Kebudayaan Masyarakat Suku Madura
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hukum adat adalah peraturan-peraturan yang tidak tertulis dan berkembang yang dibuat manusia dan berkembang yang berlaku di masyarakat tentang tingkah laku kebiasaan manusia di masyarakat dan tidak bersumber kepada pemerintah. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Kelompok
etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya
mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis
keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang
lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, bahasa, agama,
perilaku, dan ciri-ciri biologis.
Menurut
pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis
pada tahun 1992, “etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan
manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia”
meskipun definisi ini sering kali diubah –ubah.
Dalam
makalah ini, penulis hendak mendeskripsikan adat kebiasaan suku Madura. Adat
kebiasaan ynag menjadi fokus adalah terkait dengan hukum yang ada di dalam
masyarakat adat Madura, misalnya “carok” yang merupakan sistem hukum yang ada
dalam masyarakat Madura yang berfungsi untuk menyelesaikan masalah yang ada
dalam masyarakat mereka.
2. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah suku Madura ?
2.
Bagaimana sistem teknologi dan mata pencaharian suku Madura ?
3.
Seperti apa adat istiadat dan
stratifikasi sosial suku Madura ?
4.
Apa saja kesenian dan keagamaan suku Madura ?
5.
Bagaimana interaksi sosial suku Madura?
6.
Seperti apa budaya hukum suku
Madura ?
3. Tujuan
1.
Untuk mengetahui sejarah suku Madura
2.
Untuk mengetahui adat istiadat dan stratifikasi sosial suku Madura
3.
Untuk mengetahui adat istiadat dan stratifikasi sosial suku Madura
4.
Untuk mengetahui kesenian dan keagamaan suku Madura
5.
Untuk mengetahui interaksi sosial suku Madura
6.
Untuk mengetahui budaya hukum suku Madura
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah suku Madura
Suatu negara
yang bernama Mendangkamulan dengan seorang Raja yang bernama Sangyangtunggal
beliau mempunyai anak gadis bernama Bendoro Gung. Yang pada suatu hari hamil
dan diketahui Ayahnya. Raja amat marah karena kehamilan putri kesayangannya
tidak bisa masuk akal akhirnya dia menyuruh sang Patih yang bernama Pranggulang
untuk membunuh anaknya itu. Karena tidak tega melihat putri Bendoro Gung maka
ia tidak membunuh anak Raja itu melainkan mengasingkannya ke tepi laut sambil
berucap pergilah ke “Madu Oro” (waktu itu hanya sebuah dua bukit di tengah laut
yang kemudian sekarang tempat tersebut disebut gunung Geger di Bangkalan dan
bukit yang kedua adalah gunung Pajudan Sumenep) dan patih yang baik hati itu
tidak kembali ke Istana dengan tujuan takut di bunuh oleh raja karena telah
melalaikan tugasnya dia juga merubah namanya dengan Ki Poleng serta melepas
pakaian kebangsawanannya dan di ganti dengan kain tenun (kain sederhana yang
kemudian menjadi ciri khas orang Madura). Putri raja yang hamil yang malang
merasa perutnya sakit dan segera ia memanggil Ki Poleng dengan cara mengepakkan
kakinya kebumi sebanyak tiga kali sesuai petunjuknya dulu. Tidak lama kemudian
Ki Poleng datang dan mengatakan bahwa Bendoro Gung akan melahirkan anak.
Akhirnya putra tersebut yang diberi nama Raden Segoro (artinya laut, sebab dia
lahir ditengah laut).
Maka dapat disimpulkan bahwa istilah Madura berasal dari akar kata Madu Oro yang merupakan lontaran dari patih yang bijaksana dalam menyimbolkan dua bukit ditengah lautan. Sedangkan asal usul penduduk pulau Madura merupakan anak cucu dari Raden Segoro dari ibu Bendoro Gung.
Maka dapat disimpulkan bahwa istilah Madura berasal dari akar kata Madu Oro yang merupakan lontaran dari patih yang bijaksana dalam menyimbolkan dua bukit ditengah lautan. Sedangkan asal usul penduduk pulau Madura merupakan anak cucu dari Raden Segoro dari ibu Bendoro Gung.
2. Sistem Teknologi dan Mata Pencaharian Suku Madura
Menurut sejarah,
Madura selama berabad-abad berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu
seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit. Lalu sempat dibawah kepemimpinan
kerajaan Islam Demak akan tetapi setelah itu Madura berada di bawah Kekuasaan
kolonial Belanda selama kurun waktu yang tidak pendek sampai akhirnya Madura
menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.
Sejak masa itulah tiada perkembangan berarti dalam segi sistem teknologi dan mata pencaharian namun bila berbicara masalah sistem teknologi suku Madura yang jelas tidak bisa lepas dari yang namanya cangkul, clurit, jala dan sapi sebab mereka telah masyhur melakukan tradisi mata pencaharian turun temurun dari nenek moyangnya, yaitu bertani, berkebun, nelayan, penambak ikan walaupun banyak juga yang menjadi budak.
Sejak masa itulah tiada perkembangan berarti dalam segi sistem teknologi dan mata pencaharian namun bila berbicara masalah sistem teknologi suku Madura yang jelas tidak bisa lepas dari yang namanya cangkul, clurit, jala dan sapi sebab mereka telah masyhur melakukan tradisi mata pencaharian turun temurun dari nenek moyangnya, yaitu bertani, berkebun, nelayan, penambak ikan walaupun banyak juga yang menjadi budak.
