Menanti Keadilan bagi Korban Pelanggaran HAM


Tahun demi tahun telah berlalu tanpa ada penyelesaian tuntas atas tuntutan keadilan dari jutaan korban pelanggaran HAM di Indonesia. Padahal transisi kepemimpinan dari masa Orde Baru ke masa Reformasi pada awalnya telah memunculkan harapan-harapan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk mencapai sebuah keadilan. Namun kenyataannya, upaya untuk mencapai keadilan tersebut seperti menemui jalan buntu, karena berbagai pemimpin di masa reformasi gagal untuk mewujudkan keadilan dan pemenuhan hak-hak bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Korban dan keluarga korban yang selama ini selalu mendesak penyelesaian kasus mereka, tentu juga menemui titik jenuhnya. Gurat-gurat kelelahan dan keputusasaan tampak di wajah para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Karsiah Sie, orang tua Hendriawan Sie, mahasiswa Trisakti yang tewas diterjang timah panas pada saat berdemonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, telah bertahun-tahun berjuang demi mendapatkan keadilan. Namun hingga saat ini keadilan tersebut tidak pernah didapatkannya. “Telah berpuluh-puluh tahun kami merasa terombang-ambing, saya lelah. Sampai sekarang, kasusnya belum tuntas-tuntas, belum ada kemajuan”, ujar Karsiah, pada saat konferensi pers demi penuntasan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi (TSS), pada Selasa 26 Februari 2008.
Sikap Karsiah Sie terbilang amat wajar. Kasus tragedi Trisakti dan Semanggi I/II (TSS) sendiri menjadi tidak jelas karena Kejaksaan Agung selalu mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM dan kemudian DPR pada tanggal 6 Maret 2007 menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat. Selama ini para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM telah berupaya dengan segala kemampuan untuk mendapatkan keadilan atas peristiwa yang menimpa dirinya dan keluarganya. Berbagai institusi negara yang berwenang untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu telah didatangi oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Sayangnya, hingga saat ini upaya tersebut sepertinya belum membuahkan hasil yang diingini oleh korban dan keluarga korban.
Dengan kemandegan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut, tentunya menjadi penting bila kita mendengarkan kembali bagaimana pandangan para korban dan keluarga korban pada saat ini. Pemetaan pandangan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang dilakukan ELSAM dapat dikatakan secara umum mereka menyatakan sangat kecewa dengan sikap pemerintah dan partai politik yang selama ini dianggap tidak serius dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Beberapa korban dan keluarga korban pelanggaran HAM pun menyatakan bahwa penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya dijadikan alat tawar menawar antara partai-partai politik dan penguasa.

Kekecewaan dan Ketidakpercayaan Korban

Lambannya pemerintah untuk menindaklanjuti atau menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia tentu saja sangat mengecewakan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Kelambanan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut, pada akhirnya dimaknai oleh korban dan keluarga korban sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah atau pemerintah saat ini menjadi bagian dari para pelaku pelanggar HAM. “Di luar negeri itu banyak kasus HAM berat, sama seperti di Indonesia. Tetapi kok disini sepertinya sulit sekali menyelesaikan kasus HAM. Ini hanya masalah keseriusan, kalau serius pasti tuntas”[1], kata bapak Saiful Hadi, salah seorang korban peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984.

Kenyataannya, pernyataan bapak Saiful Hadi tersebut sepertinya juga disuarakan oleh sebagian besar korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Ibu Aisyah, salah seorang keluarga korban peristiwa Tanjung Priok juga menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki keseriusan dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan secara tegas ia menyatakan bahwa ada relasi antara pemerintahan saat ini dengan para pelaku pelanggar HAM. “Pemerintah hanya kepanjangantangan dari militer yang melakukan pelanggaran HAM di masa Orde Baru”, tegasnya[2].

