Boni Hargens; Demokrasi Jokowian
Komunikasi politik yang baik menjamin harmoni antara pemerintah dan parlemen.
Dalam presidensialisme Jokowi, tak ada upaya saling mendominasi antara pemerintah dan parlemen.
SEUSAI diumumkan Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi JK pada (26/10) bergulir banyak kritik terhadap kabinet tersebut. Ada yang bilang, kabinet tak memperhitungkan proporsi kedaerahan. Yang lain bilang, kabinet bentuk kompromi politik seperti tuduhan Sekjen Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono. Benarkah demikian?
Ketika awal berkuasa di tahun 1829, tak sedikit yang resah dengan Andrew Jackson (1767-1845), presiden ke-7 dalam sejarah Amerika Serikat. Penekanannya pada prinsip kesetaraan dianggap kebablasan oleh kaum industrialis. Pasar perdagangan budak yang begitu ramai di selatan saat itu merupakan kebutuhan yang krusial bagi industriindustri di utara yang membutuhkan tenaga kerja murah. Prinsip kesetaraan Jakcsonian ditangkap sebagai semangat baru oleh para aktivis antiperbudakan di selatan meski bukan itu tujuan Jackson.Jackson menolak monopoli elite.Politik ialah untuk semua. Meski `semua' saat itu mengacu pada yang kulit putih. Setidaknya, Jackson membagi peluang bagi banyak orang di tengah konteks politik yang dikuasai kelas terbatas yang disebut `kelas politik' oleh Gaetano Mosca (1896).
Politik Jacksonian ialah arus kuat yang muncul setelah politik Jeffersonian mewarnai Amerika sebelumnya(1800-1824). Jefferson juga menolak aristokrasi dan menjamin hak individu. Namun, penekanan kaum Jeffersonian ialah prinsip republikanisme bahwa tiap warga wajib membantu negara termasuk dalam mencegah ko rupsi.
Thomas Jefferson memulai prinsip itu selama menjadi presiden (1801-1809).Ia meyakini, negara kuat bila tiap warga ikut membantu. Negara dan rakyat tak terpisahkan. Sebagaimana tesis kaum integralistik pada umumnya, Jack sonian melihatnya lain. Negara kuat kalau (1) ada presidensialisme yang kuat dan (2) partisipasi publik dalam pemerintahan.
Bagaimana dengan Jokowi? revolusi mental ialah keyakinan seka ligus weltanschauung (cara pandang) bahwa perubahan harus dimulai dari pikiran, hati, dan keseluruhan kesadaran. Rakyat bukan cuma par tikel atom dalam molekul bernama `negara' yang dituntut bertanggung jawab padanya seperti logika Jef fersonian, melainkan juga subyek otonom yang bertanggung jawab atas ontologinya. Maka, revolusi mental bukan sebuah gerakan `mengam bil alih tugas negara' atau gerakan `menuju negara pasif' atau ketika se mua orang mengalami revolusi men tal, lalu negara akan diam pasif.
Revolusi mental bermakna negara dan warga sama-sama proaktif mem perjuangkan perubahan. Negara harus aktif memenuhi kewajibannya terhadap warga negara dan seba liknya, warga dituntut proaktif me menuhi kewajiban kewargaan dan mengembangkan dirinya. Karena dengan begitu, tiap orang memberi bentuk dan makna pada keberadaan ontologis mereka sebagai manusia dan sebagai warga.
Barangkali dengan memahami pembentukan kabinet, kita bisa mengerti maksud revolusi mental dalam skala tertentu. Orang mem persoalkan dua hal, yaitu pelibat an PPATK dan KPK serta proporsi kedaerahan atau kesukuan dalam kabinet.
Melibatkan PPATK dan KPK ialah manifestasi keyakinan Jokowi ten tang pentingnya deliberasi publik dalam mengambil keputusan karena dua lembaga itu representasi dari ke hendak publik. Dalam hal itu, Jokowi seorang Jacksonian atau Haber masian dalam konteks kontemporer.
Apakah hal itu tidak mencederai hak prerogatif?
Hak prerogatif ialah hak yang melekat pada diri presiden, tak bisa dikurangi atau dibatalkan oleh (si-) apa pun. Keputusan meminta per timbangan PPATK dan KPK ialah ke putusan bebas Jokowi. Itulah bentuk operasional dari hak prerogatif.
Selain itu, partisipasi publik ialah mekanisme pertahanan yang cer das dari Jokowi menghadapi `silu man-siluman' politik yang hendak mengebiri hak prerogatif untuk kepentingan terbatas yang mence derai demokrasi. Keberanian Jokowi melibatkan PPATK dan KPK mesti di lihat sebagai halaman pertama dari keseluruhan buku revolusi mental pemerintahannya.
Turbulensi politik Kritik lain muncul pada soal proporsi primordial. Pesan singkat beredar yang isinya seolah-olah suku atau daerah tertentu protes tak ada wakilnya dalam kabinet. Apa yang terjadi merupakan sebuah pelajaran revolusi mental. Jokowi mengajarkan cara berpikir transendental bahwa yang utama bukan simbol parsial melainkan kekitaan yang melekat da lam tiap kita seba gai satu entitas ber nama `bangsa'. Tak ada Jawa, Batak, Flores, Sunda, atau pun Papua. Tak ada Islam, Hindu, Kato lik, Budha, atau pun Protestan. Tak ada timur atau pun ba rat. Yang ada ialah kita. Kita sebagai Indonesia. Penentuan kabinet tak boleh didasarkan pada determinasi kesukuan, agama, atau kedaerahan.Kompetensi dan integritas merupakan determinasi utama.
Hal tersebut merupakan turbulensi politik parlemen saat ini. Mereka bilang, Jokowi tidak memperlihatkan reaksi tertentu yang cukup serius. Di awal dulu, para spekulan beranggapan Jokowi bakal memperjuangkan komposisi mayoritas di parlemen supaya pemerintahan mulus. Mereka lupa, komposisi parlemen bukan ancaman bagi Jokowi yang dimenangkan oleh keh endak rakyat.
Hubungan kritis pemerintah dan parlemen ialah keharusan dalam konteks check and balanceatau saling kontrol. Tidak ada presidensialime raksasa yang begitu kuat seperti model Jacksonian begitu juga heavylegislative. Komunikasi politik yang baik menjamin harmoni antara pemerintah dan parlemen. Dalam presidensialisme Jokowi, tak ada upaya saling mendominasi antara pemerintah dan parlemen.
Prinsip-prinsip inilah yang disebut demokrasi Jokowian. Demokrasi yang didasarkan pada kehendak rakyat, dikerjakan dengan semangat kebangsaan, dan didukung mekanisme presidensialime yang membutuhkan legislatif kritis dalam rangka mewujudkan perubahan menyeluruh yang berbasis pada semangat revolusi mental.
Komentar