KEHIDUPAN MASYARAKAT SUKU SAMIN
BAB
I
PENDAHULUAN
Di Indonesia mempunyai banyak
sekali suku dan budaya yang sangat
beragam. Salah satunya adalah Suku Samin
yang terdapat di di desa-desa dalam wilayah Kabupaten
Bojonegoro dan Ngawi Propinsi Jawa Timur. Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah
tersebar di Kabupaten Blora, Pati dan Kudus. Masyarakat Samin sebenarnya adalah
etnis Jawa namun karena mereka memiliki tata cara kehidupan bahkan tradisi yang
berbeda dengan masyarakat Jawa maka masyarakat Samin dianggap sebagai etnis
tersendiri.
Masyarakat Samin
sebagai salah satu kelompok etnik yang ada di Indonesia tentu memiliki
nilai-nilai budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Di usia yang sudah
satu abad lebih ini masyarakat Samin sudah mengalami perubahan pada pranata
sosial dan kebudayaan yang selama ini mereka anut. Tradisi Saminisme sekarang
sudah berubah, artinya Saminisme sudah bukan lagi menjadi kebanggaan dalam
struktur sosial diamana mereka hidup. Apabila ditinjau dari sistem nilai,
Saminisme sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di
tengah-tengah mereka.
Masyarakat Samin
dengan berbagai tradisi dan budayanya serta memiliki ciri-ciri yang diungkapkan
oleh Barth, bisa dikatakan salah satu kelompok etnik yang ada di Indonesia.
Bahkan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah telah mengakui masyarakat Samin ini
sebagai salah satu kelompok etnik yang ada di Jawa Tengah dari empat etnik yang
ada.
Disini kita akan
mengetahui bagaimana sejarah Suku Samin muncul di Indonesia, bagaimana cara
mereka bertahan hidup ditempat tinggalnya, selain itu kita juga akan
mengidentifikasikan tentang kebiasaan masyarakat Suku Samin dan yang penting
adalah bagaimana mereka melakukan perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Suku Samin
Samin Surosentiko dilahirkan pada tahun 1859, di Desa Ploso
Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau
lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden
Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang
bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan
Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan
Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini
menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya
di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik
dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang
menjadi pengikutnya. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000
orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak
pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak
salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan
Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin
mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi
mengalami kegagalan.
Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan
karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi
orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian
juga di Distrik Balerejo, Madiun. Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai
Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar
pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan
Polisi Di Desa Tapelan,
Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu
dengan tidak mau membayar pajak. Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap
pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur
pimpinan yang tanggguh.
Ajaran Kebatinan
Dalam ajaran kebatinan, Samin menganggap bahwa
adanya percampuran antara manusia dan Tuhan yang benar-benar melekat antara
satu sama lain. Selain itu, suku Samin menganggap bahwa sebenarnya yang
dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri
yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya
adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah
hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.
Samin juga mengajarkan bahwa leluhur dianggap
sebgai wakil Tuhan. Dan manusia berkewajiban untuk menyembah Tuhan. Sedangkan
leluhur hanya sebagai perantara antara manusia dan Tuhan, manusia tidak boleh
menyembah leluhur (Wisesa).
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko jiwa kita diibaratkan oleh
Samin sebagai mandor. Seorang mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Menurut
Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa
yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih
dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal
yang wajar.
Selain itu, Samin juga mengatakan menurut
perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah keindahan
jagad raya. Dalam hubungan ini masyarakat harus menyadari bahwa mereka hanyalah
sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami
kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus
diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjiannya. Yang
terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu
memahami pada asal-usulnya masing-masing.
Samin Surosentiko juga mengajarkan pengikutnya
untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran. Murid-muridnya dilarang
mempunyai rasa dendam. Tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang
sungguh-sungguh, sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh
sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga
bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat
menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit, hidupnya
mengalami kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya
harus diterima tanpa gerutuan, apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan
orang harus selalu ingat pada Tuhan.
Selanjutnya menurut
Samin Surosentiko, setelah manusia meninggal diharapkan roh manusia yang
meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai binatang (bagi manusia yang
banyak dosa) atau sebagai manusia (bagi manusia yang tidak banyak dosa),
tapi bersatu kembali dengan Tuhannya.
