ANTROPOLOGI HUKUM KEBUDAYAAN TORAJA (Sulawesi Selatan)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Kebudayaan Suku Toraja
Berbicara mengenai Suku
Toraja tentu dalam benak kita terbayang sebuah etnik suku yang memiliki rumah
panggung besar dengan atap menyerupai moncong perahu dan upacara adatnya yang
melibatkan banyak orang untuk terlibat dan reputasinya pada hari ini telah
mengarungi banyak negara. Daya tarik yang berasal dari khasanah kebudayaannya,
arsitektur tradisional yang inspiratif serta kaya makna, dan keagungan prosesi
adatnya menjadikan Tana Toraja memiliki nilai-nilai tersendiri
yang pada hari ini banyak diminati oleh wisatawan untuk mengunjungi daerah
tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan lokal yang nilai-nilainya masih
dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja. Suku Tana Toraja yang pada hari
ini masih mendiami daerah pegunungan masih mempertahankan gaya hidup
Austronesia yang asli dan cenderung memiliki kemiripan dengan budaya yang ada
di Nias.
Melihat Suku Toraja sejenak
Secara geografis, Komunitas Suku Toraja bertempat tinggal pada pegunungan di
bagian utara sulawesi selatan. Lebih spesifik pada letaknya, Suku
Toraja terletak di kabupaten Tana Toraja yang terletak dalam satuan
kepemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang mana memiliki ibukota bernama
Makale. Pada tahun 2007 kabupaten ini memiliki jumlah populasi sebanyak 248.607
jiwa. batas-batas geografis Kabupaten Tana Toraja di utara berbatasan dengan
Kabupaten Mamuju, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, lalu pada
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enkerang, sementara pada sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa.
Berada pada zona waktu
indonesia tengah, Secara klimatologi Kabupaten Tana Toraja termasuk kedalam
daerah yang beriklim Tropis Basah. Hal ini secara kasar bisa kita ketahui
melihat letak keberadaan tempat yang berada di daerah pegunungan. Dalam segi temperatur
udara, suhu di Tana Toraja berkisar antara 150c – 280 c
dengan kelembaban udara yang berkisar antara 82 – 86 %. Curah hujan rata-rata
di Tana Toraja berada pada kisaran 1500 mm/thn sampai lebih dari 3500 mm/thn.
Jika pembaca sekiranya
ingin mengunjungi Tana Toraja ada baiknya melihat masa-masa pembagian musim
hujan dan musim kemarau yang umumnya ada di Kabupaten Tana Toraja. Untuk musim
kemarau periode bulan april sampai dengan september merupakan rentang waktu
datangnya kemarau tiba di Tana Toraja. Sedangkan musim penghujan biasanya tiba
pada periode bulan Oktober sanpai dengan Maret. Menurut Oldement, tipe iklim di
Kabupaten Tana Toraja adalah tipe C2 yaitu bulan basah (200 mm) selama 2 – 3
bulan berturut-turut dan bulan kering (100 mm) selama 2-3 bulan berturut-turut.
Kondisi riil ini dianggap sangat mendukung sektor agraria daerah kabupaten
Toraja.
Pada hari ini diperkirakan
populasi masyarakat suku toraja telah mencapai sekitar satu juta jiwa. Sekitar
50% dari total jumlah masyarakat Suku Toraja masih tinggal di Kabupaten Tana
Toraja dan kabupaten tetangga seperti Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten
Mamasa sisanya banyak masyarakat yang berasal dari Suku Toraja yang kini telah
menetap di kota-kota lainnya di Sulawesi dan tidak sedikit juga yang merantau
keluar Sulawesi. Kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Toraja
adalah Kristen. Sementara sebagian ada yang menganut agama Islam dan
kepercayaan animisme yang dikenal dengan Aluk To Dolo.
Berbicara mengenai
kepercayaan animisme yang dimiliki Suku Toraja. Aluk To Dolo memiliki
makna sebagai kesadaran bahwasannya keberadaan manusia hidup di bumi pada
hakikatnya hanyalah untuk sementara. Prinsip ini ditanamkan sedemikian kuatnya
yang mana pada akhirnya menjadi pondasi utama kepercayaan asli masyarakat
Toraja. Sebagai penguat pemahamannya bahwasannya selama tidak ada orang yang
bisa menahan matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun mutlak keberadaannya
dan tidak bisa ditunda kedatangannya.
Secara historis banyak
yang meyakini bahwa Suku Toraja berasal dari Teluk Tongkin yang berada di
daratan cina. Seorang Anthtropolog bernama DR.C. Cyrut meyakini bahwa
masyarakat Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal
Sulawesi Selatan atau pribumi dengan pendatang dari teluk tongkin tersebut.
Berawalnya akulturasi antara masyarakat pribumi dengan pendatang ini dari
berlabuhnya imigran indo cina dengan jumlah yang dapat dikatakan cukup banyak
di sekitar hulu sungai yang pada hari ini diperkirakan letak lokasinya berada
di daerah Kabupaten Enrekang. Bangsa cina yang memang dikenal akan kebiasaannya
bermigrasi segera membangun pemukiman di daerah tersebut untuk kemudian
membangun sebuah peradaban baru.
Nama Toraja sendiri
sebenarnya merupakan kata dari Bahasa Bugis yaitu to riaja yang
mana berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Identitas mereka yang pada
hari ini kita ketahui bernama Toraja merupakan pemberian dari perintah kolonial
belanda yang memberikan nama itu pada tahun 1909. Versi lain menyebutkan
bahwasannya kata Toraja awal mulanya bernama toraya. Kata tersebut merupakan
gabungan dari dua kata yaitu “to” yang berarti orang dan “raya” yang berasal
dari kata maraya yang berarti besar. Artinya jika digabungkan menjadi suatu
padanan makna orang-orang besar atau bangsawan. Seiring dengan berputarnya roda
kehidupan lama-lama penyebutan nama Toraya berubah menjadi Toraja. Sementara
itu kata Tana yang berada di depan kata Toraja memiliki arti sebuah negeri.
