Hukum Laut


BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Hukum laut merupakan cabang hukum internasional. Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, hukum laut mengalamai revolusi atau perubahan-perubahan mendalam sesuai dengan perkembangan-perkembangan dan tuntutan-tuntutan zaman. Dewasa ini peran hukum laut sangat menonjol dalam mengatur sejauh mana kekuasaan suatu negara terhadap laut dan tentang kekayaan yang ada di dalamnya.
Pada awalnya hukum laut hanya mengurus kegiatan-kegiatan di atas permukaan laut, tetapi sekarang ini perhatian juga telah diarahkan pada dasar laut dan kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya.
Justru untuk menggunakan kekayaan laut itulah, hukum laut semenjak beberapa dekade terakhir telah berupaya keras bukan saja untuk menentukan sampai berapa jauh kekuasaan suatu negara teradap laut yang menggenangi pantainya, sampai sejauh mana negara-negara pantai dapat mengambil kekayaan-kekayaan  yang terdapat di dasar laut dan di atasnya, tetapi juga untuk mengatur eksploitasi daerah-daerah dasar laut yang telah dinyatakan sebagai warisan bersama umat manusia.














BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definis Laut
Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi. Jadi, Laut Mati, Laut Kaspia, dan Great Salt Lake yang ada di Amerika Serikat dari segi hukum tidak dapat dikatakan laut karena laut-laut tersebut tertutup dan tidak mempunyai hubungan dengan bagian-bagian laut lainnya di dunia.
2.2. Pentingnya hukum laut
Pentingnya laut dalam hubungan antarbangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum laut internasional. Tujuan hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut, yaitu sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan  serta sebagai sebagai sumber tenaga. Karena laut hanya dapat dimanfaatkan dengan kendaraan-kendaraan khusus, yaitu kapal-kapal, maka hukum laut harus menetapkan status kapal-kapal tersebut. Di samping itu, hukum laut juga harus mengatur kompetisi antara negara-negara dalam mencari dan menggunakan  kekayaan yang diberikan laut, terutama sekali antara  negara-negara maju dan berkembang.
2.3. Sumber-sumber hukum laut
Hukum kebiasaan adalah ketentuan-ketentuan umum mengenai hukum laut yang dipakai, terutama sampai tahun 1958. Hukum kebiasaan ini lahir atas perbuatan yang sama yang dilakukan  secara terus-menerus atas dasar kesamaan kebutuhan di laut.
Sumber-sumber hukum laut yang sah adalah hasil konferensi PBB pada tahun 1958 di Jenewa. Konferensi yang dilaksanakan pada 24 Februari sampai dengan 29 April 1958 itu dinamakan Konferensi PBB I tentang Hukum Laut, berhasil menelorkan 4 konvensi, yaitu:
1.      Convention on the Territorial Sea and Contiguous zone (Konvensi mengenai Laut Wilayah dan Zona Tambahan), mulai berlaku 10 September 1964.
2.      Convention on the High Seas (Konvensi mengenai Laut Lepas), mulai berlaku 30 September 1962.
3.      Convention on Fishing and Convention of the Living Resources of the High Seas (Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas), Mulai berlaku 20 Maret 1966.
4.      Convetion on the Continental Shelf (Konvensi mengenai Landas Kontinen), mulai berlaku 10 Juli 1964.

A.    Konferensi PBB III Tentang Hukum Laut
Konferensi ini menghasilkan beberapa kesepakatan dan pendapat, diantaranya:
1.      Declaration of Principles Governing the Sea-bed and Ocean Floor, and the Subsoil Thereof Beyond the Limits of National Jurisdiction, memutuskan bahwa daerah dasar laut dan lapisan tanah di bawahnya dinyatakan sebagai warisan bersama umat manusia.
2.      Konferensi ini menghasilkan beberapa konvensi tentang hukum laut (konvensi hukum laut) yang harus diutamakan dari konvensi-konvensi sebelumnya.
B.     Laut Lepas
Pasal 86 Konvensi PBB tentang hukum laut menyatakan  bahwa Laut Lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Prinsip hukum yang mengatur rezim laut lepas adalah prinsip kebebasan.
Penelitian mengenai laut lepas terdiri atas tiga bagian, yaitu:
                                            i.            Prinsip kebebasan di laut lepas
                                          ii.            Status hukum kapal-kapal di laut lepas
                                        iii.            Pengawasan-pengawasan di laut lepas.
