Kebudayaan Suku Minangkabau
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Minang atau Minangkabau adalah
kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau.
Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau,
bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat
daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang
Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota
propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun masyarakat ini biasanya akan
menyebut kelompoknya dengan sebutan Urang Awak (bermaksud sama dengan orang
Minang itu sendiri).
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari
suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut
sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur
perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran
agama Islam. Saat ini
masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia.
Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa
pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan
permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan
Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum
bersendikan Al-Qur’an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Seperti apakah kebudayaan suku minangkabau?
2. Bagaimana masalah sosial yang ada dalam masyarakat minangkabau?
3. Bagaimana sistem
interaksi dalam masyarakat minangkabau?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui kebudayaan suku
minangkabau
2. Memahami salah satu bentuk
interaksi sosial yang ada dalam masyarakat
Minangkabau
3. Menalaah
sistem interaksi dalam kehidupan keseharian suku minangkabau
BAB II
KERANGKA
TEORI
A. Pengertian Masyarakat Minangkabau
Nama Minangkabau berasal dari dua kata,
minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang
dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu
kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan
melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat
mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan
menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat
menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada
tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar
tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu
dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu
menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal
dari ucapan ‘Manang kabau’ (artinya menang kerbau). Nama Minangkabau juga
digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak
di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat. Dalam catatan sejarah kerajaan
Majapahit, Nagarakretagama bertarikh 1365 M, juga telah ada menyebutkan
nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.
Sedangkan nama “Minang” (kerajaan Minanga)
itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh
682 Masehi dan berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa
pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari “Minānga”
…. Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4
(…minānga) dan ke-5 (tāmvan….) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan
dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud
diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu
Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh
Casparis, yang membuktikan bahwa “tāmvan” tidak ada hubungannya dengan “temu”,
karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan
zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan
identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
B. Asal-usul Masyarakat Minangkabau
Masyarakat Minang merupakan bagian dari
masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan
China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu.
Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan
menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian
membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya
disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah,
Luhak Agam, dan Luhak Tanah Datar. Kemudian seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau terus menyebar ke kawasan darek
yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau.
Dari tambo yang diterima secara turun
temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar
Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih
kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang
sudah menjadi milik masyarakat banyak.
C. Adat dan budaya
1. Bahasa
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa
Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa
Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan
masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan
kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan
bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga
yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu
dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai
macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.
2. Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan
kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun
perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan
tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan
rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring
merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang
piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang
dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri
tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula
tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa
diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini
juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario. Di samping itu,
Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni
berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni
berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan,
ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan
untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak
fisik.
Adat dan budaya Minangkabau bercorakkan
keibuan (matrilineal), dimana pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta
pusaka dan kekerabatan. Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali
dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk
Ketumanggungan. Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang
demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang
yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem
adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem
masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan
menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik
pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin.
Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya.
Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan
masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
3. Rumah Adat
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya
dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara
turun temurun. Rumah
Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian
muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk
rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa
disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan
atap seng.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya,
beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum
tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota
kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh
dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah,
juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
4. Pernikahan
/ Perkawinan
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan
merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan
masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru
pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk
masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga
pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas
rumah gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau,
biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai
dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria),
sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul
kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian
dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid,
sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah
ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar
baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan
memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya
bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di
kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
D. Sosial Kemasyarakatan
1. Persukuan
Suku dalam
tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial,
sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata
suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat, sehingga jika
dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan
sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan
tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis
keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan
nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga
merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan
tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu
dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari
seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan
tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama
untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota
keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka
dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang
keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang
paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya
tinggal pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama.
2. Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak
nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di
Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat
mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali
mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan
yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut.
Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan
mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk
nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika
masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari,
kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh
karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise
kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan
anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam
pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah
yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi
Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu.
Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari
struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun,
kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari.
Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang
mendomisili kawasan tersebut
3. Penghulu
dan Datuk
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk,
merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk
mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang
terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan
memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat,
untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi
semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam
masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya,
sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap
kaum bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum,
serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam
sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya,
anggota kaum yang semakin sedikit jumlahny
cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga
lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu
dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum
dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap
kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang
gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali
posisinya dengan mencari kekayaan untuk “membeli” gelar penghulunya yang telah
lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan
untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.
4. Kerajaan
Dalam laporan de Stuers kepada pemerintah
Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah
ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang ada
adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa
Yunani kuno. Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman
Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis
Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan
meliputi pulau Sumatra dan bahkan sampai semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan
yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan
Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
E. Minangkabau perantauan
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang
hidup di luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Merantau merupakan proses
interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan
sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung
halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki
tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di
Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi
merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu
agama.
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan
tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar
masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk
mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu
pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di
tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau
biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian
diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah,
memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai.
Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki
sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.
1. Jumlah
perantau
Etos merantau orang Minangkabau sangatlah
tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang
pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang
Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah
itu meningkat menjadi 44 %. Berdasarkan sensus tahun 2000, etnis Minang yang
tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7 juta jiwa, dengan perkiraan hampir
sepertiga orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang
Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958
sampai tahun 1978, dimana lebih 80 % perantau yang tinggal di kawasan rantau
telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda. Melihat dat
tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos merantau orang
Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun
1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5 % dibawah orang Bawean (35,9 %),
Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).
Namun tidak terdapat angka pasti mengenai
jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam
perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat. Namun
belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap
di perantauan.
2. Gelombang
rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung
cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana
banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan
perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu. Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak
keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di
Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan,
Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi
perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir
ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang
dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee, Barus, hingga Bengkulu. Setelah Kesultanan
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau
yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa,
sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya
Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi. Gelombang
migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau
mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi
besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di
Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang
perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah
perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan
dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali, dan pada
tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10 % dari jumlah
penduduk Jakarta waktu itu. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh
dunia.