Sehingga pada hari ini tempat pemukiman Suku Toraja dinamai Tana Toraja atau
negeri tempat orang-orang besar berada.
Sebelum masuknya
pengaruh kolonial Belanda dan kristenisasi, di Tana Toraja memiliki sebuah
pakem yang cukup jelas mengenai identitas diri mereka sebagai sebuah kelompok.
Suku Toraja yang tinggal di daerah dataran tinggi memiliki sebuah identitas
pengenalan diri yang diklasifikasikan bedasarkan asal desa mereka dan satu sama
lain tidak merasa sama jika mereka bukan berasal dari kelompok desa yang sama.
Meskipun ritual-ritual yang diadakan di tiap desa identik dan menciptakan
hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam segi dialek, hierarki
sosial, dan macam-macam praktik ritual di daerah tersebut.
Pemberian nama Toraja
banyak diduga mulanya merupakan pemberian oleh suku bugis Sindengreng dan Luwu.
Orang dari Suku Sindengreng menamakan penduduk daerah yang bermukim di daerah
dataran tinggi dengan sebutan to riaja yang berarti “orang
yang berdiam di pegunungan” sementara orang-orang yang berasal dari suku bugis
luwu menyebutnya dengan to riajang yang memiliki arti “orang
yang berdiam di sebelah barat”.
Suku bangsa cina yang
datang dari teluk tonkin ini sebenarnya terletak antara vietnam utara dan cina
selatan. Pada awal kedatangannya mereka menempati wilayah di pesisir Sulawesi
hingga akhirnya karena merasa membutuhkan situasi iklim yang sedikit banyak
mirip dengan daerah asalnya, maka para pendatang ini memilih untuk bermukim di
daerah dataran tinggi. Proses adaptasi yang cukup ekstrim diterima para
pendatang memang membuat mereka secara rasional memilih untuk pindah dari
pesisir menuju dataran tinggi itu.
Secara historis pemerintah
kolonial belanda masuk dan menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di
Sulawesi pada abad ke-17. Melalui perusahaan dagangnya yang bernama vereenigde
Oost-Indische Compagnie atau yang familiar di telinga kita bernama VOC
selama dua abad mereka berkuasa di sulawesi dan memonopoli segala bentuk
perdagangan dan kekuasaan politik. Namun hal ini justru relatif tidak terlalu
berpengaruh banyak dalam beberapa hal bagi keberlangsungan eksistensi
masyarakat Suku Toraja. Pemerintah kollonial belanda mengacuhkan daerah Tana
Toraja karena dinilai sulit untuk dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan
produktif. Letaknya yang berada pada dataran tinggi memang menjadi salah satu alasan
utama mengapa belanda tidak begitu mengeksploitasi sumber daya di daerah Tana
Toraja.
Pada akhir abad ke-19
pemerintah kolonial belanda yang mulai khawatir akan pesatnya perkembangan
ajaran agama islam di Sulawesi Selatan terutama pada komunitas Suku Bugis.
Belanda yang melihat bahwa keberadaan Suku Toraja yang relatif terisolir dari
pengaruh luar akhirnya memutuskan untuk memusatkan proses kristenisasi di
daerah Tana Toraja. Hal ini juga diperkuat karena masyarakat Tana Toraja masih
menganut ajaran animisme mereka. Misionaris Belanda yang pada masa itu berusaha
untuk menyebarkan ajarannya ternyata mendapat perlawanan kuat dari para
masyarakat Suku Toraja. Hal ini dikarenakan penghapusan jalur perdagangan yang
pada hakikatnya menguntungkan masyarakat Toraja. Beberapa orang asli Suku
Toraja dipindah paksa ke dataran rendah oleh pemerintah kolonial Belanda agar
lebih mudah diatur. Pajak pada masa itu juga ditetapkan pada tingkatan yang
amat tinggi dengan tujuan untuk mengikis kekayaan para elit masyarakat Suku
Toraja. Pun begitu usaha-usaha belanda tersebut nyatanya tidak dapat merusak
kebudayaan Toraja dan pada waktu itu hanya sedikit sekali terdapat populasi
orang toraja yang menganut ajaran kristen.
Pada tahun 1930-an. Konflik
pun tidak luput menyelimuti tana toraja yang mana kali ini melibatkan penduduk
muslim yang bertempat tinggal di daerah dataran rendah dengan para penduduk
toraja. Akibat dari insiden ini banyak orang toraja yang memilih untuk
beraliansi dengan pemerintah kolonial belanda guna meraih kemenangan atas
penduduk muslim yang notabenenya juga merupakan terhitung sebagai musuh belanda
pada masa itu. akibat aliansi ini banyak penduduk toraja yang akhirnya memilih
untuk mengganti kepercayaan mereka menjadi kristen dalam rangka meraih aliansi
dengan belanda serta mendapat perlindungan politik supaya bisa melakukan
perlawanan balik terhadap orang-orang bugis dari Makassar yang bergama Islam.
Pada periode antara tahun
1951 sampai 1965 setelah kemerdekaan indonesia Sulawesi Selatan mengalami kekacauan
yang dipicu oleh pemberontakan Daarul Islam yang bertujuan untuk mendirikan
negara islam di tanah Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun
tersebut memiliki andil yang cukup besar mengapa perkembangan agama kristen di
toraja semakin menunjukan peningkatan yang cukup signifikan.