1.      Prinsip Kebebasan di Laut Lepas
a.       Pengertian prinsip kebebasan
Menurut pasal 87 Konvensi, kebebasan di laut lepas berarti  bahwa laut lepas  dapat digunakan oleh negara manapun. Kebebasan-kebebasan yang dimaksud dalam pasal 87 adalah:
1)      Kebebasan berlayar;
2)      Kebebasan penerbangan;
3)      Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut;
4)      Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional
5)      Kebebasan menangkap ikan
6)      Kebebasan riset ilmiah

b.      Dasar dan Lahirnya Prinsip Kebebasan
Dari zaman purbakala sampai  abad pertengahan, pelayaran di laut adalah bebas bagi semua bangsa dan  dan setiap orang. Celsius dari Italy menyatakan the sea like the air is common to all mankind (laut bagaikan udara adalah milik bersama semua umat manusia). Lebih tegas lagi Ulpian mengatakan “the sea is open to everybody by nature (pada dasarnya laut bebas untuk semua orang).
Prinsip kebebasan juga muncul ketika Ratu Elisabeth I mengumumkan tentang kebebasan di laut. Menurutnya penggunaan laut dan udara adalah bebas bagi semua orang dan oleh karena jenisnya yang khusus, laut tidak akan dimiliki oleh siapapun  dan oleh negara manapun.
Selain itu, timbul apa yang dinamakan doktrin grotius sebagai bentuk sikap belanda terhadap  tuntutan kedaulatan spanyol. Grotius adalah ahli hukum muda negeri Belanda yang mempertahankan prinsip kebebasan di laut. Alasan Grotius mempertahankan prinsip kebebasan di laut adalah:
1)      Menurut Grotius, laut adalah suatu unsur yang bergerak dengan cair. Orang-orang yang menggunakan laut tidak tinggal menetap di laut (hanya singgah sebentar) dalam rangka keperluan tertentu. Tempat tinggal permanen manusia adalah di daratan. Oleh karena laut tak dapat dimiliki (res extra commercium) maka laut tak dapat berada di bawah kedaulatan negara manapun dan karena itu bebas untuk dilayari oleh siapapun.
2)      Menurut Grotius, Tuhan menciptakan bumi ini sekalian dengan lautnya dan ini berarti agar bangsa-bangsa di dunia dapat berhubungan satu sama lain untuk kepentingan bersama. Ia menambahkan bahwa angin yang berhembus dari segala arah dan membawa kapal ke seluruh pantai. Artinya bahwa laut itu bebas dan dapat digunakan oleh siapapun.
c.       Natur Yuridik Laut Lepas
1)      Res Nullius
Sebagai res nullius, laut lepas adalah bebas karena tidak ada yang memilikinya. Akibat negatif dari teori ini adalah bila laut bukan milik suatu negara, maka kebebasan yang terdapat di laut dapat berakibat ekstrim, misalnya negara dapat memiliki laut tersebut karena ia mempunnyai kekuatan teknik untuk itu. Namun menurut pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982, kebebasan di laut dilakukan atas syarat-syarat tertentu.
2)      Res Communis
Res communis berarti bahwa laut adalah milik bersama, karena itu negara bebas menggunakannya. Kalau milik bersama berarti bahwa laut lepas itu berada di bawah kedaulatan bersama negara-negara dan diatur melalui pengelolaan internasional.
Solusi terbaik mengenai laut lepas adalah menganggapnya sebagai suatu domaine publik internasional. Jadi, yang diutamakan adalah kegunaanlaut tersebut untuk kepentingan bersama masyarakat internasional. Artinya, laut lepas tidak dapat dimiliki oleh siapapun tetapi dapat digunakan bersama  untuk kepentingan masyarakat internasional.
2.      Status Hukum Kapal-kapal di Laut Lepas
a.       Perbedaan antara kapal-kapal publik dan Kapal-kapal swasta.
Perbedaan ini didasarkan atas bentuk penggunaan bukan atas kualitas pemilik kapal. Kapal-kapal publik adalah kapal-kapal yang digunakan  untuk dinas pemerintahan dan bukan untuk tujuan swasta. Yang termasuk kapal-kapal publik adalah kapal perang, kapal-kapal publik non-militer (kapal-kapal pemerintahan, kapal-kapal riset, kapal-kapal pengawasan pantai dan lain-lain), kapal organisasi-organisasi internasional (PBB). Yang termasuk kapal-kapal swasta adalah kapal-kapal dagang yang dipakai untuk tujuan komersial. Sebuah kapal negara yang dipakai untuk tujuan komersial adalah kapal swasta.
b.      Wewenang Penuh Ketentuan-ketentuan Negara Bendera
Kapal-kapal yang ada di laut lepas sepenuhnya tunduk pada peraturan-peraturan atau ketentuan negara bendera (pasal 92 konvensi). Ketentuan ini dibuat agar terdapat kesatuan hukum untuk menjamin ketertiban  dan disiplin di atas kapal. Undang-undang negara bendera berlaku  berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di atas kapal.