3. Adat Istiadat dan Stratifikasi Sosial Suku Madura
Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu seperti suku Minang atau menurut keduanya seperti suku Jawa, namun Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan orang peranakan untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, orang Indo sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu dan bahkan pengelompokan etnis juga ditentukan menurut agama misalnya sebutan Melayu di Indonesia maupun Malaysia untuk orang Bumiputera yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani, suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau Bangsamoro di Filipina Selatan, dan sebagainya begitu pula pembagian etnis di Pulau Madura
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat bahkan Prof. Dr. Deliar Noer menyebutkan“Madura adalah benteng Islam di Indonesia sebab kekentalan agamis masyarakat dan akar faham yang sangat kuat sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji)”
Jadi tidak
perlu heran Jika Aceh dikenal sebagai serambi Mekkah, maka Madura adalah
serambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang mendapat kehormatan dilekati label
istimewa ini. Dari kedua atribut tersebut dengan mudah terlihat posisi dan
kultur yang khas, yakni kelekatannya dengan tradisi keislaman, bahkan menurut
Rasul Junaidy suku madura memiliki tiga nilai yang sangat menjadi acuan
berpikir dan bertindak, ketiga nilai tersebut di tuangkan kedalam unsur – unsur
prilaku kehidupan sehari – hari yaitu :
·
Kesopanan
Walau orang
di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap
nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa pentingnya nilai kesopanan
ini nampak dari ungkapan ta'tao batona langgar (tidak pernah merasakan
lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum pernah masuk langgar dan
mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak tahu tatakrama kesopanan.
Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai kesopanan.
Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang keharusan bersopan
santun adalah pa tao ajalan jalana jalane, pa tao neng ngenneng, pa tao a ca ca
(yang menjadi kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu
saatnya diam, harus tahu saatnya berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang
Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tatakrama dalam setiap tindakannya.
Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube', ma' celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama tatakramanya)
Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial
Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube', ma' celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama tatakramanya)
Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial
·
Kehormatan
Masyarakat
Madura sangat mengutamakan penghormatan dan penghargaan, apalagi kepada yang
lebih tua atau yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi, sehingga
menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan
bermasyarakat. Masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan
diri juga tidak dihargai. Contohnya ungkapan madu ben dere (madu dan darah),
yang berarti bila orang Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi
nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula.
Sebaliknya, bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka
balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
Hubungan
sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai
sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat nampak
dari ajaran ja' nobi' oreng mon aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti orang
lain, kalau diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang).
Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate' (obatnya malu adalah mati). lebih bagus apote tolang etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air
Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate' (obatnya malu adalah mati). lebih bagus apote tolang etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air
·
Agama
Simbol
keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai. Itulah yang menyebabkan
lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kyai. Mereka bukan
hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat. Para kyai
dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah
pikirannya mudah sekali untuk disepakati.
Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik.
Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri orang dan masyarakat Madura secara keseluruhan, tak terkecuali orang dan masyarakat Madura yang bertempat tinggal di luar pulau Madura namun tidak hanya itu karakter orang Madura, masih banyak awam yang sering ‘membidani’ perbedaan mencolok dengan etnis lain salah satunya adalah harga diri, sifat ini masyhur juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata". Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata), Tradisi carok juga berasal dari sifat itu.
Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik.
Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri orang dan masyarakat Madura secara keseluruhan, tak terkecuali orang dan masyarakat Madura yang bertempat tinggal di luar pulau Madura namun tidak hanya itu karakter orang Madura, masih banyak awam yang sering ‘membidani’ perbedaan mencolok dengan etnis lain salah satunya adalah harga diri, sifat ini masyhur juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata". Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata), Tradisi carok juga berasal dari sifat itu.
Stratifikasi
Sosial / Pelapisan Sosial Masyarakat Madura
Oreng Kene’
/ Dume’ yaitu sebagai lapisan terbawah, yaitu : masyarakat yang biasanya
kebanyakan bekerja sebagai petani, nelayan, pengrajin dan orang yang tidak mempunya
mata pencaharian tetap.
Ponggaba,
yaitu orang yang bekerja di Instansi normal terutama di kantor pemerintah.
Parjaji,
yaitu lapisan masyarakat yang berada paling atas.
Parjaji ada 2 macam pengertiannya :
Parjaji ada 2 macam pengertiannya :
·
Orang-orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu.
Biasanya tingkatan gelar kebangsawanannya seperti RA, RR, B-R. Mas R ( Untuk
laki – laki ) R.Ayu / R.Ajeng, R.Roro ( Untuk wanita )
·
Orang-orang berpangkat menengah sampai dengan tinggi pada saat
pemerintahan Belanda, seperti asisten wedana (Camat) wedana patih Kanjeng / Bupati, dsb.
Stratifikasi
di lingkungan masyarakat agama / pesantren
Stratifikasi di lingkungan masyarakat agama / pesantren yang kita kenal ada 4 tingkatan, yaitu (dari yang teratas) :
·
KEYAE
Adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka Agama (Ulama) karena menguasai banyak Ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai pembina ummat juga sebagai penerus / pengajar ajaran para Nabi pada santri – santrinya.
Adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka Agama (Ulama) karena menguasai banyak Ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai pembina ummat juga sebagai penerus / pengajar ajaran para Nabi pada santri – santrinya.
·
BINDARAH
Adalah orang – orang yang telah mendapatkan / men-tamatkan
pendidikannya di Pondok Pesantren, dan mereka telah memiliki pengetahuan
keagamaan yang cukup banyak tetapi belum setara dengan pengetahuan Keyae.
Ada Pula Bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk NYABIS terutama di Desa / Dusun yang agak jauh dari seorang Keyae.
Ada Pula Bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk NYABIS terutama di Desa / Dusun yang agak jauh dari seorang Keyae.