Hal yang senada juga diungkapkan bapak Murtala, salah seorang korban pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. Bapak Murtala yang saat ini merupakan ketua Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU) juga mengungkapkan pemerintah saat ini tidak memiliki keseriusan dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Tidak ada itikad baik dari pemerintah. Kalau ada itikad baik dari pemerintah, maka semua kasus sudah diselesaikan”, katanya[3]. Bapak Murtala beranggapan pemerintah mungkin takut untuk menyelesaikan kasus masa lalu, karena jika diselesaikan kemungkinan mereka nantinya akan menjadi korban.

Kekecewaan yang sama terhadap pemerintah terkait kemandegan penutasan kasus pelanggaran HAM masa lalu juga diungkapkan bapak Utomo, orang tua Bimo Petrus yang hilang sejak tahun 1998. Menurutnya, seluruh upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak berpengaruh terhadap penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Gak ada ngaruhnya yang dilakukan oleh pemerintah dalam penuntasan pelanggaran HAM, seperti yang dilakukan oleh Menkopolhukam atau Denny Indrayana. Apalagi melalui Komnas HAM sekarang, ga ada apa-apanya”, katanya[4]. Presiden memang mendorong suatu inisiatif penyelesaian kemandegan proses hukum penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, dengan membentuk Tim Kecil Penanganan Kasus Pelanggaran HAM berat di bawah koordinasi Menkopolhukam, Djoko Suyanto[5].

Bapak Kaharuddin, salah seorang korban penahanan selama bertahun-tahun karena terkait peristiwa 1965 di Palu, juga menyangsikan keseriusan pemerintahan saat ini untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Pemerintah tidak melakukan apa-apa terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu”, pungkasnya[6]. Ketidakseriusan pemerintah ini tentu saja membuat harapan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia kehilangan kepercayaannya. Ibu Nurhasanah, ibunda Yadin Muhidin yang hilang sejak 14 Mei 1998, sepertinya juga sudah tidak memiliki sandaran harapan kepada pemerintah untuk segera menuntaskan kasus penghilangan paksa yang menimpa anaknya. “Kepada siapa lagi saya harus bertanya? Pak Presiden berjanji tuntaskan kasus penculikan, tapi sampai sekarang tak kunjung ada hasilnya”[7], katanya dengan kecewa.

Bapak Ir. Djoko Sri Moelyono, yang sempat dibuang ke kamp kerja paksa Pulau Buru selama belasan tahun karena terlibat dalam Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) mengungkapkan hal yang serupa. Ia bahkan menyatakan ketidakyakinannya terhadap pemerintahan SBY karena menganggap SBY bagian dari para pelaku pelanggar HAM. “Saya tidak yakin pemerintahan SBY akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat karena dirinya termasuk bagian dari kroni Soeharto Orde Baru yang tentunya ingin melindungi kolega-koleganya. Seharusnya kalau memang mau perubahan tangkap itu jenderal-jenderal penjahat HAM. Apa mau?” ujarnya[8].

Senada dengan bapak Djoko Sri Moelyono, bapak Astaman Hasibuan, salah seorang korban penahanan bertahun-tahun akibat peristiwa 1965 di Sumatera Utara, dengan tegas mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini memang berupaya untuk menutup-nutupi peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi saat ini. “Pemerintah tidak mau menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM untuk menjaga kebohongan yang dibangun selama ini. Kalau dituntaskannya, nantinya akan nampak sekali kebohongannya”, kata bapak Astaman yang saat ini menjadi Sekretaris Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Sumatera Utara[9].

Anggapan tersebut menjadi sangat wajar ketika kita melihat bahwa sudah bertahun-tahun para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berusaha untuk mendesak pemerintah, namun hingga saat ini pemerintah seakan tidak peduli terhadap berbagai kasus tersebut. Kecurigaan tersebut semakin memuncak ketika berbagai institusi negara terkait sebenarnya telah memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM serta memberikan pemulihan kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Kekecewaan dan kecurigaan tersebut kemudian juga diungkapkan oleh bapak Mujayin, yang mengalami penahanan selama bertahun-tahun di Pulau Buru. “Kurang apa lagi? Lembaga Tinggi Negara seperti Mahkamah Agung, Komnas HAM dan DPR RI telah merekomendasikan kepada Presiden untuk segera menerbitkan Keppres Rehabilitasi. Namun sang Presiden tidak lakukan itu. Ada apa ini?” ungkapnya[10].