Dasar dari ketentuan ini adalah adanya anggapan bahwa kapal sebagai floating portion of the flag stage, yaitu bagian terapung wilayah negara bendera. Karena negara mempunyai wewenang absolut terhadap wilayah, maka negara tesebut berwenang pula terhadap kapal-kapalnya yang berlayar di laut lepas.
Namun, tidak berlaku di setiap tempat. Misalnya kapal-kapal swasta yang telah meninggalkan laut lepas dan masuk ke laut wilayah suatu negara, tidak berlku ketentuan negara bendera tersebut.
c.       Akibat Wewenang Eksklusif Negara Bendera
1)      Pemberian kebangsaan, yaitu dengan mendaftarkan kapal dalam wilayah dan memberikan hak untuk mengibarkan benderanya.
2)      Bukti kebangsaan, dengan menunjukan bendera (untuk kapal perang) disertai bukti-bukti lain ( kebangsaan, identitas kapal, surat jalan, dan muatan kapal), ini berlaku bagi kapal swasta.
Mengenai kekebalan kapal perang di laut lepas, pasal 95 konvensi menyatakan bahwa kapal perang laut lepas memiliki kekebalan penuh dari yuridiksi negara manapun selain negara bendera. Artinya hanya tunduk pada wewenang negaranyadan bebas dari kekuasaan negara asing. Sebaliknya, bagi kapal-kapal swasta wewenang negara bendera  tidak absolut lagi tetapi telah menjadi relatif.
3.      Pengawasan di Laut Lepas
a.       Pengawasan umum
Pengawasan umum ini terdiri dari pengawasan biasa, inspeksi, dan bahkan tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menjamin keamanan umum lalu lintas laut. Pengawasan umum termasuk juga pemeriksaan kapal. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan penghentian kapal dengan memeriksa surat-surat kapal dan muatannya (right of visit, pasal 110 Konvensi)
b.      Pengawasan khusus, ada bermacam-macam:
1)      Pemberantasan Perdagangan Budak Belian
2)      Pemberantasan Bajak laut
3)      Pengawasan Penangkapan Ikan
4)      Pengawasan untuk Melindungi kabel-kabel dan pipa bawah laut
5)      Pemberantasan pencemaran laut
6)      Pengawasan untuk kepentingan sendiri negara-negara, yang   terbagi atas hak pengejaran seketika dan ha bela diri. Hak pengejaran seketika merupakan hak suatu negara di laut lepas untuk mengejar, menangkap dan membawa ke pelabuhannya suatu kapal swasta asing yang telah melakukan suatu perbuatan melanggar hukum di laut wilayah atau di perairan pendalamannya. Syarat pengejaran terus menerus harus terus-menerus dan dihentikan apabila kapal yang dikejar memasuki laut wilayahnya atau laut wilayah negara lain. Hak pengejaran ini diatur dalam pasal 111 Konvensi.
7)      Kebebasan yang dibatasi di laut lepas
C.     Landas Kontinen
1.      Landas Kontinen dari Segi Geologis/Ekonomis
Landas kontinen adalah daerah dasar laut yang terletak antara dasar air rendah dan titik dimana dasar laut menurun secara tajam, dan dimana mulai daerah dasar laut yang baru (lereng kontinen). Biasanya penurunan dasar laut secara tajam terjadi pada kedalaman sekitar 200 meter. Lebar landas kontinen berbeda-beda dari 1-1.300 km dari pantai, tapi ukuran ini tidak sama di seluruh bumi.
Landas kontinen bukan saja fenomena geografis tetapi juga suatu fenomena ekonomis karena kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya. Kekayaan yang ada di dalamnya, antara lain; emas, berlian, sumber minyak dan gas bumi, pospor, logam dan sebagainya.
2.      Landas Kontinen dari Segi Hukum
Kekayaan-kekayaan mineral yang terdapat di Landas Kontinen menjadi persoalan yang perlu dipecahkan oleh hukum. Hukum internasional mengatur tentang siapa yang dapat memiliki landas kontinen tersebut, siapa yang berhak mengeksploitir kekayaan-kekayaan alamnya atau melindunginya.
a.       Praktek Negara-negara Sebelum 1958
Peraturan mengenai landas kontinen pertama kali terjadi pada 29 September 1915. Tuntutan yang datang dari pemerintah Rusia itu mengenai status pulau-pulau di sebelah utara siberia.  Perjanjian lain adalah antara Inggris dan Venezuela mengenai  daerah dasar laut Teluk Persia pada 26 September 1942. Pernyataan unilateral yang berpengaruh di bidang landas kontinen adalah pernyataan presiden Truman pada 28  September 1945.