Dari ajaran-ajaran tertulis di atas jelas kiranya bahwa Samin Surosentiko
adalah seorang “theis”. Keparcayaan pada Tuhan, yang disebutnya dengan istilah-istilah
Gusti, Pangeran, Allah, Gusti Allah. Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang
diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih
dipatuhi warga samin:
Ajaran Politik
Dalam ajaran
politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan
Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :
·
Penolakan membayar pajak
·
Penolakan memperbaiki jalan
·
Penolakan jaga malam (ronda)
·
Penolakan kerja paksa/rodi
Samin Surosentiko juga
memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh
Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat
digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu
memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
Samin menyatakan bahwa
tanah Jawa adalah milik keturunan Pandawa. Keturunan Pandawa adalah keluarga
Majapahit. Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan
Pemerintah Belanda. Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa adalah tanah
milik “ wong Jawa “. Oleh karena itulah maka tarikan pajak tidak dibayarkan.
Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab pohon jati dianggap warisan dari
leluhur Pandawa. Tentu saja ajaran itu menggegerkan Pemerintahan Belanda,
sehingga Pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin
ajaran Samin.
B.
Gambaran Masayarakat Samin
Masyarakat Samin diketahui bermula dari Desa
Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora. Desa ini terletak kurang
lebih 25 kilometer di sebelah utara Randublatung. Sebuah perkampungan yang
terletak di tengah hutan jati. Kesan tradisional masih tetap nampak dan tidak
akan pernah luntur di wilayah tersebut. Misalnya dengan beberapa rumah masih
menggunakan penerangan lampu minyak dan berlantaikan tanah. Suasana kental pedesaan
yang masih akrab juga masih sangat terasa sekali disini. Bukan hanya lingkungan
fisiknya saja, bahkan kultur yang ada di dalamnya pun masih melekat kental
dengan kehidupannya sehari-hari. Prinsip kejujuran yang diterapkan sejak dahulu
juga tetap dipegang teguh oleh sedulur sikep.
Dahulu masyarakat Samin mempunyai citra jelek
di mata masyarakat Jawa dan dianggap sebagai sekelompok orang yang kelewat lugu
hingga terkesan amat bodoh, primitif dan sangat naïf. Padahal sesungguhnya
pandangan seperti itu salah besar, dan terkesan sangat konyol. Sebab pada
realitanya banyak juga masyarakat samin yang sudah mengenal dunia luar, meskipun
tidak semuanya, khususnya para pemuda-pemuda yang berada di desa tersebut.
Sedangkan sebutan Sedulur Sikep itu sendiri diartikan sebagai orang yang
berprilaku baik hati dan jujur.
Nilai-Nilai Sosial di era modern seperti
sekarang, dalam kultur masyarakat samin kebudayaan yang sampai detik ini tidak
terpupus zaman adalah nilai-nilai positif yang telah ada pada masyarakat Samin.
Misalnya kejujuran dan kearifannya dalam memakai alam, semangat gotong royong
dan saling menolong yang masih tinggi. Sampai sekarang, sebenarnya nilai-nilai
kegotong-royongan dan kejujuran tanpa disadari masih kental jika kita melihat
keseharian dan akitivitas masyarakat samin. Selain kejujuran dan
kegotongroyongan, Sedulur Sikep juga terkenal dengan kesederhanaan dan semangat
kerjanya yang tinggi.
Biasanya mereka akan berangkat ke Ladang,
sawah maupun hutan pada pagi buta dan baru kembali saat senja menjelang. Di
siang hari, suasana senyap akan meliputi pemukiman mereka karena masing-masing
masih sibuk bekerja. Bagi mereka siang merupakan waktu untuk berkarya
sebaik-baiknya. Perjuangan Samin Demi Sebuah Eksistensi Ditengah peradaban yang
semakin modern, masih ada beberapa suku atau daerah yang masih mempertahankan
tradisi ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan tradisional yang makin
ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan kebudayaan aslinya. Tapi masih
banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya. Salah satu suku yang
masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin. Terlepas dari sikap samin yang
masih terkesan primitif dan jarang untuk bersosialisasi dengan masyarakat luar.