Dekrit President yang
diterbitkan pada tahun 1965 yang mengharuskan seluruh penduduk Indonesia
untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk to
dolo) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekrit
tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai
bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai
bagian dari Agama Hindu Dharma.I.
BAB
II
PEMBAHASAN
Asal-Usul
Menurut legenda, nenek moyang orang Toraja
berasal dari Hindia Belakang (Siam). Mereka ber-imigrasi ke daerah selatan
untuk mencari daerah baru. Mereka menggunakan kapal yang menyerupai rumah adat
orang Toraja sekarang ini.
Asal-usul tentang pengertian Toraja, ada dua
versi. Versi pertama mengatakan bahwa kata Toraja berasal dari kata “to” yang
artinya orang dan kata “raja” yang artinya raja. Jadi Toraja artinya
orang-orang keturunan raja. Versi lain mengatakan bahwa Toraja berasal dari dua
kata yaitu “to” yang artinya orang dan “ri aja” (bahasa Bugis) yang artinya
orang-orang gunung. Jadi Toraja artinya orang-orang gunung. Kedua versi
tersebut memiliki alasan yang berbeda-beda dan masuk akal.
Sejarah
1) Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self
bestur Luwu.
2) Tahun 1946 Tana Toraja terpisah menjadi Swaraja yang berdiri berdasarkan
Besluit Lanschap Nomor 105 tanggal 8 Oktober 1946.
3) Tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarkan UU
Darurat Nomor 3 tahun 1957.
4) UU Nomor 22 tahun 1999 Kabupaten Dati II Tana Toraja berubah menjadi
Kabupaten Tana Toraja.
1) Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self
bestur Luwu.
2) Tahun 1946 Tana Toraja terpisah menjadi Swaraja yang berdiri berdasarkan
Besluit Lanschap Nomor 105 tanggal 8 Oktober 1946.
3) Tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarkan UU
Darurat Nomor 3 tahun 1957.
4) UU Nomor 22 tahun 1999 Kabupaten Dati II Tana Toraja berubah menjadi
Kabupaten Tana Toraja.
Nama
Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari Luwu. Orang
Sidendereng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang
mengandung arti “orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang
orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di
sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asalnya To= Tau (orang),
Raya= dari kata Maraya (besar), artinya orang-orang besar, bangsawan.
Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri,
sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal dengan nama Tana Toraja.
Ciri
Khas Suku Toraja
Salah
satu ciri khas suku Toraja adalah tempat pemakamannya. Rante, yaitu tempat
upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit,
yang dalam bahasa Toraja disebut Simbuang batu. 102 bilah batu menhir yang
berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang,
dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama,
perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat
pembuatan/pengambilan batu.
Sistem
Kekerabatan
Siulu
(keluarga batih) merupakan unsur terkecil dalam sistem kekerabatan masyarakat
Toraja. Di samping itu di kenal pula keluarga luas extended yang terdiri dari
beberapa keluarga batih, yang masih seketurunan. Hubungan kekerabatan dapat
terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu:
1. Adanya pertalian darah (kandappi)
2. Melalui perkawinan (rampean)
Untuk menjaga kelangsungan hubungan kekerabatan dilakukan dengan cara menjamin hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Misalnya hak penguasaan atas tanah, harta, kedudukan, dan sebagainya. Di samping itu kewajiban-kewajiban dari setiap kelompok kekearabatan harus dilaksanakan, misalnya yang dapat diketahui pada saat pembuatan rumah tongkonan secara bergotong royong, saling bantu dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat terutama upacara rambu solo’, mengerjakan sawah, panen, dan lain-lain. Dalam hal ini fungsi utama suatu keluarga adalah menanamkan nilai-nilai budaya yang berlaku kepada para anggotanya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya.
1. Adanya pertalian darah (kandappi)
2. Melalui perkawinan (rampean)
Untuk menjaga kelangsungan hubungan kekerabatan dilakukan dengan cara menjamin hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Misalnya hak penguasaan atas tanah, harta, kedudukan, dan sebagainya. Di samping itu kewajiban-kewajiban dari setiap kelompok kekearabatan harus dilaksanakan, misalnya yang dapat diketahui pada saat pembuatan rumah tongkonan secara bergotong royong, saling bantu dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat terutama upacara rambu solo’, mengerjakan sawah, panen, dan lain-lain. Dalam hal ini fungsi utama suatu keluarga adalah menanamkan nilai-nilai budaya yang berlaku kepada para anggotanya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya.
Sifat kekerabatan orang Toraja adalah
parental. Kalau terjadi perceraian, anak – anak dapat ikut ayah atau ibu untuk
menjamin kelangsungan hidup anak – anak sampai dewasa. Mengadopsi anak dibenarkan
oleh hukum adat dan anak tersebut berhak warisan dari yang mengangkat anak
tersebut.
Tanah milik usaha keluarga atau tanah milik
TONGKONAN tidak boleh diwariskan, dan siapa yang membangun TONGKONAN, dialah
yang menguasai tanah itu. Anggota keluarga yang lain dapat menggarap tanah
tongkonan. Pada mulanya, orang toraja memakai nama diri sendiri. Tidak memakai
nama keluarga, akan tetapi orang Toraja terutama golongan bangsawan memakai
nama keluarga dan kebanyakan mengambil nama dari keluarga ayah. Namun, dari
nama keluarga ibu dapat juga diambil sebagai nama keluarga. Misalnya, banyak
orang Toraja bernama SAMPE, dan kalau nama keluarga ayah misalnya LANGI’ jadi
bernama SAMPE LANGI’. Kalau nama ibu misalnya LINO dapat
juga dipakai SAMPE LINO. Orang Toraja termasuk bagian ras suku proto Malaya
seperti misalnya orang TOLOTANG, orang batak di Sumatera Utara, orang dayak di
Kalimantan.