·
SANTRE
Adalah orang – orang yang masih sedang menuntut Ilmu keagamaan di
sebuah Pondok Pesantren.
·
BANNE SANTRE
Seseorang yang tidak pernah Mondok / tidak pernah menuntut Ilmu
keagamaan di sebuah Pondok Pesantren.
4. Keagamaan Suku Madura
Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang membawa pengaruh materalisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan, agar kita tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas lokal. Berikut contoh keseniannya :
• Tembang
Macapat
Tembang macapat adalah tembang yang dipakai sebagai media untuk memuji Allah sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang tersebut penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa. Selain berisi puji-pujian tembang tersebut juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran ser ta membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya. Melalui tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup. Syair tembang macapat merupakan manivestasi hubungan manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.
Tembang macapat adalah tembang yang dipakai sebagai media untuk memuji Allah sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang tersebut penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa. Selain berisi puji-pujian tembang tersebut juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran ser ta membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya. Melalui tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup. Syair tembang macapat merupakan manivestasi hubungan manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.
• Saronen
Saronen adalah musik sangat serbaguna yang mampu menghadirkan nuansa sesuai dengan kepentingannya. Walaupun musik saronen adalah perpaduan dari beberapa alat musik, namun yang paling dominan adalah liuk-liukan alat tiup berupa kerucut sebagai alat musik utama, alat musik tersebut bernama saronen yang bersal dari desa Sendang Kecamatan Pragaan Sumenep dengan akar kata senninan (hari senin) sebab kebanyakan dilantunkan pada hari senin
• Duplang
Tari duplang merupakan tari yang spesifik, unik dan langka. Keunikan dari tarian ini disebabkan karena tarian ini merupakan sebuah penggambaran kehidupan seorang wanita desa. Wanita yang bekerja keras sebagai petani yang selama ini terlupakan. Dijalin dan dirangkai dalam gerakan-gerakan yang sangat indah, lemah lembut, dan lemah gemulai.
• Upacara
Sandhur Pantel
Upacara Sandhur Pantel merupakan sebuah upacara ritual untuk para masyarakat Madura yang berprofesi sebagai petani atau nelayan. Upacara rital ini merupakan upacara yanag menghubungkan manusia dengan makhluk ghaib atau sebagai sarana komunikasi manusia dan Tuhan Pencipta Alam Semesta. Bentuk upacara ini berupa tarian dan nyayian yang diiringi musik. Hampir di seluruh wilayah Madura melakukan ritual ini. Lambat laun, upacara ini tidak dilakukan lagi karena bertentangan dengan ajaran agama islam. Upacara ini haram hukumnya jika dilaksanakan.
Upacara Sandhur Pantel merupakan sebuah upacara ritual untuk para masyarakat Madura yang berprofesi sebagai petani atau nelayan. Upacara rital ini merupakan upacara yanag menghubungkan manusia dengan makhluk ghaib atau sebagai sarana komunikasi manusia dan Tuhan Pencipta Alam Semesta. Bentuk upacara ini berupa tarian dan nyayian yang diiringi musik. Hampir di seluruh wilayah Madura melakukan ritual ini. Lambat laun, upacara ini tidak dilakukan lagi karena bertentangan dengan ajaran agama islam. Upacara ini haram hukumnya jika dilaksanakan.
• Kerapan
Sapi
Sebuah perlombaan dengan menggunakan sapi sebagai media, akan tetapi sekarang jarang dilakukan karena dianggap menyakiti hewan yang juga mahluk hidup
Masalah agama di Pulau Garam Madura tidak perlu di ragukan lagi kentalnya bahkan akhir-akhir ini beberapa kabupaten sedang merintis daerah berbasis syari`at islam seperti di Bangkalan dengan prakarsa R.KH. Fuad Amin Imran akan di terapkan sistem Tarbiyatul islam kaaffah dengan dimulai dengan pembelajaran syari`at islam sejak usia dini melalui pendidikan pada seluruh siswa sekolah dasar dan Pamekasan dengan istilah Gerbang Salam melalui rumusan trend seragam sekolah yang menutupi aurat .
Pembicaraan tentang agama bagi masyarakat Madura adalah identik dengan Islam. Islam adalah sangat meresap dan mewarnai pola kehidupan masyarakat. Betapa pentingnya nilai-nilai agama terungkap dari ajaran abantal syahadat, asapo' angin, apajung Allah. Artinya, masyarakat Madura sangat religius. Masyarakat Madura tergolong pemeluk Islam yang taat. Demikian lekatnya Islam pada masyarakat Madura, sehingga akan terdengar aneh apabila ada orang Madura yang tidak beragaman Islam. Akan tetapi ada juga masyarakat Madura yang memeluk agama lain namun bukan faktor bawaan dari lahir melainkan faktor perkawinan silang ataupun transmigrasi penduduk.
Sebuah perlombaan dengan menggunakan sapi sebagai media, akan tetapi sekarang jarang dilakukan karena dianggap menyakiti hewan yang juga mahluk hidup
Masalah agama di Pulau Garam Madura tidak perlu di ragukan lagi kentalnya bahkan akhir-akhir ini beberapa kabupaten sedang merintis daerah berbasis syari`at islam seperti di Bangkalan dengan prakarsa R.KH. Fuad Amin Imran akan di terapkan sistem Tarbiyatul islam kaaffah dengan dimulai dengan pembelajaran syari`at islam sejak usia dini melalui pendidikan pada seluruh siswa sekolah dasar dan Pamekasan dengan istilah Gerbang Salam melalui rumusan trend seragam sekolah yang menutupi aurat .