Pernyataan Truman ini menegaskan tentang keharusan untuk menentukan batas-batas landas kontinen antara negara-negara tetangga atas dasar persetujuan bersama, dan menegaskan pula bahwa hak-hak  pengawasan dan perlindungan negara pantai terhadap landas kontinennya tidak boleh mengganggu kebebasan berlayar di laut yang menutup landas kontinen tersebut.
b.      Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen
Pasal 1 Konvensi Jenewa mendefinisikan landas kontinen sebagai:
·         Dasar dan lapisan tanah di bawah laut yang berbatasan dengan pantai tetapi berada di luar daerah laut wilayah sampai kedalaman 200 meter atau daerah yang lebih dalam lagi dimana dalam airnya memungkinkan eksploitasi sumber-sumber alam daerah tersebut.
·         Dasar dan lapisan tanah di bawah laut seperti di atas yang berbatasan dengan pantai kepulauan.
Pasal 2 Konvensi Jenewa manyatakan: negara pantai mempunnyai hak-hak berdaulat atas landas kontinen untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber alamnya.
Pasal 3 konvensi menyatakan bahwa hak negara pantai atas landas kontinen tidak akan mempengaruhi status yang sah dari lautan bebas pada perairan itu dan udara di atasnya.
Pasal 5 ayat (1) konvensi menyatakan bahwa: Eksplotasi pada dataran kontinen eksploitasi sumber alamnya harus dilakukan sebegitu rupa, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya suatu gangguan terhadap pelayaran, perikanan atau pencadangan sumber hayati di laut, dan tidak boleh pula menggangu penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah yang dilakukan untuk kepentingan pengetahuan
Pasal 6 mengatur tentang penetapan batas landas kontinen antara negara-negara yang berdekatan, baik yang saling berhadapan maupun yang berdampingan.
c.       Praktek negara-negara sesudah tahun 1958
Sesudah Konferensi Jenewa 1958, negara-negara pada umumnya menyatakan kedaulatannya atas landas kontinen mereka dengan menentukan  sekaligus apa-apa saja hak mereka serta cara-cara pelaksanaan hak-hak tersebut. Pada umumnya, negara-negara memiliki undang-undang tersendiri mengenai pengaturan mengenai landas kontinen.
d.      Ketentuan-ketentuan konvensi 1982
Konvensi 1982 adalah ketentuan untuk menyempurnakan  ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa. Ketentuan pasal 76 Konvensi tahun 1982 mengatur bahwa lebar landas kontinen adalah:
·         Negara-negara yang pinggiran luar tepi kontinennya kurang dari 200 mil, lebar landas kontinen negara tersebut diperbolehkan sejauh 2000 mil dari pantai.
·         Negara-negara yang pinggiran tepi kontinennya lebih lebar dari 200 mil dari garis pangkal dapat memperoleh landas kontinen sejauh pinggiran luar tepi kontinen tersebut.
Undang-undang Lantas Kontinen Indonesia
Peraturan atau kebiaksanaan Indonesia mengenia landas kontinen diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang disahkan oleh presiden pada 6 Januari 1973. Pasal 2 UU tersebut menyatakan bahwa kekuasaan penuh dan hak eksklusif  atas kekayaan alam  di lantas konntinen adalah milik negara. Selanjutnya eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam di landas kontinen  hanya dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 4).  Aturan mengenai pencegahan pencemaran lingkungan juga diatur oleh pemerintah  melalui Pasal 8. Pasal 9 mengatur tentang yuridiksi terhadap semua kegiatan di landas kontinen. Pasal 10 mengatur tentang kegaitan eksplorasi dan eksploitasi harus memperhatikan perlindungan terhadap ketahanan dan keamanan nasional, perhubungan, telekomunikasi, perikanan, penyelidikan oceanografi dan cagar alam. Bahkan pemerintah juga megatur tentang ketentuan-ketentuan hukum terhadap perselisihan antara kepentingan di landas  kontinen, yang diatur dalam pasal 11.
e.       Delimitasi Landas Kontinen
Penetapan garis batas landas kontinen adalah suatu yang sangat penting untuk menghindar terjadinya tumpah  tindih klaim. Masalah delimitasi diatur dalam pasal 83 Kovensi dimana penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan  atau berdampingan harus  dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional.
Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958 meletakan garis batas landas kontinen antarnegara yang berhadapan atau berdampingan adalah garis tengah kecuali jika ada situasi-situasi khusus.
Ada dua pendapat yang muncul pada saat perumusan pasal 83 Konferensi Hukum Laut, yaitu Prinsip equidistance yang menggunakan prinsip garis tengah  sebagai prinsip umum dan akan menyesuaikan prinsip tengah itu jika terdapat situasi-situasi khusu. Pendapat kedua menggunakan prinsip equitable, yaitu perlu ditekankan bahwa garis batas itu dinilai adil oleh kedua pihak.
D.    Zona Ekonomi Ekslusif
1.      Historis
Zona ekonomi eksklusif adalah suatu manifestasi dari usaha-usaha negara-negara pantai untuk melakukan pengawasan  dan penguasaan terhadap segala macam sumber kekayaan yang terdapat di Zona laut yang terletak diluar atau berbatasan dengan laut wilayahnya. Pemahaman ini berangkat dari sejarah bahwa  kebebasan di laut yang digembar-gemborkan oleh negara-negara maritim besar hanyalah semata-mata unutk mempertahankan kepentingan negara tersebut.
2.      Lebarnya Zona Ekonomi Eksklusif
Lebar zona ekonomi  eksklusif adalah 200 mil atau 370,4 km. Semenjak  dikemukakannya gagasan zona ekonomi, angka 200 mil dari garis pangkal tetap dijadikan pegangan. Pasal 57 Konvensi 1982 manyatakan bahwa lebar zona ekonomi eksklusif tidak  boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut wilayah diukur.
3.      Prinsip-prinsip Hukum Zona Ekonomi Eksklusif
Dalam pasal 56 konvensi, terhadap zona ekonomi eksklusif negara memberikan hak-hak berdaulat kepada negara pantai untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam baik hayati maupun nonhayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus, dan angin.
Selanjutnya, dalam melaksanakan hak-hak  berdaulat tersebut, negara-negara pantai juga sebagaimana ditetapkan  pasal 73 konvensi, dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap  perlu seperti pemeriksaan, penangkapan kapal-kapal yang melanggar ketentuan-ketentuan  yang dibuat negara pantai.
Di indonesia, UU mengenai zona ekonomi eksklusif diatur dalam UU No. 5 tahun 1983 dan dilengkapi oleh Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
4.      Delimitasi  Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Prinsip hukum delimitasi ZEE diatur tersendiri dalam pasal 74 Konvensi Hukum Laut.
E.     Laut Wilayah
1.      Natur Yuridik Laut Wilayah
a.       Doktrin hak milik
b.      Doktrin hak kedaulatan
Dokrin ini diterima oleh Institut de Droit Internasional:
1)      Dalam sidangnya di Paris 1894, Institut menerima resolusi yang berisi:
·         Negara pantai mempuyai kedaulatan terhadap laut wilayah selebar 6 mil dari pantai.
·         Lebar laut wilayah tidak perlu sama untuk suatu keperluan dengan keperluan lainnya.
2)      Konferensi Institut de Droit Internasional di Stockholm tahun 1928, juga menegaskan teori in; Negara-negara mempunyai kedaulatan atas bagian laut yang menggenangi pantainya dengan kelebaran 3 mil atau lebih.
c.       Yurisprudensi internasional
·         Keputusan tanggal 29 Juni 1933 oleh suatu komisi Amerika Serikat, Panama dalam sengketa la compania de navigacion nacional. Bahwa the completeness of the sovereignity yang dimiliki negara pantai selebar 3 mil di atas laut yang berbatasan dengan pantai
·         Keputusan 18 Desember 1951, menyinggung hubungan erat antara daratan dan lautan.
·         Pasal 1 konvensi Jenewa 1958 menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara dapat melampaui daratan dan perairan pendalamannya sampai kepada suatu jalur laut yang berbatasan dengan pantai negara tersebut yang dinamakan laut wilayah.
2.      Lebar Laut Wilayah
a.       Praktik Internasional
Konferensi Hukum Laut III yang dimulai  tahun 1973 merumuskan lebar laut wilayah yang termuat dalam Pasal 3 Konvensi, setiap negara berhak menetapkan lebar laut wilayahnya hingga batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan  sesuai dengan konvensi.
b.      Cara Penarikan Garis Pangkal
Menurut Pasal 3 Konvensi Jenewa dan Pasal 5 Konvensi 1982 menentukan: garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang diakui  resmi oleh negara pantai tersebut.
Ketentuan penarikan garis lurus menurut Pasal 7 Konvensi 1982.