Pernikahan
dan Perbatasan Jodoh
Pada prinsipnya pesta perkawainan orang
pelajar adalah sederhana. Mengingat bahwa hanya upacara penguburan yang dapat
di adakan sebesar kemampuan seseorang. Pada upacara pesta perkawainan jarang
orang memotong kerbau, ada yang menganggap tabu tapi ada pulana yng di bolehkan
oleh adat.
Perkawinan di padang sebagai batu ujian
pertama untuk mengarungi penghidupan rumah tangga. Karna itu, prinsip berdikari
pada pesta perkawinan tetap di hargai. Kehidupan baru tidak di mulai dengan
kemewahan menikmati serba hadia hasil kringat kawan dan handai taulan tetapi
kedua pengantin harus belajar memutar otak untuk brusaha hidup dan
mengidupi rumah tangganya sendiri. Hadiah perkawinan dari handai taulan
hanyalah restu belaka atau untuk dimakan sendiri. Hal ini berlaku pula bagi
yang ingin mengadakan haru ulang tahun. Sumbangan hanya diberikan kepada yang berduka
dan tidak membantu pada orang yang mengundang untuk bergembira atau yang
mengadakan pesta.
Biaya perkawinan di tanggung oleh yang
bersangkutan kalau sudah ada mata pencarian sendiri. tetapi kalau belum mampu
biaya tersebut dipikul bersama oleh kedua belah pihak orang tua laki-laki dan
orang tua perempuan dengan asas musyawarah tanpa memberatkan satu sama lain.
Keluarga terdekat pun dapat memberikan sumbangan ke keluarga yang terbatas.
Biaya perkawinan tidak boleh diberatkan pada pengantin laki-laki karna kalau
terjadi demikian akan timbul penilaian negatif terhadap pihak permpuan.
Tempat perkawinan di adakan di rumah orang
tua perempuan dan setelah perkawinan di resmikan, mereka dapat tinggal untuk
sementara di rumah orang tua perempuan atau pindah dan tinggal untuk sementara
di rumah orang tua laki-laki. Hidup dengan mertua adalah sesuatu yang tidak
terpuji, karena itu sedapat mungkin pengantin baru mengusahakan tempat baru
untuk dapat berusaha sendiri dan dapat mengatur rumah tangga sendiri.
Perkawinan
pada umumnya didahului dengan pihak laki – laki mengadakan lamaran setelah
dapat yakin lamaran akan diterima oleh pihak perempuan. Menurut adat, seorang
anak bangsawan kawin dengan anak golongan terendah seperti anak turunan hamba.
Perkawinan tidak dapat diadakan antara tosisallang. Yaitu ada diantara keluarga
laki – laki atau keluarga perempuan pernah saling membunuh.
Umur
kawin, umumnya antara 17 dan 18 sampai 20 tahun. Prinsip monogami adalah yang
terbaik namun poligami sering juga terjadi pada golongan bangsawan yang kaya.
Perkawinan
selalu didahului dengan ikatan sanksi adat yang disebut :
TANA’
dalam bahasa Toraja. Ada 4 tingkatan Tana’ (ikatan perjanjian) :
1. Tana’
kua – kua untuk keluarga terendah, tingkat sosial atau golongan hamba. Ikatan
perjanjian adat satu ekor babi.
2. Tana’
karurung untuk golongan biasa dengan dua ekor kerbau.
3. Tana’
bassi untuk golongan bangsawan dengan enam ekor kerbau.
4. Tana’
bulaan untuk golongan bangsawan tinggi dengan 24 ekor kerbau.
Kalau
pihak laki – laki yang menjadi penyebab perceraian maka dialah yang membayar
Ikatan Tana’ sebesar yang telah ditentukan tingkat sosial masyarakatnya. Kalau
pihak wanita yang menjadi penyebab perceraian maka dialah yang harus membayar
ikatan Tana’ kepada pihak laki – laki.
Rumah
Tangga dan Keluarga Inti
Rumah
tangga dan keluarga Inti (nuclear family) masyarakat Toraja adalah Monogami,
yaitu terdiri dari seorang suami, seorang isteri dan anak-anak yang belum
menikah.
Kelompok
– kelompok Kekerabatan
Orang
Toraja mengenal tiga tingkatan sosial dalam masyarakatnya baik dalam aktivitas
pemeliharaan adat, upacara-upacara keagamaan, sikap, maupun tutur bahasa
masing-masing mempunyai disiplin sendiri.
Tingkatan
pertama TOKAPUA (TANA’ BULAAN). Tingkatan ini adalah golongan rulling class
dalam masyarakat Toraja. Golongan ini terdiri
dari kaum bangsawan, pemimpin adat, dan pemuka masyarakat. Banyak istilah dalam
bahasa Toraja untuk menyebutkan golongan ini. Istilah itu seperti: ANAK PATALO,
KAYU KALANDONA TONDOK, TODI BULLE ULUNNA, dan lain sebagainya. Semua istilah
tidak lazim dipergunakan dalam bahasa sehari-hari tetapi dipakai dalam acara
resmi atau pertemuan formil lainnya. Kata TOKAPUA juga tidak dipakai dalam
bahasa sehari-hari, biasa diganti dengan kata TOSUGI’ kalau golongan bangsawan
itu termasuk kaya. Bahasa sehari-hari untuk golongan TOKAPUA ini berlainan di
tiap tempat di Toraja. Di daerah bagian selatan yang dikenal dengan nama TALLU
LEMBANGNA yang mencakup Makale, Sangalla dan Mengkendek, golongan Tokapua
disebut PUANG misalnya PUANG MAKALE, PUANG SANGALLA, dan PUANG MENGKENDEK. Di
daerah barat Toraja, golongan Tokapua disebut MA’DIKA seperti MA’DIKA ULUSALU.