Pembicaraan tentang agama bagi masyarakat Madura adalah identik dengan Islam. Islam adalah sangat meresap dan mewarnai pola kehidupan masyarakat. Betapa pentingnya nilai-nilai agama terungkap dari ajaran abantal syahadat, asapo' angin, apajung Allah. Artinya, masyarakat Madura sangat religius. Masyarakat Madura tergolong pemeluk Islam yang taat. Demikian lekatnya Islam pada masyarakat Madura, sehingga akan terdengar aneh apabila ada orang Madura yang tidak beragaman Islam. Akan tetapi ada juga masyarakat Madura yang memeluk agama lain namun bukan faktor bawaan dari lahir melainkan faktor perkawinan silang ataupun transmigrasi penduduk.
5.Interaksi Sosial Suku Madura
Sebagaimana
dikatakan oleh Geertz (1981), yang dimaksud dengan unsur-unsur primordial
adalah "Unsur-unsur sosial budaya yang lahir dari yang ‘dianggap ada’
dalam kehidupan sosial. Sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan
keluarga, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu,
bahasa tertentu atau dialek tertentu serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu.
Persamaan-persamaan hubungan darah, ucapan atau bahasa, kebiasaan, dan
sebagainya memiliki kekuatan yang meyakinkan".
Menurut
Glaser dan Moynihan (1981), yang termasuk unsur-unsur penting primordial adalah
genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan), sistem kepercayaan (termasuk
religi dan agama), dan bahasa.
Dalam
realitas kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi pengikat utama
dalam membentuk suatu identitas kelompok etnik. Identitas ini menjadi penanda
ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya
mereka. Dengan kata lain, unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh suatu
kelompok etnik akan menjadi unsur pembeda identitas diri dari suatu kelompok
etnik yang lain. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya merupakan
perilaku simbolik yang pemaknaannya harus dilakukan secara kontekstual.
Artinya, setiap orang dari suatu kelompok masyarakat harus mampu
mengidentifikasi dan memahami makna simbolik dari perilaku budaya tersebut.
Pemahaman yang sama terhadap suatu perilaku simbolik di antara obyek dan subyek
sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi
sosial. Dengan persepsi ini, pemahaman yang sama tersebut dapat meminimalisasi
timbulnya konflik yang bernuansa etnik. Setiap orang atau kelompok masyarakat
dan kebudayaan harus menghindari perilaku etnosentrisme yang dapat menimbulkan
ketegangan sosial.
Elemen
penting primordial (purba) yang selalu muncul (dan sengaja dimunculkan) dalam
interaksi sosial adalah ikatan kekerabatan. Dalam masyarakat Madura, ikatan
kekerabatan terbentuk melalui garis keturunan, baik dari keluarga berdasarkan
garis ayah maupun garis ibu (paternal and maternal relatives). Pada umumnya,
ikatan kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan
ayah sehingga cenderung "mendominasi". Ikatan kekerabatan orang
Madura mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending generations) dan ke
bawah (descending generations) dari ego.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat (kinsmen), yaitu taretan dalem (kerabat inti atau core kin), taretan semma’ (kerabat dekat atau close kin), dan taretan jau (kerabat jauh atau peripheral kin). Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan saudara" (lihat Wiyata: 2002). Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy.
Hubungan sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh orang Madura dengan orang-orang di luar lingkungan kerabat tanpa memperhatikan asal-usul kelompok etnik. Biasanya hubungan sosial itu selain didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi primordial, tidak jarang terjadi juga karena faktor kesamaan kepentingan di bidang ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan). Sebaliknya, ada kalanya anggota keluarga (taretan termasuk taretan ereng) justru dianggap dan diperlakukan sebagai oreng (bukan keluarga atau kerabat) jika kualitas hubungan kekerabatannya sangat rendah, misalnya karena adanya perselisihan tentang harta warisan. Dalam ungkapan Madura, hal yang demikian disebut oreng daddi taretan, taretan daddi oreng. Artinya, orang lain yang bukan keluarga dapat dianggap sebagai saudara, sebaliknya saudara sendiri dapat dianggap sebagai bukan keluarga. Dalam konteks ini, unsur kekerabatan orang Madura mengandung makna inklusivitas sehingga memberi ruang bagi terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat (kinsmen), yaitu taretan dalem (kerabat inti atau core kin), taretan semma’ (kerabat dekat atau close kin), dan taretan jau (kerabat jauh atau peripheral kin). Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan saudara" (lihat Wiyata: 2002). Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy.
Hubungan sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh orang Madura dengan orang-orang di luar lingkungan kerabat tanpa memperhatikan asal-usul kelompok etnik. Biasanya hubungan sosial itu selain didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi primordial, tidak jarang terjadi juga karena faktor kesamaan kepentingan di bidang ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan). Sebaliknya, ada kalanya anggota keluarga (taretan termasuk taretan ereng) justru dianggap dan diperlakukan sebagai oreng (bukan keluarga atau kerabat) jika kualitas hubungan kekerabatannya sangat rendah, misalnya karena adanya perselisihan tentang harta warisan. Dalam ungkapan Madura, hal yang demikian disebut oreng daddi taretan, taretan daddi oreng. Artinya, orang lain yang bukan keluarga dapat dianggap sebagai saudara, sebaliknya saudara sendiri dapat dianggap sebagai bukan keluarga. Dalam konteks ini, unsur kekerabatan orang Madura mengandung makna inklusivitas sehingga memberi ruang bagi terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.
Selain
ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting sebagai penanda identitas etnik
suatu kelompok masyarakat. Bagi orang Madura faktor ini seakan sudah menjadi
bagian tak terpisahkan dari jati diri mereka. Artinya, jika orang Madura telah
menjadi pemeluk agama selain Islam, dirinya akan merasa identitas
ke-Madura-annya telah berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Bahkan,
lingkungan sosialnya akan menganggap hal yang sama. Pada gilirannya, dia akan
selalu merasa terasing dalam lingkungan pergaulan sosial budaya Madura.
