Kejahatan di Luar KUHP, Cybercrime
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan yang pesat dari teknologi telekomunikasi dan teknologi
komputer dilandasi oleh perkembangan yang terjadi pada bidang mikro
elektronika, material, dan perangkat lunak. Teknologi komputer adalah
berupa computer network yang kemudian melahirkan suatu ruang komunikasi dan
informasi global yang dikenal dengan internet. Penggunaan teknologi
komputer, telekomunikasi, dan informasi tersebut mendorong berkembangnya
transaksi melalui internet di dunia. Perusahaan-perusahaan berskala dunia
semakin banyak memanfaatkan fasilitas internet. Sementara itu tumbuh
transaksi-transaksi melalui elektronik atau on-line dari berbagai sektor, yang
kemudian memunculkan istilah e-banking, e-commerce, e-trade, e-business, e-retailing.
(Andi Hamzah, 1990:23-24).
Perkembangan yang pesat dalam pemanfaatan jasa internet juga mengundang
terjadinya kejahatan. Cybercrime merupakan perkembangan dari computer crime.
Cybercrime adalah suatu bentuk kejahatan virtual dengan memanfaatkan media
komputer yang terhubung ke internet, dan mengekploitasi komputer lain yang
terhubung dengan internet juga. Rene L. Pattiradjawane menyebutkan bahwa
konsep hukum cyberspace, cyberlaw dan cyberline yang dapat menciptakan
komunitas pengguna jaringan internet yang luas (60 juta), yang melibatkan 160
negara telah menimbulkan kegusaran para praktisi hukum untuk menciptakan
pengamanan melalui regulasi, khususnya perlindungan terhadap milik pribadi.
John Spiropoulos mengungkapkan bahwa cybercrime memiliki sifat efisien dan
cepat serta sangat menyulitkan bagi pihak penyidik dalam melakukan penangkapan
terhadap pelakunya. Hukum yang salah satu fungsinya menjamin kelancaran proses
pembangunan nasional sekaligus mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai
harus dapat melindungi hak para pemakai jasa internet sekaligus menindak
tegas para pelaku cybercrime. Adapun
jenis-jenis cybercrime, antara lain :
1. Pengiriman dan penyebaran virus.
2. Pemalsuan identitas diri.
3. Penyebar-luasan pornografi.
4. Penggelapan
data orang lain.
5. Pencurian
data.
6. Pengaksesan
data secara illegal (hacking).
7. Pembobolan
rekening bank.
8. Perusakan
situs (cracking).
9. Pencurian
nomer kartu kredit (carding).
10. Penyediaan informasi palsu atau menyesatkan.
11. Transaksi bisnis illegal.
12. Phishing (rayuan atau tawaran bisnis agar mau membuka
rahasia pribadi).
13. Botnet (penguasaan software milik korban untuk kegiatan
pelaku menyerang komputer lain).
Beberapa masalah cybercrime yang terjadi di Indonesia adalah
pencurian nomer kartu kredit (carding). Para pelaku carding biasa disebut
carder atau frauder. Mereka adalah orang-orang yang mampu dan dapat menggunakan
kartu kredit milik orang lain dengan cara membobol nomor kartu kredit tersebut
tanpa diketahui pemiliknya, dan menggunakan kartu kredit tersebut untuk
berbelanja lewat internet. Paper ini merupakan kajian terhadap bentuk-bentuk
cybercrime sebagai sebuah kejahatan, pengaturannya dalam sistem
perundang-undangan Indonesia dan hambatan-hambatan yang ditemukan dalam
penyidikan.
B. Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut yang telah diuraikan maka dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
bentuk-bentuk Cybercrime di Indonesia?
2. Apakah undang-undang yang berlaku di
Indonesia dapat diterapkan terhadap semua bentuk Cybercrime tersebut?
3. Masalah-masalah apa saja yang
ditemukan dalam proses penyidikan terhadap Cybercrime?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Cyber Crime
Perkembangan teknologi jaringan komputer global atau Internet telah
menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace, sebuah dunia komunikasi
berbasis komputer yang menawarkan realitas yang baru, yaitu realitas virtual.
Istilah cyberspace muncul pertama kali dari novel William Gibson berjudul
Neuromancer pada tahun 1984. Istilah cyberspace pertama kali digunakan untuk
menjelaskan dunia yang terhubung langsung (online) ke internet oleh Jhon Perry
Barlow pada tahun 1990.