Sikap ketidakpedulian pemerintah SBY pada akhirnya disimpulkan oleh korban dan keluarga korban sebagai bentuk pengabaian pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Bapak DT Utomo Rahardjo bahkan secara tegas mengungkapkan pemerintahan SBY sengaja melakukan pengabaian dan menghalangi keadilan, padahal DPR telah mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden terkait kasus penghilangan paksa yang terjadi pada periode 1997/1998 pada tanggal 28 September 2009. “Pengabaian selama dua tahun adalah bentuk obstruction of justice dari seorang kepala negara. Presiden SBY dengan sengaja mengulur waktu dan menghalangi korban dan keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa untuk mendapatkan kebenaran, keadilan dan pemulihan sesegera mungkin”[11], kata bapak Utomo. Bapak Utomo pun menambahkan bahwa pengabaian yang dilakukan oleh Presiden, tidak dapat diterima oleh akal sehat siapapun. “Dua tahun pengabaian Presiden SBY atas rekomendasi DPR RI untuk kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998 adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi akal sehat”, tegasnya[12].

Janji-janji pemerintah untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM memang selalu dilontarkan oleh penguasa di negeri ini. Janji-janji tersebut pun hingga kini tidak pernah direalisasikan oleh para pejabat negara yang berwenang. Para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM pun juga sudah mulai jenuh dengan berbagai janji-janji yang selalu diucapkan oleh para pejabat negara, di tingkat lokal maupaun pusat. “Masyarakat Aceh sudah bosan dengan janji-janji pemerintah pusat maupun lokal untuk menyelesaikan permasalahan HAM. Para korban ingin melihat bukti nyata penyelesaian dari masalah pelanggaran HAM di Aceh”[13], ucap Basyuni yang merupakan korban peristiwa semasa DOM di Aceh. Hal senada juga diungkapkan oleh Peneas Lokbere yang merupakan ketua Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), sebuah organisasi korban pelanggaran HAM di Papua. “Yang menjadi keprihatinan adalah negara tidak bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM itu dengan baik, sepertinya semua ditelantarkan,” katanya[14].

Tarik Ulur Kepentingan Politik

Kemandegan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu ini kemudian dicurigai oleh sebagian korban dan keluarga korban pelanggaran HAM sebagai permainan politik para elit dan partai-partai politik. Janji-janji pemerintah untuk segera menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya dimanfaatkan untuk menaikkan posisi tawar para elit dengan menekan para lawan-lawan politiknya. Bapak Chairuman, salah seorang mantan tahanan politik peristiwa 1965 di Sumatera Utara, mengatakan, “upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu sarat dengan kepentingan politik. Ada pergesekan di kelompok-kelompok yang berkuasa saat ini. Dengan pergesekan itu, pemerintah tidak mau posisinya semakin terjepit”, katanya[15].

Tarik ulur penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu pun bukan hanya terjadi di pemerintah pusat saja. Namun di tingkat pemerintah lokal, tarik ulur kepentingan politik dalam upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu juga terjadi. Bapak Bachtiar, salah seorang korban peristiwa pelanggaran HAM di Aceh, mengungkapkan bahwa tidak berjalannya upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh dikarenakan faktor pergesekan kepentingan-kepentingan politik di tingkat lokal. “Elit-elit politik di tingkat lokal cenderung saling bertarung untuk mempertahankan kepentingan politiknya masing-masing, sementara kepentingan korban tidak pernah disentuh dan tidak pernah ada perhatian khusus bagi korban”, katanya[16].

