Merpati Perdamaian
Merpati bebas
bergerak tanpa sekat pembatas geografis, suku, agama, budaya, status sosial,
dan bangsa. Dengan bebas ia membawa ranting zaitun sebagai simbol bahwa
perdamaian itu universal. Di tengah dunia yang diwarnai oleh budaya kematian
seperti konflik, kekerasan, perang, dan terorisme, merpati perdamaian mendekat
untuk mengucapkan salam damai, dengan
pesan utama hargailah budaya kehidupan. Di tengah dendam kesumat, merpati
perdamaian mengintip hati yang tertutup dan mencoba membukanya dengan memberi
ranting zaitun sebagai lambang harapan. Di tengah perdebatan, kontroversi, dan
diskusi yang membuat hati memanas, merpati perdamaian membisikan: “berdamailah
dengan semua orang”. Damai itu indah.
Damai
merupakan salah satu kerinduan terdalam umat manusia. St. Agustinus dalam De Civitate Dei, XIX, 12 menegaskan
bahwa perdamaian adalah apa yang dirindukan oleh setiap orang, bahkan oleh
setiap makhluk. Menurutnya, ada tida dimensi perdamaian:
1)
Dimensi personal, yaitu berdamai dengan diri
sendiri;
2)
Dimensi sosial, yaitu berdamai dengan sesama
baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat;
3)
Dimensi teologal, yaitu berdamai dengan Allah
Tatanan
perdamaian berawal dari adanya keselarasan antara bagian-bagian dalam diri
manusia, kemudian bergerak menuju komunitas dunia (civitas terrena), hingga
memuncak pada komunitas surgawi atau komunitas Allah (Civitas Dei). Dalam
komunitas surgawi manusia menikmati Allah dan satu sama lain dalam Allah
(societas fruendi Deo et invicem in Deo).
Berkaitan
dengan tatanan perdamaian ini, St. Agustinus berkata:
“Perdamaian antara badan dan jiwa adalah
hidup tertata. Perdamaian antara manusia adalah kerukunan yang tertata.
Perdamaian dalam keluarga adalah kerukunan yang tertata para anggota berkaitan
dengan perintah-perintah dan ketaatan. Perdamaian dalam negara adalah
kerukunanan tertata para warga negara berkaitan dengan perintah-perintah dan
ketaatan. Perdamaian komunitas surgawi adalah kebersamaan dalam ketertataan dan
kesepakatan sempurna dalam menikmati Allah dan saling menikmati dalam Allah.”
(De Civitate Dei, 13).
Dalam jaman
ini, ketika membicarakan tema perdamaian kiranya perlu juga menonjolkan gagasan
“Eko Perdamaian”, yakni perdamaian dengan alam semesta. Filosofi dasarnya
adalah bahwa alam semesta merupakan sahabat dekat kita. Yang diminta dari kita
adalah adanya “kecerdasan ekologis”, yakni sebuah kecerdasan untuk menata dan
merawat persahabatan dengan alam semesta.
Damai
menciptakan ketertataan dan keteraturan. Semua orang mendambakannya. Damai
didambakan kerana menawarkan rasa aman, tenang, sejahtera, dan bahagia. Selain
itu, damai didambakan karena membawa keharmonisan dalam jalinan kerja sama yang
apik antarpribadi, masyarakat, negara, dan dengan alam semesta. Namun di sisi
lain, damai selalu diwarnai oleh pertengkaran, konflik, iri hati, dan
ujung-ujungnya adalah perang. Ditilik dari sisi ini, maka damai adalah situasi
dimana masing-masing pribadi dan warga masyarakat berusaha menyelesaikan
konflik dan pertentangan dengan melakukan gerakan tanpa kekerasan sehingga
tidak ada yang merasa terluka dan diinjak-injak hak asasinya.
Tugas kita
bersama adalah menjadi pembawa damai. Menjadi pembawa damai berarti berjuang
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta mewujudkan masyarakat yang dijiwai kasih dan kebebasan.
Damai perlu digandengkan dengan kebenaran, keadilan, cinta kasih, dan
kebebasan. Paus Yohanes XXIII menegaskan dalam Ensiklik Paceem In Terris bahwa
“Perdamaian hanya dapat dibangun di atas kebenaran, sesuai dengan keadilan,
dihidupkan dan diintegrasikan oleh cinta kasih, dan dilaksanakan dalam
kebebasan”.
Karena itu,
diktum yang selalu ia dengungkan adalah “Jangan hidup terpencil penuh curiga,
melainkan hidup optimis dan terbuka terhadap dialog”.
Komentar