Secara etimologis, istilah cyberspace sebagai suatu kata merupakan suatu
istilah baru yang hanya dapat ditemukan di dalam kamus mutakhir. Pengertian cyberspace tidak terbatas pada dunia yang tercipta ketika
terjadi hubungan melalui internet. Perkembangan teknologi komputer juga
menghasilkan berbagai bentuk kejahatan komputer di lingkungan cyberspace yang
kemudian melahirkan istilah baru yang dikenal dengan Cybercrime, Internet
Fraud, dan lain-lain.
Sebagian
besar dari perbuatan Cybercrime dilakukan oleh seseorang yang sering disebut
dengan cracker. Kegiatan hacking atau cracking yang merupakan salah satu bentuk
cybercrime tersebut telah membentuk opini umum para pemakai jasa internet bahwa
Cybercrime merupakan suatu perbuatan yang merugikan bahkan amoral. Para korban
menganggap atau memberi stigma bahwa cracker adalah penjahat. Perbuatan cracker
juga telah melanggar hak-hak pengguna jasa internet sebagaimana digariskan
dalam The Declaration of the Rights of Netizens yang disusun oleh Ronda Hauben.
David I. Bainbridge mengingatkan bahwa pada saat memperluas hukum pidana, harus
ada kejelasan tentang batas-batas pengertian dari suatu perbuatan baru yang
dilarang sehingga dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana dan juga dapat
dibedakan dengan misalnya sebagai suatu perbuatan perdata.
Modus Kejahatan Kartu Kredit
(Carding) umumnya berupa :
a)
Mendapatkan nomor kartu kredit (CC)
dari tamu hotel.
b)
Mendapatkan nomor kartu kredit
melalui kegiatan chatting di Internet.
c)
Melakukan pemesanan barang ke
perusahaan di luar negeri dengan menggunakan Jasa Internet.
d)
Mengambil dan memanipulasi data
di Internet.
e)
Memberikan keterangan palsu, baik
pada waktu pemesanan maupun pada saat pengambilan barang di Jasa Pengiriman
(kantor pos, UPS, Fedex, DHL, TNT, dsb.).
Contoh kasus kejahatan kartu kredit melalui internet dapat dikemukakan dari
suatu hasil penyidikan pihak Korps Reserse POLRI Bidang Tindak Pidana Tertentu
di Jakarta terhadap tersangka berinisial BRS, seorang Warga Negara Indonesia
yang masih berstatus sebagai mahasiswa Computer Science di Oklahoma City
University USA. Ia disangka melakukan tindak pidana penipuan dengan menggunakan
sarana internet, menggunakan nomor dan kartu kredit milik orang lain secara
tidak sah untuk mendapatkan alat-alat musik, komputer dan Digital Konverter
serta menjualnya, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 atau
263 atau 480 KUHP.
Tersangka
mendapatkan nomor-nomor kartu kredit secara acak melalui Search Engine mencari
“Program Card Generator” di Internet. Tersangka menggunakan Program Card
Generator versi IV, kemudian hasil dari generator tersebut disimpan Tersangka
dalam file di “My Document” dan sebagian dari nomor-nomor itu digunakan
Tersangka untuk melakukan transaksi di Internet. Selain itu Tersangka
mendapatkan nomor-nomor kartu kredit dari saluran MIRC “JOGYA CARDING “.
Cara Tersangka menggunakan kartu kredit secara tidak sah sehingga
mendapatkan barang yang diinginkannya adalah sebagai berikut:
Pertama, Tersangka Online menggunakan internet, kemudian Tersangka membuka
situs : www.PCVideoOnline.com lalu memilih komputer atau laptop yang akan
dibeli dan dimasukan ke Shoping Bag.
Kedua, setelah barang-barang yang diperlukan atau yang akan dibeli dirasa
cukup, kemudian Tersangka menekan (klik) tombol Checkout dan selanjutnya
mengisi formulir tentang informasi pembayaran dan informasi tujuan pengiriman.
Dalam informasi pembayaran Tersangka mengetikkan nama, alamat tempat tinggal,
dan alamat email. Dalam informasi tujuan tersangka mengetikkan data yang sama.
Ketiga,
Tersangka memilih metode pengiriman barang dengan menggunakan perusahaan jasa
pengriman UPS (United Parcel Service).
Keempat, Tersangka melakukan pembayaran dengan cara memasukkan atau
mengetikkan nomor kartu kredit, mengetikan data Expire Date (masa berlakunya),
kemudian menekan tombol (klik) Submit.
Terakhir, Tersangka mendapatkan email/invoice konfirmasi dari pedagang
tersebut ke email Tersangka bahwa kartu kredit yang digunakan valid dan dapat
diterima, email tersebut disimpan Tersangka di salah satu file di komputer
Tersangka.