·         Penarikan garis pangkal lurus tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai dan bagian-bagian laut yang terletak di dalam garis pangkal itu harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk  pada rezim perairan pedalaman
·         Garis pangkal lurus tidak boleh ke dan dari elevasi surut, kecuali jika di atasnya didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen ada di atas permukaan laut.
·         Sistem penarikan garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan oleh suatu negara dengancara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
c.       Delimitasi Laut Wilayah
Menurut Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982, delimitasi laut wilayah menggunakan prinsip garis tengah dalam menetapkan garis batas laut wilayah, kecuali jika ada alasan hak historis atau keadaan lain. Selain itu, UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia juga telah mengatur tentang masalah delimitasi laut wilayah. Pasal 10 menyatakan bahwa dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial  antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah  yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal darimana lebar laut teritorial  masing-masing negara diukur.
3.      Wewenang Negara Pantai
Negara pantai mempunyai wewenang penuh bukan saja terhadap udara di atas laut wilayah tetapi juga atas semua sumber-sumber kekayaan yang terdapat di dalam laut, di dasar laut dan lapisan tanah di bawahnya.
Menurut pasal 25  konvensi 1982, wewenang negara pantai adalah:
·         Mengambil langkah-langkah yang diperlukan  dalam laut wilayahnya untuk mencegah  lintas yang tidak damai
·         Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegak pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang telah ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan  pedalaman atau untuk melakukan persinggahan  di pelabuhan
·         Menangguhkan sementara bagian tertentu laut teritorialnya bagi lintas damai kapal asing apabila penangguhan demikian sangat diperlukan untuk perlindungan keamananya.
Wewenang negara pantai juga adalah hak lintas damai dan hak menangkap ikan.
4.      Zona Tambahan
Zona  tambahan merupakan zona transisi transisi antara laut lepas dan laut wilayah. Zona tambahan ini berfungsi untuk  mengurangi kontras antara laut wilayah yang rezimnya tunduk seluruhnya pada kedaulatan negara pantai dan laut bebas dimana terdapat rezim kebebasan.
Menurut pasal 33 ayat 2Konvensi, zona tambahan tidak dapat lebih dari 24 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut wilayah diukur. Lebar zona tambahan adalah 12 mil.
F.      Konsepsi Negara Kepulauan
1.      Hukum Laut Indonesia di Zaman Kolonial
Di masa lampau, perairan Indonesia diatur dalam oleh Teritoriaal Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie tahun1939, tercantum dalam staatsblad 1939 No. 442 dan yang mulai berlaku tanggal 25 September 1939. Mengenai laut laut wilayah, pasal 1 ordonansi tersebut menyatakan bahwa lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil laut, diukur dari garis air rendah dari pulau-pulau yang termasuk  dalam daerah Indonesia.
2.      Lahirnya Konsepsi Negara Kepulauan
Pada tanggal 13 Desember 1957, pemerintah  mengeluarkan ketentuan dalam bentuk pengumuman  yang dikenal dengan nama  Deklarasi Djuanda,  yang berisi:
Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan  dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang.
Inilah yang dinamakan Wawasan Nusantara, Konsepsi Nusantara yang bertujuan untuk menjamin kepentingan-kepentingan nasional dan keutuhan wilayah indonesia. Undang-undang No. 4 Prp. 1960 menyatakan bahwa seluruh kepulauan dan perairan Indonesia adalah suatu kesatuan dimana dasar laut, lapisan tanah di bawahnya, udara di atasnya serta seluruh kekayaan alamnya berada di bawah kedaulatan Indonesia.
Selain itu, UU No. 4 Prp 1960 juga mengatur tentang Perairan Indonesia, yakni:
·         Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia.
·         Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah daripada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
·         Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar
·         Lalu lintas laut damai dalam perairan pedalaman  Indonesia terbuka bagi kendaraan asing.
3.      Persoalan Pelayaran di Selat Malaka
Persoalan yang terjadi di Selat Malaka adalah mengenai status Selat tersebut berkaitan dengan adanya perbedaan dalam menentukan ukuran. Pasal 1 UU. No. 4 Prp 1960 tentang perairan Indonesia, menyatakan bahwa lebar laut Indonesia adalah 12 mil dan pada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dan bila negara Indonesia  tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas wilayah laut Indonesia adalah ditarik pada tengah selat tersebut.