Pengungkapan Kebenaran dari Korban

Kemandegan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ini tentu saja akan semakin menjauhkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk mencapai keadilan. Untuk itu, bagi sebagian korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, harus ada alternatif perjuangan lainnya yang harus dilakukan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Pengungkapan kebenaran dengan jalan mendokumentasikan seluruh cerita dan pengalaman para korban selama ini serta menceritakannya kepada masyarakat luas, menjadi pilihan bagi sebagian korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Hal tersebut tentu saja bertujuan untuk menggalang dukungan masyarakat luas agar bersama-sama mendesak pemerintah untuk segera menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia. “Sepanjang publik tidak banyak yang mendukung, maka pemerintah pasti juga tidak akan melakukan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia”, kata Nurlaela Karim Lamasitudju atau yang akrab dipanggil Ella[17]. Ella yang merupakan salah seorang keluarga korban peristiwa di Poso dan saat ini menjadi ketua Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKPHAM) di Sulawesi Tengah menegaskan bahwa harapan korban agar pemerintah melakukan pengungkapan kebenaran, memenuhi hak korban dan membentuk pengadilan masih sangat terlalu sulit pada saat ini. Ia pun menambahkan, “belajar dari upaya advokasi selama ini, kita tahu pemerintah tidak akan pernah berani untuk menyelesaikan kasus masa lalu. Maka menjadi penting dukungan masyarakat luas untuk penyelesaiaan masa lalu ini”, katanya[18].

Bapak Asman yang merupakan korban peristiwa 1965 di Palu juga sependapat dengan Ella. Menurutnya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM harus bercerita mengenai kebenaran suatu peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lalu. “Harus ada pengungkapan kebenaran yang diberikan korban kepada masyarakat. Pemerintah saat ini tidak bisa diharapkan untuk mengungkapkan kebenaran peristiwa masa lalu”, tegasnya[19].

Bahkan menurut bapak Astaman Hasibuan, pendokumentasian untuk pengungkapan kebenaran dari korban tersebut dapat digunakan sebagai daya tawar korban dan keluarga korban pelanggaran HAM kepada pemerintah. “Penulisan kesaksian atau pendokumentasian menjadi penting untuk meningkatkan daya tawar korban supaya memaksa pemerintah segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu”, pungkasnya[20]. Menurutnya, daya tawar korban harus dibangkitkan dengan menunjukkan ke masyarakat luas mengenai apa yang terjadi di masa lalu.

Mencegah Keberlanjutan Pelanggaran HAM

Penuntasan kasus pelanggaran HAM yang menjadi tanggung jawab negara merupakan hal yang paling penting bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Pembangunan demokrasi Indonesia ke depan tidak akan utuh selama penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masih terbengkalai.

Penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu, bukan hanya untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM saja. Namun penuntasan kasus pelanggaran HAM akan memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggar HAM, sehingga di kemudian hari tidak terjadi lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang serupa. Artinya penuntasan kasus pelanggaran HAM akan memberikan jaminan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia dari tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan pelanggaran HAM. Hal ini yang kemudian juga menjadi dasar perjuangan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Mereka tidak ingin kasus pelanggaran HAM yang mereka alami, terjadi kembali di kemudian hari dan menimpa rakyat Indonesia yang lainnya. Bapak Chairuman mengingatkan kalau kasus-kasus masa lalu dibiarkan, maka pelanggaran HAM akan berlanjut dan menimbulkan korban-korban baru[21]. Begitu juga yang diungkapkan oleh Ibu Aisyah yang tidak menginginkan adanya korban-korban pelanggaran HAM yang baru di Indonesia[22].

Suciwati, istri mendiang pegiat HAM Munir kemudian juga menegaskan bahwa perjuangan korban dan keluarga korban adalah bukan hanya untuk kepentingan korban dan keluarga korban saja, tetapi juga untuk kepentingan bangsa ini. “Energi kita adalah karena cinta kita kepada anak istri suami dan bangsa ini ke depan, jangan sampai ada anak istri atau suami yang diperlakukan seperti keluarga kami. Atas nama cinta kemanusiaan itulah kita berharap jangan sampai terjadi lagi,”tegasnya[23].