Dalam
kehidupan sosial orang Madura di Kalimantan, khususnya di Kota Sampit, hubungan
persaudaraan antara orang Madura dengan orang-orang Dayak yang beragama Islam
ternyata sudah terjalin dengan sangat baik sebelum terjadinya konflik.
Pengalaman Mus (30), salah seorang pengungsi Sampit yang ada di wilayah Kabupaten
Jember ketika ditemui di tempat kerabatnya membuktikan tentang hal itu. Mus
menceritakan bahwa sebelum terjadinya pembantaian, puluhan orang Dayak lokal
(Sampit) yang beragama Islam mendatanginya di kompleks pondok pesantren yang
dikelola oleh ayahnya. Sebagai sesama Muslim, orang-orang Dayak lokal tersebut
memohon kepada ayahnya untuk segera meninggalkan Sampit dalam waktu tiga hari
agar terhindar dari pembantaian. Untuk menghilangkan kesangsian ayahnya atas
permohonan tersebut, orang-orang Dayak lokal itu menyerahkan sebilah mandau
sebagai cermin komitmen perdamaian dan kesungguhan hati. Pengalaman Mus ini
menjadi modal budaya orang Madura untuk membentuk "kekerabatan semu"
(pseudo kinship) dengan etnik lain.
Sebagaimana lazimnya pada masyarakat atau kelompok etnik lain, orang Madura juga lebih memperhatikan faktor agama dalam urusan perkawinan atau perjodohan. Sekalipun demikian, dalam hal-hal yang lain, orang Madura menghargai pluralisme sosial keagamaan dan keetnikan.
Sebagaimana lazimnya pada masyarakat atau kelompok etnik lain, orang Madura juga lebih memperhatikan faktor agama dalam urusan perkawinan atau perjodohan. Sekalipun demikian, dalam hal-hal yang lain, orang Madura menghargai pluralisme sosial keagamaan dan keetnikan.
Bahasa
Bahasa merupakan salah satu identitas kelompok etnik yang tampak jelas dalam suatu interaksi sosial masyarakat majemuk (Gumperz, ed. 1982). Salah satu identitas Orang Madura adalah bahasa Madura. Bahasa Melayu merupakan salah satu penanda identitas orang Melayu. Bahasa Dayak juga merupakan salah satu identitas budaya orang Dayak. Orang-orang Madura di Pontianak menguasai dengan baik bahasa Melayu, bahasa Indonesia, dan bahasa Madura.
Penggunaan bahasa-bahasa tersebut ditentukan oleh konteks interaksi yang mereka hadapi. Dalam pergaulan sehari-hari, seperti di tempat-tempat publik, bahasa Melayu merupakan bahasa komunikasi dan interaksi sosial yang digunakan oleh orang-orang Madura. Bahasa Indonesia akan digunakan oleh orang-orang Madura jika mereka berurusan dengan instansi atau dalam situasi resmi. Bahasa Madura digunakan di dalam lingkungan internal mereka.
Dalam masyarakat multietnik, seperti di Kota Pontianak, bahasa Melayu merupakan bahasa dominan yang digunakan dalam pergaulan sosial. Secara historis, dominasi bahasa Melayu ini terkait dengan masa awal keberadaan orang Melayu di kota tersebut. Seperti halnya kota-kota maritim lainnya di tanah air, Pontianak yang merupakan kota bandar maritim telah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) penduduk setempat. Keberadaan kota ini juga tidak terlalu jauh dengan Riau yang merupakan daerah asal bahasa Melayu. Karena itu, orang-orang Melayu merupakan penduduk lokal yang lebih awal kedatangannya di kota Pontianak dibandingkan dengan orang Madura.
Konteks historis dan geografis di atas telah menempatkan bahasa Melayu memiliki kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Pontianak. Karena bahasa Melayu merupakan referensi komunikasi sosial, para pendatang pun seperti orang-orang Madura harus belajar dan menggunakan bahasa tersebut dengan baik. Pemahaman yang baik terhadap bahasa Melayu sering mendorong timbulnya gejala interferensi leksikal ketika orang-orang Madura berbicara dalam bahasa Madura di lingkungan internalnya atau ketika mereka berbahasa Indonesia dengan orang yang baru dikenalnya.
Sebagai sarana interaksi sosial, penguasaan bahasa Melayu tidak hanya untuk mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi media integrasi sosial dengan orang-orang Melayu atau penduduk Pontianak. Dalam konteks integrasi sosial, bahasa bukan sekadar untuk meningkatkan "daya keberterimaan" masyarakat lokal terhadap kehadiran dan eksistensi orang-orang Madura, memudahkan pemahaman terhadap budaya masyarakat lokal, tetapi juga menjadi sarana untuk mempermudah akses terhadap sumber daya ekonomi lokal.
Bahasa merupakan salah satu identitas kelompok etnik yang tampak jelas dalam suatu interaksi sosial masyarakat majemuk (Gumperz, ed. 1982). Salah satu identitas Orang Madura adalah bahasa Madura. Bahasa Melayu merupakan salah satu penanda identitas orang Melayu. Bahasa Dayak juga merupakan salah satu identitas budaya orang Dayak. Orang-orang Madura di Pontianak menguasai dengan baik bahasa Melayu, bahasa Indonesia, dan bahasa Madura.