Patut kita tiru perilaku mereka dalam
melakukan suatu kegiatan yang masih tetap mengedepankan sikap toleransi, gotong
royong, dan menghargai orang lain. Sebab hanya dengan bergitulah maka kita
semua akan merasa saling memiliki antara satu dengan yang lainnya. Sehingga
akan tercipta suatu kehidupan yang harmonis dan sejahtera.
C.
Perkawinan Masyarakat Samin
Masyarakat Samin merupakan masyarakat yang cenderung
menyederhanakan tatanan sosial dalam bermasyarakat. Hal ini termasuk dalam
prosesi perkawinan. Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya
perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk
menciptakan “Atmaja Tama” (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin,
dalam perkawinan seorang temanten laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat,
yang berbunyi kurang lebih demikian: “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang
kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia
kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”
Berdasarkan hasil
wawancara dan pengamatan dapat diperoleh nilai-nilai kearifan lokal. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa prosesi (tradisi) perkawinan masyarakat Samin
dimulai dari jawab, nyuwito, kawinan, dan adang akeh. Pelaksanaan perkawinan
tersebut sarat akan makna-makna simbolik yang diungkapkan dengan cara yang khas
sesuai pemahaman masyarakat Samin. Selain itu juga ditemukan nilai-nilai
kearifan lokal yang harus dijaga kelestariannya, sebagai contoh mereka sangat
menjunjung tinggi nilai kerukunan. Selanjutnya
hasil penelitian ini juga memiliki tingkat relevan terhadap pembelajaran bahasa
Jawa, yakni dapat dijadikan sebagai materi dalam pembelajaran mata pelajaran
Bahasa Jawa. Kemudian peran pemerintah dalam menyikapi (tradisi) perkawinan
masyarakat Samin yakni disikapi dengan cara positif. Pemerintah tidak mengambil
tindakan melarang mereka, namun pemerintah menyarankan supaya perkawinan mereka
juga dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA).
D.
Ajaran
Samin
Paham
Saminisme dinamakan “Agama Nabi Adam”. Ajaran Saminisme yang terwariskan hingga
kini sebenarnya mencuatkan nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan,
keadilan, dan kerja keras.
Ajaran Samin ada 3 yaitu:
1. Angger-angger pangucap (hukum bicara)
2. Angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk)
3. Angger-angger lakonono (hukum perihal yang perlu dijalankan).
1. Angger-angger pangucap (hukum bicara)
2. Angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk)
3. Angger-angger lakonono (hukum perihal yang perlu dijalankan).
E.
Konsep
ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai 6 ajaran yaitu :
Pengikut ajaran Samin mempunyai 6 ajaran yaitu :
a.
Tidak
bersekolah
b.
Tidak
memakai peci, tetapi memakai iket yaitu semacam kain yang diikatkan dikepala mirip
orang Jawa zaman dahulu.
c.
Tidak
berpoligami
d.
Tidak
memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut
e.
Tidak
berdagang
f.
Penolakan
terhadap kapitalisme.
F.
Kegiatan
Masyarakat Samin
Sebagian
besar masyarakat Samin sekarang ini adalah petani. Pandangan terhadap
lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam misalnya, mengambil kayu
secukupnya saja tidak pernah mengeploitasi. Hal ini sama sesuai dengan pikiran
masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan, dan apa adanya. Tanah
bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi kehidupan bagi mereka.
Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya. Masyarakat
Samin dikenal dengan keluguan, kejujuan dan apa adanya, tidak berbuat aneh-aneh
dan selalu mentaati peraturan. Pakaian orang Samin biasanya terdiri dari baju
lengan panjang tidak memakai kerah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat
kepala.
Untuk pakaian wanita bentuknya
memakai lengan panjang, berkain sebatas dibawah tempurung lutut atau diatas
mata kaki. Sekalipun masyarakat Samin berusaha mempertahankan tradisi namun
tidak urung pengaruh kemajuan zaman juga mempengarui mereka. Misalnya,
pemakaian traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, alat rumah tangga dari
plastik, aluminium, dan lainnya. Yang diharapkan tidak hilang terpupus zaman
adalah nilai-nilai positif atau kearifan lokal yang telah ada pada masyarakat
Samin tersebut, misalnya kejujuran, dan kearifan dalam memakai alam, semangat
gotong-royong dan saling menolong yang masih tinggi.