Di daerah bagian Tengah Toraja, golongan Tokapua disebut SIAMBE’ untuk
laki-laki dan SINDO’ untuk perempuan, misalnya SIAMBE’ DO BUNTUPUNE, SIAMBE’
lan TANDUNG LA’BO, SINDO’ lan NANGGALA, SINDO’ dio KE’TE’, dan lain-lain.
Tempat-tempat tersebut adalah pusat keluarga bangsawan. Di Daerah bagian Utara,
golongan Tokapua disebut PUANG seperti PUANG SA’DAN, PUANG BALUSU. Ada juga
bagian daerah yang menyebut golongan bangsawan ini dengan PONG, seperti PONG
TIKU di Pangala’, PONG MASANGKA di Bori’. Pada umumnya, golongan bangsawan ini
memegang peranan dalam masyarakat Toraja sejak dahulu dan mereka pula yang
menguasai tanah persawahan di Tana Toraja 10%.
Golongan
menengah masyarakat Toraja disebut TOMAKAKA (TANA’ BASSI). Golongan ini erat
hubungannya dengan golongan TOKAPUA. Mereka adalah golongan bebas, mereka juga
memiliki tanah persawahan namun tidak sebanyak yang dimiliki golongan
bangsawan. TOMAKAKA yang tidak memiliki harta benda disebut TOMAKAKA KANDIAN.
Persentase TOMAKAKA dalam masyarakat sekitar 20%.
Golongan
terbanyak yang menjadi tulang punggung masyarakat Toraja adalah TOBUDA (TANA’
KARURUNG – TANA’ KUA-KUA). Pada umumnya mereka tidak mempunyai tanah persawahan
sendiri. Mereka adalah penggarap tanah bangsawan, kaum tani dan pekerja yang ulet,
tekun dan hidup sangat sederhana. Mereka adalah golongan termasuk golongan
KAUNAN atau golongan budak dahulu. Semua kaum bangsawan mempunyai lusinan
budak. Golongan hamba ini adalah yang paling dipercaya atasannya karena nenek
mereka telah bersumpah setia turun temurun, akan tetapi atasannya juga
mempunyai kewajiban membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Mereka ada
sekitar 70% dari masyarakat. Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang
lebih tinggi seperti TOKAPUA dan TOMAKAKA.
Pesta
Pernikahan
Perkawinan Adat Toraja yang disebut Rampanan
Kapa' merupakan prosesi adat yang sangat dimuliakan masyarakat Toraja, karena
merupakan bagian terbentuknya susunan pondasi kebudayaan suku Toraja. Tampak
perbedaan yang jelas antara prosesi adat perkawinan Toraja dengan perkawinan di
daerah lain. Karena bukanlah penghulu agama yang mensyahkan perkawinan itu
,tetapi dilaksanakan oleh Pemerintah Adat yang dinamakan Ada’ dan perkawinan
itu diatur oleh peraturan dari ajaran adat Aluk Todolo yang disebut Aluk Rampanan
Kapa’. Prosesi perkawinan di Toraja terlaksana karena adanya persetujuan kedua
belah pihak, kemudian disyahkan dalam perjanjian disaksikan oleh pemerintah
adat dan seluruh keluarga.
Dari jauh sudah tampak Mobil Pendoloan, yaitu
mobil khusus yang berjalan didepan Mobil Pengantin, memasuki lokasi pesta.
Mobil Pendoloan itu diikuti oleh Mobil Pengantin dibelakangnya kemudian
berhenti tidak jauh dari pusat pesta, untuk menurunkan pengantin dan rombongan
yang menyertainya.
Pengantin lelaki kemudian membawa pengantin
perempuan menuju Gereja untuk disyahkan secara agama , kemudian kembali ke
lokasi pesta. Pada saat menuju lokasi pesta, di depan ada pasukan yang membawa
Doke semacam Tombak, kemudian disusul dengan barisan pagar ayu yang berbaju
adat Kandore yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi
penghias dada, gelang, ikat kepala dan ikat pinggang. Ada dua warna baju para
pagar ayu, yaitu merah dan putih, kemudian di belakang mereka berjalanlah
pasangan pengantin dengan diiringi oleh Payung Kebesaran, selanjutnya
menyusullah para keluarga dari keluarga kedua mempelai. Kedua mempelai itu
berjalan menuju kursi pelaminan yang telah disediakan.
Peristiwa
Bencana Alam atau Kematian
Masyarakat Toraja gotong royong dalam
membantu masyarakat lain yang terkena musibah. Tanpa pemberitahuan atau
permintaan bantuan, masyarakat Toraja memiliki inisiatif tersendiri untuk
saling membantu. Masyarakat Toraja memiliki rasa kepedulian yang sangat tinggi.
Sistem
Religi
Kepercayaan
Orang Toraja
Orang
Toraja mempunyai agama sendiri dan mereka mempertahankan sampai sekarang.