Penggunaan bahasa-bahasa tersebut ditentukan oleh konteks interaksi yang mereka hadapi. Dalam pergaulan sehari-hari, seperti di tempat-tempat publik, bahasa Melayu merupakan bahasa komunikasi dan interaksi sosial yang digunakan oleh orang-orang Madura. Bahasa Indonesia akan digunakan oleh orang-orang Madura jika mereka berurusan dengan instansi atau dalam situasi resmi. Bahasa Madura digunakan di dalam lingkungan internal mereka.
Dalam masyarakat multietnik, seperti di Kota Pontianak, bahasa Melayu merupakan bahasa dominan yang digunakan dalam pergaulan sosial. Secara historis, dominasi bahasa Melayu ini terkait dengan masa awal keberadaan orang Melayu di kota tersebut. Seperti halnya kota-kota maritim lainnya di tanah air, Pontianak yang merupakan kota bandar maritim telah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) penduduk setempat. Keberadaan kota ini juga tidak terlalu jauh dengan Riau yang merupakan daerah asal bahasa Melayu. Karena itu, orang-orang Melayu merupakan penduduk lokal yang lebih awal kedatangannya di kota Pontianak dibandingkan dengan orang Madura.
Konteks historis dan geografis di atas telah menempatkan bahasa Melayu memiliki kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Pontianak. Karena bahasa Melayu merupakan referensi komunikasi sosial, para pendatang pun seperti orang-orang Madura harus belajar dan menggunakan bahasa tersebut dengan baik. Pemahaman yang baik terhadap bahasa Melayu sering mendorong timbulnya gejala interferensi leksikal ketika orang-orang Madura berbicara dalam bahasa Madura di lingkungan internalnya atau ketika mereka berbahasa Indonesia dengan orang yang baru dikenalnya.
Sebagai sarana interaksi sosial, penguasaan bahasa Melayu tidak hanya untuk mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi media integrasi sosial dengan orang-orang Melayu atau penduduk Pontianak. Dalam konteks integrasi sosial, bahasa bukan sekadar untuk meningkatkan "daya keberterimaan" masyarakat lokal terhadap kehadiran dan eksistensi orang-orang Madura, memudahkan pemahaman terhadap budaya masyarakat lokal, tetapi juga menjadi sarana untuk mempermudah akses terhadap sumber daya ekonomi lokal.
Salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan orang-orang Madura dalam
menguasai sektor-sektor ekonomi informal adalah karena kemampuannya menguasai
bahasa Melayu dengan baik sesuai dengan tujuan-tujuan interaksi sosial seperti
di atas. Jika orang-orang Madura mampu keluar dari batas-batas identitas budaya
mereka untuk menguasai pemakaian bahasa Melayu secara 'baik dan benar', apakah
orang Melayu melakukan hal serupa terhadap bahasa Madura sebagai sarana untuk
menjalin kerja sama dan memahami dengan baik identitas ke-Madura-an?
Terlokalisasinya penggunaan bahasa Madura untuk lingkungan internal yang terbatas merupakan bukti jika bahasa ini belum digunakan secara lintas etnik. Baik orang Melayu maupun orang Dayak belum tentu bisa dengan baik berbahasa Madura. Pemahaman bahasa Madura yang minimal seperti ini menyulitkan orang Melayu dan Dayak mengembangkan integrasi sosial atau kedekatan sosial dengan orang Madura. Segregasi sosial di antara kelompok-kelompok etnik tersebut tetap berlangsung karena belum berkembangnya pemahaman timbal-balik terhadap bahasa masing-masing.
Kasus integrasi sosial-budaya Madura dan Jawa di kawasan "tapal kuda" Jawa Timur merupakan contoh yang baik. Sekalipun kedua kelompok etnik berbeda identitas budayanya, konflik antara orang Madura dengan orang Jawa di daerah ini tidak terjadi, apalagi yang berskala besar. Kedua pihak dapat memahami dengan baik masing-masing bahasa yang digunakan, baik secara aktif maupun pasif. Pemahaman bahasa dan kemampuan komunikatif (verbal repertoire) secara timbal-balik akan meningkatkan "daya keberterimaan" masing-masing pihak.
Dalam konteks integrasi sosial dan rekonsiliasi permanen, upaya memahami dengan baik bahasa Madura oleh orang Melayu atau Dayak merupakan sesuatu hal yang harus dipertimbangkan. Penguasaan simbol-simbol bahasa Madura yang baik merupakan pintu masuk untuk memahami perilaku sosial dan makna kebudayaan Madura. Jalan ini ditempuh untuk kepentingan meningkatkan saling pengertian, memudahkan menjalin komunikasi dan kerja sama sosial ekonomi, serta mendorong kedekatan sosial-budaya. Pencapaian ketiga hal tersebut akan mempermudah distribusi sumber daya sosial, ekonomi, dan politik lokal secara merata di kalangan kelompok-kelompok etnik, sehingga menjadi modal budaya untuk menciptakan integrasi sosial yang akan menjadi basis rekonsiliasi yang permanen dan berkesinambungan.
Terlokalisasinya penggunaan bahasa Madura untuk lingkungan internal yang terbatas merupakan bukti jika bahasa ini belum digunakan secara lintas etnik. Baik orang Melayu maupun orang Dayak belum tentu bisa dengan baik berbahasa Madura. Pemahaman bahasa Madura yang minimal seperti ini menyulitkan orang Melayu dan Dayak mengembangkan integrasi sosial atau kedekatan sosial dengan orang Madura. Segregasi sosial di antara kelompok-kelompok etnik tersebut tetap berlangsung karena belum berkembangnya pemahaman timbal-balik terhadap bahasa masing-masing.