G. Tradisi
Sambatan
Tradisi sambatan Salah satu taradisi turun
temurun yang diwariskan dari nenek moyang adalah taradisi “sambatan”. “Sambatan”
merupakan suatu sistem gotong royong di kampung dengan cara menggerakkan tenaga
kerja secara masal yang berasal dari warga kampung itu sendiri untuk membantu
keluarga yang sedang tertimpa musibah atau sedang mengerjakan sesuatu, seperti
membangun rumah, menanam serta memanen padi dan menyelenggarakan pesta
pernikahan.
Semangat
bergotong royong berupa sambatan, melibatkan warga beramai-ramai membantu warga
lainnya yang sedang punya gawe. Mereka ikut
memperbaiki, bahkan mendirikan rumah tanpa mengharap imbalan apa pun. Budaya
sambatan – dengan muatan sikap simpati dan empati- itu merupakan bagian dari
budaya adiluhung masyarakat Jawa, dan terasa manfaatnya bagi masyarakat yang
kurang mampu.
Sambatan
dilakukan oleh warga kampung tersebut dengan sukarela tanpa mengharapkan upah
atas pekerjaaannya itu karena didasari oleh asas principle of reciprocity,
yaitu siapa yang membantu tetangganya yang membutuhkan maka suatu saat pasti ia
akan dibantu ketika sedang membutuhkan. Selain itu sambatan juga dilandasi oleh
falsafah hidup sapa nandur kabecikan, mesti bakal ngunduh (siapa menanam
kebaikan pasti akan memetik hasilnya).
KESIMPULAN
Perjuangan Demi Sebuah
Eksistensi Ditengah peradaban yang semakin modern, masih ada beberapa suku atau
daerah yang masih mempertahankan tradisi ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan
tradisional yang makin ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan kebudayaan
aslinya. Tapi masih banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya.
Salah satu suku yang masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin. Terlepas
dari sikap samin yang masih terkesan primitif dan jarang untuk bersosialisasi
dengan masyarakat luar.
Samin adalah sebuah suku
yang terletak di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora. Desa
ini terletak kurang lebih 25 kilometer di sebelah utara Randublatung. Sebuah
perkampungan yang terletak di tengah hutan jati. Mereka adalah sekelompok
masyarakat yang mempunyai paham Saminisme, masyarakat Samin sangat menjunjung
tinggi kejujuran, kerukunan, perdamaian dan kearifan dalam memakai alam,
semangat gotong-royong dan saling menolong yang masih tinggi.
Kegiatan masyarakat Samin
dimulai dengan bercocok tanam, mereka memanfaatkan hasil dari hutan mereka
sendiri. Mereka mengambil kayu untuk membangun rumah. Masyarakat Samin tidak
ada yang berdagang, tidak bersekolah, tidak berpologami. Mereka juga menolak
pemungutan pajak yang diterapkan oleh pemerintah.
Perkawinan masyarakat Samin
juga memilki berbedaan, yaitu pihak laki-laki mengucapkan dua kalimat syahadat.
Selain itu perkawinan mereka tidak dicatat di catatan sipil. Itu berarti mereka
tidak sah secara negara. Dalam hal ini, pemerintah mengusulkan agar perkawinan
tersebut didaftarkan oleh KUA. Agar perkawinan tersebut sah baik secara adat
maupun negara.
Referensi:
Kearifan
Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah; Dra Titi Mumfangati, dkk; Penerbit
Jarahnitra, 2004, Yogyakarta
website program pasca sarjana UNS SOLO pasca.uns.ac.id
edypurwan.blogspot.com .../tradisi-leluhur-suku-samin.
jawatimuran.wordpress.com/.../adat-istiadat-dan-kehidupan-suku-samin.
Setya Yuivana Sudikan. Kearifan Lokal Masyarakat Samin dalam Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur:
Sebuah Upaya Pencarian Nilai-nilai Positif. Jember : Biro Mental Spiritual Pemerintah Provinsi
JawaTimur bekerjasama dengan
Kompyawisda Jatim, 2008, hlm.92 – 93.
Komentar