3. Perantauan
intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang
yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin,
Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi
penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di
seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah
terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin,
Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau
juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad
Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain,
Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun
jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang
merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan
pendiri Republik Indonesia.
4. Sebab merantau
a. Faktor budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu
penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan
harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini
cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat
tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum
perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para
perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman
merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah
yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa
pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu
diperolok-olok oleh teman-temannya. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria
Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim
merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin
berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog
Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme
melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini
menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat
untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang
yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang
dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum
berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
b. Faktor
ekonomi
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Pedagang Minangkabau
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk
yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah.
Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup
dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi
penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan
bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah
tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan.
Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau
mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau,
biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap
sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai
pedagang kecil.
Selain itu, perekonomian masyarakat
Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama
untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara
geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng,
merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.
Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di
India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau
Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian
dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan
mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang
diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman
(Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan
Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan
pusat pelabuhan dari raja Minangkabau. Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa
dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab,
mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang dan sampai pada abad ke-17 Belanda
masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung. Kemudian meminta
Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki
pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil menjumpai
salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan
bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas.
Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran
Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai
60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas.
Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih
mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang
Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.
c. Faktor perang
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Perang Padri dan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia
Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan
masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah perang Padri,
muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul
pemberontakan Siti Manggopoh menentang Belasting dan pemberontakan komunis
tahun 1926-1927. Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan
timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain. Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini,
memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan.
Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu
mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai
berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka
berasal dari Pagaruyung. Orang Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah
saudara mereka.
Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk
masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman
mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De
Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden
sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan
masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa. Ia
merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia
mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal meminta rokoknya,
serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.
5. Merantau dalam sastra
Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering
menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka,
dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau
Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der
Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di
kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk
bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Siti
Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang.
Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau
Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi,
mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi
orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul
Kemarau, A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya
yang banyak di tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau Minang
tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang
yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang
juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.
F. Orang Minangkabau dan Kiprahnya
Orang
Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka
menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi
dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis,
dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari
penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan
banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6
dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang.3 dari 4
orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang
banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi
merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand,
Brunei, hingga Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan
Sulu di Filipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke
Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari
kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang
diangkat pada tahun 1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri
Bandang, Dato Ri Patimang, dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia
timur dan mengislamkan kerajaan Gowa. Setelah gagal merebut tahta Kesultanan
Johor, pada tahun 1723 putra Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad
Syah I mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau.
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo
dan Mekkah memengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern
Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak
berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin
Abbas, dan Djamaluddin Tamin.
Pada periode 1920 – 1960, banyak politisi Indonesia
berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan
kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis
Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah
Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah
yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul
Muis. Tokoh Minang lainnya Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan
Indonesia.
Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk
sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad
Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden
(Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan
puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas,
Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang
duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis
Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain
di pemerintahan, di masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh
politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi,
islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera
Tengah/Sumatera Barat, orang-orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur
provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja
(Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa
Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatra
Selatan), Eni Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi
Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia
oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir,
Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan
partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi
bacaan wajib para aktifis pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain,
Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa Actie karya Tan Malaka, Alam
Pikiran Yunani dan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita Selecta
karya Natsir, serta Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.
Penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra
Indonesia. Mereka
mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah
Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A Navis berkarya melalui penulisan
novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis
novel Indonesia yang paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya
lewat penulisan puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata
bahasa, melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa
persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Siti Nurbaya,
Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya
Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan
Malaysia.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak
pula dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro,
Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Di samping Abdul Rivai yang dijuluki sebagai
Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi
wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.
Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang
juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis
di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, dan rumah
sakit. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik TV One),
Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning
(pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah
(pemilik Melewar Corporation Malaysia)
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik
sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan
produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal
bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan
karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah
dihasilkannya. Film-film karya sineas Minang, seperti Lewat Djam Malam, Gita
Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar Pintar Bodoh, dan Maju Kena Mundur Kena,
menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.
Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya
adalah Ade Irawan, Dorce Gamalama, Eva Arnaz, Nirina Zubir, dan Titi Sjuman. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi,
menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karya-karya beliau seperti kuis
Berpacu Dalam Melodi, Gita Remaja, Siapa Dia, dan Tak Tik Boom menjadi salah
satu acara favorit keluarga Indonesia. Di samping mereka, Soekarno M. Noer
beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di
Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno’s
Film perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan
peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia, Si Doel Anak
Sekolahan.
Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal
kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku Abdul Rahman (Yang
Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden pertama
Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura),
Sheikh Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Tahir Jalaluddin
Al-Azhari, dan Adnan bin Saidi. Di negeri Belanda, Roestam Effendi yang
mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang
pernah duduk sebagai anggota parlemen. Di Arab Saudi, hanya Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang non-Arab
yang pernah menjadi imam besar Masjidil Haram, Mekkah.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Minang atau Minangkabau adalah kelompok etnik Nusantara yang
berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya
meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian
barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri
Sembilan di Malaysia. Nama
Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan
suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari
masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan
China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu.
Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan
menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Bahasa Minangkabau merupakan salah
satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai
hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang
dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya
kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya. Masyarakat Minangkabau
memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa
ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan dan Silek atau Silat
Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah
berkembang sejak lama. Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan
salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan. Bagi lelaki Minang,
perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak
keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu
proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis
dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang
fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu
per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau,
dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang
mendiami kawasan tersebut. Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari.
Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau.
Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di
sebuah nagari. Masyarakat Minang memiliki Penghulu atau biasa yang
digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh
anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya
seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Perkembangan Hukum Adat Indonesia, penerbit Drs.
Nico Ngani, S.H, MSSW, MM, CLE, Dipl. Phil.
http/wikipedia:suku minangkabau.com
Komentar