Kasus integrasi sosial-budaya Madura dan Jawa di kawasan "tapal kuda" Jawa Timur merupakan contoh yang baik. Sekalipun kedua kelompok etnik berbeda identitas budayanya, konflik antara orang Madura dengan orang Jawa di daerah ini tidak terjadi, apalagi yang berskala besar. Kedua pihak dapat memahami dengan baik masing-masing bahasa yang digunakan, baik secara aktif maupun pasif. Pemahaman bahasa dan kemampuan komunikatif (verbal repertoire) secara timbal-balik akan meningkatkan "daya keberterimaan" masing-masing pihak.
Dalam konteks integrasi sosial dan rekonsiliasi permanen, upaya memahami dengan baik bahasa Madura oleh orang Melayu atau Dayak merupakan sesuatu hal yang harus dipertimbangkan. Penguasaan simbol-simbol bahasa Madura yang baik merupakan pintu masuk untuk memahami perilaku sosial dan makna kebudayaan Madura. Jalan ini ditempuh untuk kepentingan meningkatkan saling pengertian, memudahkan menjalin komunikasi dan kerja sama sosial ekonomi, serta mendorong kedekatan sosial-budaya. Pencapaian ketiga hal tersebut akan mempermudah distribusi sumber daya sosial, ekonomi, dan politik lokal secara merata di kalangan kelompok-kelompok etnik, sehingga menjadi modal budaya untuk menciptakan integrasi sosial yang akan menjadi basis rekonsiliasi yang permanen dan berkesinambungan.
TINGKAT
BAHASA ( Dag ondagga basa )
Dalam Bahasa Madura kita kenal 5 tinggkatan Bahasa :
Dalam Bahasa Madura kita kenal 5 tinggkatan Bahasa :
·
Bahasa Kraton = Abdi Dalem – Junan Dalem
Biasa digunakan di lingkungan keluarga Kraton
·
Bahasa Tinggi = Abdina – Panjennengan
Biasa digunakan oleh ponggawa / bawahan pada atasan, baik di Lingkungan Kraton maupun di Lingkungan Pemerintahan, atau Santre pada Keyae.
Biasa digunakan oleh ponggawa / bawahan pada atasan, baik di Lingkungan Kraton maupun di Lingkungan Pemerintahan, atau Santre pada Keyae.
·
Bahasa Halus = Kaula – Sampeyan
Biasa digunakan oleh yang lebih muda pada yang lebih tua / pada yang
dihormati.
·
Bahasa Menengah = Bula – Dika
Biasa digunakan oleh yang lebih tua pada yang lebih muda tetapi di
hormati.
Misal : Mertua pada menantunya.
Misal : Mertua pada menantunya.
·
Bahasa Mapas / Kasar = Sengko’ –
Ba’na – Kakeh – Sedeh
Biasa digunakan oleh yang lebih tua pada yang lebih muda, orang yang
mempunyai posisi yang lebih tinggi pada bawahannya, dan orang yang seumur /
sebaya (teman).
Identitas
Unsur-unsur primordial yang mencakup kekerabatan, agama, dan bahasa merupakan penanda identitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Kekerabatan dalam kehidupan orang Madura tidak selalu dapat dimaknai sebagai cerminan dari sikap eksklusivitas orang Madura. Sebaliknya, justru ikatan kekerabatan dapat membentuk "kekerabatn semu" (pseudo kinship) yang disebut dengan ungkapan oreng daddi taretan. Ini merupakan salah satu modal budaya untuk membangun dan mengembangkan interaksi sosial dengan kelompok etnik lain.
Agama Islam juga merupakan identitas penting orang Madura. Dalam hal keagamaan ini, orang Madura sangat ketat untuk hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Dalam hal-hal lain, orang Madura juga bersikap terbuka dan menghargai perbedaan identitas keagamaan. Perbedaan keyakinan keagamaan tidak menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama dengan orang lain. Sikap keterbukaan ini merupakan modal budaya yang bisa dimanfaatkan untuk membangun rekonsiliasi dengan kelompok etnik Melayu atau Dayak.
Bahasa Madura merupakan identitas lain bagi orang Madura. Kemampuan orang Madura memahami bahasa Melayu harus dilihat sebagai bagian dari strategi adaptasi orang Madura untuk berintegrasi dengan masyarakat lokal di Kalimantan. Langkah demikian seharusnya juga diikuti oleh kelompok etnik lain untuk memahami eksistensi bahasa Madura. Pemahaman bersama atas kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnik sangat penting untuk modal memahami jati diri atau identitas budaya masing-masing kelompok etnik. Hal ini juga mencerminkan adanya saling pengertian dan penghargaan terhadap unsur kebudayaan yang dimiliki masing-masing kelompok etnik. Dengan jalan demikian, integrasi sosial bisa dikembangkan dan menjadi basis terbentuknya rekonsiliasi yang berkelanjutan di bumi Kalimantan.
Unsur-unsur primordial yang mencakup kekerabatan, agama, dan bahasa merupakan penanda identitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Kekerabatan dalam kehidupan orang Madura tidak selalu dapat dimaknai sebagai cerminan dari sikap eksklusivitas orang Madura. Sebaliknya, justru ikatan kekerabatan dapat membentuk "kekerabatn semu" (pseudo kinship) yang disebut dengan ungkapan oreng daddi taretan. Ini merupakan salah satu modal budaya untuk membangun dan mengembangkan interaksi sosial dengan kelompok etnik lain.
Agama Islam juga merupakan identitas penting orang Madura. Dalam hal keagamaan ini, orang Madura sangat ketat untuk hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Dalam hal-hal lain, orang Madura juga bersikap terbuka dan menghargai perbedaan identitas keagamaan. Perbedaan keyakinan keagamaan tidak menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama dengan orang lain. Sikap keterbukaan ini merupakan modal budaya yang bisa dimanfaatkan untuk membangun rekonsiliasi dengan kelompok etnik Melayu atau Dayak.