Karena adanya bagian-bagian laut di Selat Malaka yang lebarnya kurang dari 24 mil, maka perlu ditarik garis batas yang akan menentukan laut wilayah masing-masing negara pantai yaitu Indonesia dan Malaysia. Sebagai akibat dari perjanjian garis batas laut wilayah masing-masing negara yang lebarnya 12 mil ini, ialah bahwa pada bagian-bagian yang tertentu dari laut yang dulunya merupakan laut bebas sekarang telah menjadi laut-laut wilayah Indonesia dan Malaysia. Ini berarti bahwa bagian-bagian laut yang telah menjadi laut wilayah ini akan berlaku kedaulatan negara-negara pantai tersebut.
Jadi, kapal-kapal asing yang melalui Selat Malaka harus mematuhi ketentuan-ketentuan lintas damai agar keselamatan lalulintas dan kepentingan-kepentingan negara pantai itu tidak terancam.
4.      Perjuangan Wawasan Nusantara
Dalam rangka perjuangan di forum-forum internasional, Indomesia beruang agar Wawasan Nusantara  dijadikan ketentuan hukum internasional dan memperuangkan konsepsi negara kepulauan. Bagi Indonesia, Wawasan Nusantara didasarkan atas dasar suatu undang-undang nasional  yaitu undang-undang No. 4 Prp 1960. Bagi Indonesia, di bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam garis pangkal yang dinamakan perairan pedalaman, diakui hak lintas damai bagi kapal-kapal asing.
Pengakuan internasional terhadap konsepsi Wawasan Nusantara melalui ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, merupakan kulminasi perjuangan Indonesia selama 25 tahun.
5.      Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982
a)      Di Bidang Penentuan Garis Pangkal
Menurut pasal 5 ayat (3) UU 1996, garis pangkal lurus kepulauan adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang yang terluar dari kepulauan Indonesia. Selanutnya, sesuai pasal 6 UU 1996 haruslah dibuat daftar titik-titik terluar dan garis-garis pangkal tersebut serta mencantumkannya dalam peta dengan skala-skala yang memadai dan mendepositkannya pada sekretarian jenderal PBB.
b)      Mengenai Hak Lintas Damai
Sebagaimana yang terdapat dalam pasal 21 Konvensi dan Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Bab III UU 1996, mengenai hak lintas damai, Indonesia harus meninjau kembali atau membuat ketentuan-ketentuan  yang terperinci tentang lintas damai tersebut yang didasarkan atas 8 butir yang terdapat dalam pasal 21 Konvensi. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP No. 36 tanggal 28 Juni 2002, yang mengatur hak lintas damai di perairan Indonesia.
c)      Mengenai Hak Lintas Transit
Pasal 42 Konvensi dan Bab III UU 1996, mengizinkan negara-negara yang dipisahkan selat untuk membuat peraturan perundang-undangan mengenai lintas transit melalui selat-selat bertalian dengan keselamatan pelayaran, pencegahan polusi, peratuaran penangkapan ikan, dll.
d)     Penentuan Batas Perairan Pedalaman
Sesuai pasal 50 Konvensi 1982, Negara Nusantara dapat menarik garis-garis penutup untuk menetapkan perairan pedalaman.
e)      Zona Ekonomi Eksklusif
Pasal 55-75 Konvensi mengatur hak-hak, kewajiban, yurisdiksi negara-negara pantai, luas Zona ekonomi serta pemanfaatan dan perlindungan kekayaan hayati laut. Indonesia sudah dilengkapi dengan UU NO. 5 1983 dan PP No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Hayati Laut di Zona Ekonomi Eksklusif.
f)       Landas Kontinen
Untuk eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi, Indonesia telah mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai landas kontinen Indonesia tanggal 17 Februari 1969 dan UU No. 1 tanggal 6 Januari 1973.
g)      Penentapan Alur Laut Kepulauan Indonesia
Undang-undang No. 6 tahun 1996 berisikan ketentuan penetapan lintas alur laut kepulauan.

6.      Undang-undang No. 6 tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia.
Menurut pasal 2 UU 1996, Negara RI adalah negara kepulauan, yang berarti: segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara RI  dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian inegral dari wilayah RI sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara RI.
Mengenai hak lintas damai, pasal 11 UU 1996 menyatakan bahwa Kapal semua negara, baik negara pantai  maupun tak berpantai menikmati hak lintas damai melalui  laut teritorial an perairan kepulauan Indonesia.
Selanjutnya pasal 23 UU 1996 berisikan ketentuan mengenai pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku dan hukum internasional.
7.      Implikasi Pemisahan Timor-Timur terhadap Perairan Indonesia
·         Status hukum Timor-Timur telah berubah dan bukan lagi merupakan bagian dari wilayah kesatuan RI
·         Terjadinya perubahan konfigurasi kepulauan Indonesia, dan oleh karena itu dilakukan penyesuaian yakni penyesuaian titik dasar untuk garis pangkal, penyesuaian alur-alur laut kepulauan dan perjanjian-perjanjian batas maritim.