Kepercayaan ini disebut ALUK TODOLO, penganutnya masih banyak dibagian pelosok
Tana Toraja. Pada saat sekarang ini sudah sebagian besar orang
Toraja yang menganut agama Kristen dan Islam. Orang Toraja Kristen yang tinggal
di Toraja masih tetap menghargai tradisi dan adat istiadat Toraja sepanjang
tidak bertentangan dengan aturan agama yang dianutnya. Penganut agama Kristen
jumlahnya sekitar 55% dan penganut ALUK TODOLO sekitar 40% dari
orang Toraja.
Upacara
Keagamaan
Upacara keagamaan aluk todolo umumnya selalu
diadakan di Tana Toraja adalah berhubungan erat dengan upacara keagamaan atau
acara adat dengan memotong ayam, babi, atau kerbau. Kehidupan masyarakat Toraja
sepanjang tahun terlibat dalam upacara keagamaan seperti pesta panen padi,
pesta rumah adat dan pemakaman orang mati.
Upacara keagamaan itu terbagi dua :
1. Upacara
Rambu Tuka atau Aluk Rampe Matallo.
Upacara rambu tuka ialah menyembah kepada
Dewata dan Puang Matua dengan memotong ayam, babi, atau kerbau dibawah pimpinan
Tominaa. Upacara ini disebut rambu tuka sebagai bahasa sastra yang
mengidentikkan sebagai upacara syukur yang mennggembirakan atau yang baik –
baik. Upacara rambu tuka sering disebut juga aluk rampe matallo atau upacara
keagamaan yang dilaksanakan pada pagi hari di bagian timur dari letak rumah.
Pemimpin agama selalu menghadap ke timur, mempersembahkan korban yang
dibawakan.
Upacara Rambu Tuka’ antara lain :
a. Mangrara
Bauna
Pembangunan rumah Tongkonan yang dibiayai
oleh biaya bersama atas nama keluarga, diadakan pesta yang dihadiri oleh
seluruh keluarga yang masing – masing anggota memotong seekor babi besar. Pada
upacara ini, diadakan macam – macam tarian adat seperti Ma’gellu tarian
daobulan dan lain – lain.
b. Ma’bugi’
Upacara syukuran dalam kampung sesudah panen
disebut Ma’Bugi’. Ma’Bugi’ juga diadakan untuk syukuran kampung sesudah terjadi
wabah penyakit agar tidak terulang lagi. Kalau ada orang mati dalam kampung
yang belum dikuburkan, tidak boleh diadakan Ma’bughi’. Orang kampung memotong
ayam, dan memasak nasi ketan dalam bamboo kemudian dimakan bersama dengan minum
tuak (nira).
c. Maro
Pesta maro diadakan untuk menyembuhkan orang
sakit yang diganggu roh halus. Maro dapat juga diadakan pada saat acara
mangrara banua. Uniknya, cara menyembuhkan orang sakit pada upacara ini yaitu
dengan setiap malam dikelilingi oleh orang yang mengadakan tarian maro.
Ditengah kerumunan massa yang menari pada malam hari, setelah orang sakit sudah
mendapat keringat dan sudah beberapa orang dukun kemasukan roh halus, maka
pengobatan diadakan dengan darah yang menetes dari dahi dukun dan darah yang
diambil dari lidah dukun yang dilukai. Luka – luka dukun akan segera sembuh
sesudah mengadakan kontak dengan “Dewata” dengan mempergunakan daun pohon
“tabang”. Proses ini berlangsung tiap malam selama acara maro berlangsung
sampai orang sakit sembuh.
d. Merok
Suatu pesta besar yang diadakan sebagai
kelengkapan dari pesta upacara kematian seorang bangsawan yang diadakan kalau
keluarga yang bersangkutan sudah merasa mampu. Acara merok brelangsung beberapa
hari dan setiap malam para pemimpin agama aluk todolo berkumpul menginpentarisir
segala atribut dan seluk beluk adat untuk diperbarui dalam pikiran. Seekor
kerbau dipotong sebagai persembahan kepada Puang Matua dan malam hari sebelum
hari terakhir, kerbau ini ditingga’ / disomba mengenai asal mula makhluk
diciptakan oleh Puang Matua melalui sauna sibarrung dimana nenek manusia, nenek
kerbau dan aluk diadakan. Untuk itulah kerbau dipelihara untuk dikembalikan
pada fungsinya sebagai hewan korban.
Pesta morok dapat juga diadakan sebagai
syukuran besar dari satu keluarga bahagia karena kaya. Pesta morok diadakan di
beberapa tempat untuk acara rumah tongkonan.
e. Ma’sassiri
Pesta panen sebagai penutup dari upacara
orang mati yang tergolong menengah, upacara pemakaman golongan menengah
diakhiri dengan ma’sassiri yaitu 2 atau 4 ekor babi dipotong.
f. Ma’bua
Ini adalah pesta adat rambu tuka yang paling
menarik dan paling besar, tetapi tidak semua daerah lingkungan adat adat
mengadakan pesta ma’bua ini. Pesta ma’bua hampir tiap tahun diadakan oleh
keluarga yang mampu. Anak gadis diberi pakaian lengkap
dan menjadi tontonan yang menarik. Yang lebih menarik pada upacara ini adalah
saat membawa obor api pada malam hari.
g. Ma’bate
Sebagai lanjutan dari pesta marok dan pesta
ma’bua, pada hari terakhir penutupan acara, semua orang kampung pergi ke tempat
terbuka berpesta ria dengan memotong babi dan ayam. Di tempat terbuka ini,
didirikan menara tinggi yang dihiasi dengan kain MAA’, semacam kain ikat antic
dan parang antic yang khusus, yakni parang yang dulu digunakan untuk
peperangan. Baik kain MAA’ maupun parang antic (La’bo’ Todolo) sudah jarang
ditemukan karena hampir punah di Toraja. Kain dan parang ini dibeli turis asing
untuk benda souvenir, diboyong pulang ke Eropa atau Jepang. Setelah selesai
acara makan di arena terbuka, diadakan tarian adat seperti tarian Ma’dandan,
tarian Ma’gellu dan tarian Maro.
h. Sisemba’
Pesta panen, suatu atraksi massal,
perkelahian antar kampung yang mempergunakan kaki, tidak boleh mempergunakan
tangan dan senjata lain. Tiap kampung menurunkan jago – jago sembak di arena
terbuka. Sisemba mempunyai pula syarat – syarat lain : Tidak boleh menyepak
lawan yang jatuh atau yang sudah menyerah. Kalau lawan pingsan atau patah
tulang harus segera diberi pertolongan.
