dapat penulis berikan. Adapun saran-saran yang pnulis kemukakan adalah sebagai berikut:
1.      Generasi muda selanjutnya dapat melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang terkandung dalam adat Aceh yang kurang lebihh sudah penulis sampaikan dalam hal tersebut diataas.
2.      Perlunya mengenali budaya Aceh agar generasi muda lebih mencintai khazanah budaya yang ada dan berkembang di Indonesia.
3.      Baik penduduk asli atau pendatang diharapkan dapat menjaga kelestarian kebudayaan yang dimiliki oleh Aceh sehingga nantinya masih dapat dilihat dan dirasakan indahnya oleh generasi penerus.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng Manggarai: Tombo ca anak koe ata oke le eman

Dasar, Struktur, Fungsi dan Corak Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja Katolik

HUKUM ADAT SUKU ASMAT