G.    Kawasan Dasar Laut Internasional
Majelis umum PBB dalam resolusinya tanggal 17 Desember 1970 menyatakan bahwa dasar-dasar laut dan samudera beserta lapisan tanah di bawahnya yang berada di luar batas yurisdiksi nasional dengan segala macam kekayaannya adalah milik bersama umat manusia. Persoalan pokok yang harus diselesaikan ialah dimana berhentinya kedaulatan nasional dan kapan mulainya kawasan dasar laut internasional tersebut.
Kekayaan-kekayaan dasar samudera dimanfaatkan untuk kesejahteraan keseluruhan umat manusia sesuai dengan resolusi-resolusi majelis umum PBB. Tetapi harus ditentukan terlebih dahulu bagian-bagian mana dari laut permukaan bumi ini yang dapat dijadikan kawasan dasar laut internasional, siapa atau organisasi mana yang harus mengadakan eksplotasi kekayaan-kekayaan tersebut, bagaimana status dan fungsinya serta bagaimana cara-cara eksploitasi dan pembagian dari kekayaan laut tersebut.
Pada umumnya negara pantai menuntut yurisdiksi nasioal untuk menguasi sumber kekayaan di daerah laut dan untuk menjamin kepentingan nasional lainnya. Sementara negara-negata tidak berpantai menuntut yurisdiksi yang sekecil mungkin bagi negara-negara pantai atas laut di sekitarnya.
Pengelolaan kekayaan dasar laut internasional bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu harus dibentuk beberapa organ dan mekanisme, diantaranya:
1)      Mekanisme Kelembagaan
2)      Ketentuan-ketentuan Eksploitasi
3)      Persetujuan Implementasi 1994
H.    Penyelesaian Sengketa Menurut Konvensi Hukum Laut
Sengketa  hukum laut diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme dan institusi-institusi peradilan internasional yang telah ada seperti Mahkamah Internasional.  Sistem peradilan internasional merupakan yang pertama kali yang dapat mengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur memaksa.
Jika melalui prosedur di atas para pihak tetap belum dapat menyelesaikan sengketany, maka diterapkan prosedur selajutnya yaitu menyampaikan ke salah satu badan peradilan yang disediakan oleh konvensi, yaitu:
·         Tribunal Internasional untuk hukum laut
·         Mahkamah internasional
·         Tribunal Arbitrasi
·         Tribunal Arbitrasi Khusus










BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum laut merupakan cabang hukum internasional. Hukum laut mengatur  tentang  kegiatan-kegiatan di atas permukaan laut juga kegiatan-kegiatan pada dasar laut, misalnya mengatur tentang eksplorasi dan eksploitasi kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu hukum laut sangat penting dalam mengatur tentang masalah yang ada di laut baik di permukaan, di bawah permukaan laut maupun di atas permukaan laut.
Hukum laut tersebut bersumber dari berbagai konvensi yang dibuat oleh dunia internasional, organisasi internasional dan kesepakatan internasional. Konvensi-konvensi itu diantaranya ada yang mengatur tentang prinsip kebebasan di laut, tentang status hukum kapal-kapal yang ada di laut, dan mengenai pengawasan terhadap aktivitas yang dilakukan di laut.
Hukum laut juga mengatur tentang  pembagian laut (Laut Lepas, landas kontinen, dan Zona Ekonomi Eksklusif) dan ketentuan-ketentuan hukum terhadap laut-laut tersebut. Ketentuan hukum itu misalnya mengenai cara penarikan garis pangkal dan garis batas atas laut-laut tersebut.
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai kedudukan strategis di dalam hubungan internasional. Setelah diakuinya Indonesia secara resmoi sebagai negara kepulauan oleh negara-negara luar, maka kedudukan Indonesia di dunia internasional sangat penting, khususnya dalam bidang pelayaran.
Jika terjadi perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam bidang hukum laut maka dunia internasional menyediakan suatu sistem penyelesaian sengketa yang sangat kreatif. Sistem penyelesaian sengketa dilakukan melalui peradilan internasional, mahkamah internasional, tribunal internasional dan tribunal arbitrasi.



Daftar Pustaka
Mauna, Boer. Hukum Internasional. 2011. Bandung: PT. Alumni











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng Manggarai: Tombo ca anak koe ata oke le eman

Dasar, Struktur, Fungsi dan Corak Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja Katolik

HUKUM ADAT SUKU ASMAT