1. Upacara
Rambu Solo atau Aluk Rampe Matampu’
Upacara
ini adalah semua upacara keagamaan yang mempersembahkan babi dan kerbau untuk
arwah leluhur atau untuk orang yang meninggal dunia seperti upacara pemakaman
secara adat, upacara ma’nene’. Upacara ma’nene’ adalah upacara memotong babi
atau kerbau untuk orang yang sudah dikuburkan bertempat di pemakaman liang
batu.
Kematian
membawa malapetaka, penderitaan batin keluarga yang ditinggalkan dan bukan itu
saja, tetapi membwa konsekuensi tanggung jawab solider seluruh anggota keluarga
dan persyaratan agama dan adat yang harus dipenuhi agar jiwa seseorang akan
damai dan selamat meninggalkan dunia yang fana ini menuju ke dunia yang tentram
di Puya.
Dengan
memberikan segala pengorbanan materi yangs anggup disediakan, anggota keluarga
merasa menunaikan kewajiban dan tanggung jawab yang tidak dapat dielakkan
selama anggota keluarga itu masih bersedia mengikuti tradisi adat, agama, dan
persentase keluarga di mata orang di kampung.
Hampir
seluruh kehidupan masyarakat Toraja difokuskan untuk upacara sesudah meninggal
dunia, namun dalam melaksanakan upacara pemakaman secara adat dan terbuka,
bergantung dengan kedudukan dalam masyarakat dan kemampuan seseorang.
Tingkat
– tingkat upacara pemakaman dalam aluk todolo :
a. Disilli
: upacara pemakaman yang paling sederhana. Dulu, orang miskin dari tingkatan
budak sering dikuburkan dengan cara yang menyedihkan, misalnya dengan hanya
membekali mayat dengan telur ayam, tetapi sekarang rata – rata keluarga
menguburkan orang mati dengan memotong seekor babi. Upacara penguburan disilli
adalah aluk golongan masyarakat budak, terutama untuk menguburkan anak yang
belum dewasa.
Anak
yang lahir dan meninggal ditanam bersama urihnya tanpa upacara keagamaan.
Sedangkan, anak yang meninggal sebelum giginya tumbuh, dimasukkan ke dalam
pohon kayu besar dengan upacara sederhana dan tanpa pembalut kain.Pohon tempat
penguburan ini disebut LIANG PIA atau PASSILLIRAN. Kedua cara penguburan ini,
berlaku bagi semua golonga, baik golongan bangsawan maupun golongan rendahan.
b. Dipasangi
Bongi
Upacara
penguburan orang mati yang acaranya hanya satu malam di rumah dan hanya seekor
kerbau dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini bagi orang tua dari
golongan terendah atau golongan menengah yang tidak mampu ekonominya.
c. Dipatallung
Bongi
Upacara penguburan ini berlangsung selama tiga malam di
rumah. Empat ekor kerbau dipotong dan babi sekitar sepuluh ekor. Hari kedua,
tamu datang membawa sumbangan berupa babi, tuak, dan umbi – umbian. Beberapa
tempat nasi tidak boleh dimakan di tempat itu dan semua keluarga terdekat
mempunyai kewajiban untuk pantang makan nasi selama berlangsungnya upacara dan
beberapa hari sesudah upacara. Selama tiga malam berturut – turut diadakan
acara ma’badong.
d. Dipalimang
Bongi
Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima hari lima
malam. Hari ketiga adalah hari penerimaan tamu. Tamu atau kenalan mendapat
kesempatan membawakan sumbangan berupa minuman tuak, buah – buahan, umbi –
umbian, kerbau, rokok ataupun gula pasir.
Sembilan ekor kerbau dan puluhan ekor babi dipotong.
Patung orang yang meninggal itu dibuat dari bamboo. Patung itu disebut TAU –
TAU LAMPA. Tau – tau ini dihiasi dengan pakaian adat tetapi pada waktu hari
penguburan, pakaian dan perhiasan diambil kembali.
Tidak
semua kampung mengadakan pemakaman seperti ini. Upacara pemakaman ini merupakan
upacara tingkat yang paling tinggi.
Pada
malam terakhir diadakan persiapan untuk satu acara khusus yang disebut acara
MA’PARANDO, dimana semua cucu almarhum yang sudah gadis, diarak pada malam
hari, duduk diatas bahu laki – laki dengan perhiasan semacam pakaian penari
yang terdiri dari perhiasan emas goyang dan kandaure. Mereka dibawa keliling
rumah tiga kali dengan memakai obor. Para penonton memuji kecantikan gadis,
namun adapula yang mencemoohnya. Orang yang mencemooh
tidak dimarahi selama masih dalam batas – batas norma kesusilaan. Sepanjang
lima malam selalu dilakukan ma’badong. Seluruh anggota keluarga berpantang
tidak makan nasi sampai seluruh embel – embel acara selesai.
e.Dipapitung
Bongi
Upacaranya
7 hari 7 malam. Setiap malam dan setiap hari ada acara pemotongan kerbau dan
babi. Keluarga terdekat pantang makan nasi selama acara berlangsung. Acara hari
penerimaan tamu lebih meriah banyak babi dipotong, kerbau 9 sampai 20 ekor.