Bahasa Madura merupakan identitas lain bagi orang Madura. Kemampuan orang Madura memahami bahasa Melayu harus dilihat sebagai bagian dari strategi adaptasi orang Madura untuk berintegrasi dengan masyarakat lokal di Kalimantan. Langkah demikian seharusnya juga diikuti oleh kelompok etnik lain untuk memahami eksistensi bahasa Madura. Pemahaman bersama atas kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnik sangat penting untuk modal memahami jati diri atau identitas budaya masing-masing kelompok etnik. Hal ini juga mencerminkan adanya saling pengertian dan penghargaan terhadap unsur kebudayaan yang dimiliki masing-masing kelompok etnik. Dengan jalan demikian, integrasi sosial bisa dikembangkan dan menjadi basis terbentuknya rekonsiliasi yang berkelanjutan di bumi Kalimantan.
6.Budaya hukum suku Madura
Negara kita tidak hanya menganut hukum positif saja, namun kita juga menganut hukum adat yang merupakan hukum turun-temurun dari beberapa suku yang ada di Indonesia. hukum adat yang paling kontroversial adalah carok. carok ini berasal dari suku madura. carok merupakan kebiasaan adat mereka untuk meneyelesaikan sengketa yang terlalu memakan emosi mereka. carok ini dapat kita samakan dengan “hutang nyawa dibayar nyawa”. jika saah satu dari mereka (orang madura) yang sudah mengucap atau menantang carok dengan yang lain, maka harus dilakukan secepatnya. di dalam carok tersebut, salah seorang dari pelaku carok harus ada yang mati, karena itulah suatu kebudayaan hukum mereka.
Carok
merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata
(biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena
carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar
hukum. Ini merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri dan
"keluar" dari masalah yang pelik.
Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang tradisi Carok.
Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti 'bertarung dengan kehormatan'.
Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang tradisi Carok.
Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti 'bertarung dengan kehormatan'.
Biasanya,
"carok" merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku
Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika
menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang
Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat
martabat/kehormatan keluarga).
BAB III
PENUTUP
1.. Kesimpulan
Setelah
mengetahui adat kebiasaan suku Madura, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa adat
kebiasaan tidak bisa dilepas pisahkan dari eksistensi manusia. Begitupun adat
dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat Madura, tidak bisa dilepas pisahkan
dari keberadaan masyarakat Madura. Adat dan kebiasaan masyarakat Madura
diibaratkan sebagai sendi yang menopang keberadaan dan kehidupan mereka. Adat
kebiasaan adalah identitas yang harus terus menerus dipelihara untuk
menampilkan jati diri seseorang atau sekelompok masyarakat. Tidak memelihara
adat istiadat ibaratnya menghilangkan jati diri.
Pada
masyarakat lain tentang suatu masyarakat apa pun bentuknya, tidak akan merubah
adat kebiasaan suatu masyarakat. Misalnya adat dan kebiasaan masyarakat Madura
dalam aspek hukum menampilakn sebuah ciri yang konservatif dan kontroversi.
Tetapi bagi masyarakat Madura hukum tersebut merupakan hal yang harus dipegang
teguh. Dengan adanya hukum yang dinamakan “carok” keadilan lahir dari sana.
Keadilan dalam porsi mereka mungkin berbeda dengan masyarakat lain, bahakan
hukum nasional sekalipun. Tetapi, keyakinan bahwa keadilan akan lahir dari
“hukum carok” membuat masyarakat merasa nyaman dengan adanya adat dan kebiasaan
tersebut. Oleh karena itu, mempelajari dan memahami adat dan kebiasaan
masyarakat suku Madura akan membantu siapa saja untuk menjalin relasi dengan
masyrakat suku Madura.
2. Usul dan Saran
v Bagi pemerintah
agar bisa menerapkan kebijakan sesuai dengan keadaan masyarakat, dalam konteks
ini adalah adat istiadat suku Madura. Penerapan kebijakan senantiasa tidak
memarjinalkan masyarakat, khususnya masyarakat suku Madura
v Bagi masyarakat
supaya bisa memahami adat dan kebiasaan lain sehingga tidak menimbulkan
perselisihan horizontal sehingga terciptanya masyarakat yang aman dan damai,
khususnya pemahaman terhadap adat dan kebiasaan
masyarakat Madura.
v Bagi pelajar
diharapkan kepada mereka supaya giat mempelajari adat dan kebiasaan masyarakat,
khususnya dalam konteks ini adalah adat dan kebiasaan masyarakat suku Madura.
Pemahaman terhadap adat dan kebiasaan masyarakat selain manambah wawasan juga
menjadi jalan untuk dapat menjalin relasi dengan masyarakat yang budayanya
dipelajari, misalnya budaya masyarakat suku Madura.
DAFTAR
PUSTAKA
Van Dijk, K., de Jonge, H. & Touwen-Bouwsma, E., Introduction, di dalam: van Dijk et al. (penyunting),
Across Madura Strait: the dynamics of an insular society, (Leiden: KITLV Press, 1995) 1-6, via Wikipedia date 04-06-2009
Saifurrachman, Surat Kepada Anjing Hitam ‘Biografi dan Karomah Syaikhona Khalil Bangkalan’, Jakarta Pustaka Ciganjur, 1999
Rasul Junaidi, Madura Dalam Gelombang Reformasi, (Radar Madura) terbit selasa 5 Oktober 1999
http://ddayipdokumen.blogspot.com/2013/05/tugas-antropologi-makalah-suku-madura.html - See more at: http://ddayipdokumen.blogspot.com/2013/05/tugas-antropologi-makalah-suku-madura.html#sthash.Mls6IocN.dpuf
Komentar