[1] Rakyat Merdeka, Aktivis Kontras Bertamu ke Kemenkumham, 5 Januari 2012, sumber: http://bataviase.co.id/node/928998
[2] Wawancara dengan Ibu Asiyah, 8 Februari 2012
[3] Wawancara dengan Bapak Murtala, 9 Februari 2012
[4] Wawancara dengan Bapak DT Utomo Rahardjo, 8 Februari 2012
[5] Tim Kecil Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat terdiri dari Menkopolhukam, Komnas HAM, Wakil Kemenkopolhukam, Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Kejaksaan Agung, Mabes TNI, Mabes Polri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perhutanan, Kementerian BUMN, KemESDM dan KemPU. Mandat kerja tim ini adalah mencari format terbaik penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan konflik SDA agar tidak berlarut-larut. Presiden juga mengangkat Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, yang menyatakakan komitmennya untuk penyelesaian masalah HAM masa lalu sebagai bagian dari percepatan program pemerintah dalam tiga tahun kedepan.
[6] Wawancara dengan bapak Kaharuddin, 9 Februari 2012
[7] Media Indonesia, Saat Mereka Pergi, 21 Aprl 2011, sumber: http://bataviase.co.id/node/650500
[8] Bedjo Untung, “Korban 65 Temui Staff Presiden”, http://www.mail-archive.com/inti-net@yahoogroups.com/msg15369.html (akses 6 Februari 2012)
[9] Wawancara dengan Bapak Astaman Hasibuan, 9 Februari 2012
[10] Bedjo Untung, “Korban 65 Temui Staff Presiden”, http://www.mail-archive.com/inti-net@yahoogroups.com/msg15369.html (akses 6 Februari 2012)
[11] Detiknews.com, 2 tahun Sudah SBY Abaikan Kasus Orang Hilang, 28 September 2011, sumber: http://www.detiknews.com/read/2011/09/28/160735/1732535/10/2-tahun-sudah-sby-abaikan-kasus-orang-hilang?nd992203605
[12] Seruu.com, Presiden Abaikan Kasus Orang Hilang, DPR Bisa Gunakan Interpelasi atau Hak Menyatakan Pendapat, 28 September 2011, sumber: http://mobile.seruu.com/utama/politik/artikel/presiden-abaikan-kasus-orang-hilang-dpr-bisa-gunakan-interpelasi-atau-hak-menyatakan-pendapat
[13] KBR68H, Korban HAM Aceh Tuntut Pembentukan Pengadilan HAM, 31 Juli 2011, sumber: http://www.kbr68h.com/berita/nasional/9970
[14] VHRmedia.com, Temu Korban HAM Papua: Negara Telantarkan Pelanggaran HAM, 27 November 2010, sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=366
[15] Wawancara dengan bapak Chairuman, 9 Februari 2012
[16] Wawancara dengan bapak Bachtiar, 8 Februari 2012
[17] Wawancara dengan Ella, 8 Februari 2012
[18] Wawancara dengan Ella, 8 Februari 2012
[19] Wawancara dengan bapak Asman, 9 Februari 2012
[20] Wawancara dengan bapak Astaman Hasibuan, 9 Februari 2012
[21] Wawancara dengan bapak Chairuman, 9 Februari 2012
[22] Wawancara dengan ibu Aisyah, 8 Februari 2012
[23] BBC Indonesia, Korban Pelanggaran HAM Tuntut Peradilan, 10 Maret 2011, sumber: http://www.bbc.co.uk/indonesia/mobile/berita_indonesia/2011/03/110310_hamtrial.shtml


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng Manggarai: Tombo ca anak koe ata oke le eman

Dasar, Struktur, Fungsi dan Corak Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja Katolik

HUKUM ADAT SUKU ASMAT