Kepala kerbau diperuntukkan bagi rumah tongkonan dan daging kerbau diberikan
kepada tamu dan penduduk desa.
f. Dirapai
Upacara
penguburan orang mati yang paling mahal ialah mangrapai karena dua kali
diupacarakan sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah tongkonan dan
kemudian diistirahatkan satu tahun, baru upacara kedua diadakan. Upacara
pertama dalam bahasa daerah disebut dialuk pia. Pada upacara kedua, orang mati
diarak dengan pikulan ratusan orang dari rumah tongkonan ke rante (tempat
upacara kedua). Upacara ini disebut ma’paolo / ma’pasonglo’. Orang mati
dibungkus kain merah dilapisi emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum
dalam usungan yang dihiasai emas serta diiringi oleh puluhan ekor kerbau jantan
yang berhias yang siap untuk diadu satu lawan satu. Setelah tiba dir ante,
mayat dinaikkan ke satu bangunan tinggi khusus tempat orang mati itu (lakkian).
Acara – acara lain menyusul, seperti acara adu kerbau, acara sisemba, dan acara
tari – tarian.
Dirapai
dibagi menjadi tiga :
1. Rapasan
dilayu-layu dengan target terendah dua belas ekor kerbau.
2. Rapasan
sundun dengan target minimum 24 ekor kerbau yang dipotong.
3. Rapasan
sapurandanan dengan jumlah kerbau yang dipotong paling rendah 30 ekor.
Ketiga
type rapasan ini memotong babi ratusan ekor dan puluhan kerbau belang yang
mahal harganya.
Pada
rapasan sapurandanan, kerbau yang dipotong terdiri dari semua warna bulu
kecuali warna kerbau putih (tedong bulan). Jenis kerbau dan tingkatan nilanya :
1. Tedong
bulan (kerbau putih), tidak termasuk penilaian.
2. Tedong
sambao’ (kerbau abu - abu), dinilai paling rendah.
3. Tedong
todi’, berwarna putih sediikit di antara dahi dan tanduk.
4. Tedong
pangloli, berwarna putih pada ujung ekor.
5. Tedong
pudu’, berwarna hitam.
6. Tedo
bonga sori dan kapila, berwarna belang pada bagian kepala.
7. Tedong
bonga dan saleko, berwarna belang, bernilai paling tinggi.
Selain
itu, kerbau dinilai dari bagusnya tenduk dan kegemukan badannya.
Kerbau belian dan kerbau sambo ra’tuk termasuk yang mahal harganya. Balian
ialah kerbau yang dikebiri dan panjang tanduknya. Sedangkan kerbau sambo’ ratuk
berwarna putih bintik – bintik di seluruh badan.
Kelompok
/ Umat Keagamaan
Pada
awalnya, masyarakat Toraja menganut kepercayaan Aluk Todolo. Namun, seiring
berjalannya waktu, masyarakat Toraja sudah mulai menganut agama, seperti agama
Kristen, Hindu, bahkan Islam. Hingga kini, pada umumnya masyarakat Toraja
menganut agama Kristen. Penganut Aluk Todolo sekitar 55% dan penganut agama
Kristen sekitar 40%.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kehidupan manusia selalu diatur oleh aturan hukum
yang berlaku, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Hukum
tertulis biasanya bersumber dari hukum nasional yang berlaku di suatu Negara.
Sedangkan hukum tidak tertulis biasanya bersumber dari hukum adat yang hidup
dalam suatu masyarakat dalam rentang waktu yang cukup lama.
Dalam masyarakat Toraja pun hukum tidak
tertulis yang berupa kebiasaan, adat-istiadat, system norma banyak ditemukan.
Hukum-hukum itu menjadi pedoman bagi masyarakat dalam bertingkah laku dan dalam
mengatur kepentigan umum atau bersama. Hukum perkawinan adat misalnya, mengatur
tentang perkawinan yang berada di masyarakat Toraja, system kekerabatan dengan
sendirinya memberikan pengaruh dalam kehidupan bersama.
System-sistem hukum yang hidup di dalam
masyarakat Toraja merupakan cerminan dari hidup masyaraatnya. Selain itu,
hukum, adat-istiadat, kebiasaan, system kekerabatan, memberikan pengaruh agi
masyarakat dalam bertingkahlaku. Kajian tentang masyarakat Toraja secara umum
memberikan penjelasan tentang bagaimana hukum, system kekerabatan, system
social, system keagamaan, dan aspek lain dari kehidupan masyarakat,
Gambaran-gambaran itu merupakan kajian
antropologi karena berkaitan dengan tingkah laku dan gambaran hidup manusia.
Sementara kajian tentang hukum yang hidup dalam masyarakat Toraja adalah kajian
antropologi hukum, karena mengkaji tentang hubugan antara hukum yang berlaku
dengan tindakan manusia.
Usul
dan Saran
·
Bagi masyarakat Toraja:
ü Masyarakat
Toraja hendaknya tetap menjaga system-sistem hukum, adat-istiadat, kebiasaan
yang membantu masyarakat dalam kehidupan bersama.
ü Masyarakat
Toraja hendaknya berperan aktif dalam mewariskan budaya-budaya yang baik bagi
generasi yang akan datang.
Daftar Pustaka
Ragam
Budaya Daerah
Komentar