Cara Tersangka mengambil barang dari perusahaan jasa pengiriman adalah
melalui seseorang berinisial PE yang berdasarkan referensi dari seorang
karyawan perusahaan jasa pengiriman AIRBORNE EXPRESS dapat memperlancar
pengeluaran paket kiriman. Tersangka memberi Tracking Number
kepada PE, kemudian PE yang mengeluarkan paket kiriman tersebut dan
mengantarnya ke rumah Tersangka.
Berdasarkan bentuk-bentuk kejahatan sebagaimana telah dikemukakan oleh
beberapa penulis serta memperhatikan kasus-kasus cybercrime yang sering
terjadi, maka kualifikasi cybercrime berdasarkan Tindak pidana yang berkaitan
dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem computer yaitu:
a)
Illegal Access (akses secara tidak sah terhadap sistem komputer), yaitu dengan
sengaja dan tanpa hak melakukan akses secara tidak sah terhadap seluruh atau
sebagian sistem komputer, dengan maksud untuk mendapatkan data komputer atau
maksud-maksud tidak baik lainnya, atau berkaitan dengan sistem komputer yang
dihubungkan dengan sistem komputer lain. Hacking
merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.
b)
Data Interference (mengganggu
data komputer), yaitu dengan sengaja melakukan perbuatan merusak, menghapus,
memerosotkan (deterioration), mengubah atau menyembunyikan (suppression) data
komputer tanpa hak. Perbuatan menyebarkan virus komputer merupakan salah
satu dari jenis kejahatan ini yang sering terjadi.
c)
System Interference (mengganggu sistem komputer), yaitu dengan sengaja dan tanpa hak
melakukan gangguan terhadap fungsi sistem komputer dengan cara memasukkan,
memancarkan, merusak, menghapus, memerosotkan, mengubah, atau menyembunyikan
data komputer. Perbuatan menyebarkan program virus komputer dan
E-mail bombings (surat elektronik berantai) merupakan bagian dari jenis
kejahatan ini yang sangat sering terjadi.
d)
Illegal Interception in the
computers, systems and computer networks operation (intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan
operasional komputer), yaitu dengan sengaja melakukan intersepsi tanpa hak,
dengan menggunakan peralatan teknik, terhadap data komputer, sistem komputer,
dan atau jaringan operasional komputer yang bukan diperuntukkan bagi kalangan
umum, dari atau melalui sistem komputer, termasuk didalamnya gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan dari suatu sistem komputer yang membawa
sejumlah data. Perbuatan dilakukan dengan maksud tidak baik, atau berkaitan
dengan suatu sistem komputer yang dihubungkan dengan sistem komputer lainnya.
e)
Data Theft (mencuri data), yaitu kegiatan memperoleh data komputer secara tidak
sah, baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan kepada orang lain. Identity
theft merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sering diikuti dengan
kejahatan penipuan (fraud). Kejahatan ini juga sering diikuti dengan kejahatan
data leakage.
f)
Data leakage and Espionage (membocorkan data dan memata-matai), yaitu kegiatan memata-matai dan
atau membocorkan data rahasia baik berupa rahasia negara, rahasia perusahaan,
atau data lainnya yang tidak diperuntukkan bagi umum, kepada orang lain, suatu
badan atau perusahaan lain, atau negara asing.”
g)
Misuse of Devices (menyalahgunakan peralatan komputer), yaitu dengan sengaja dan tanpa
hak, memproduksi, menjual, berusaha memperoleh untuk digunakan, diimpor,
diedarkan atau cara lain untuk kepentingan itu, peralatan, termasuk program
komputer, password komputer, kode akses, atau data semacam itu, sehingga
seluruh atau sebagian sistem komputer dapat diakses dengan tujuan digunakan
untuk melakukan akses tidak sah, intersepsi tidak sah, mengganggu data atau
sistem komputer, atau melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum lain.
2.
Pengaturan Cybercrime dalam
Perundang-undangan Indonesia
Sistem perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara khusus
mengenai kejahatan komputer termasuk cybercrime. Mengingat terus meningkatnya
kasus-kasus cybercrime di Indonesia yang harus segera dicari pemecahan
masalahnya maka beberapa peraturan baik yang terdapat di dalam KUHP maupun di
luar KUHP untuk sementara dapat diterapkan terhadap beberapa kejahatan berikut
ini:
a)
Illegal Access (akses secara tidak
sah terhadap sistem komputer)
Perbuatan melakukan akses secara tidak sah terhadap sistem komputer belum
ada diatur secara jelas di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Untuk
sementara waktu, Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi dapat diterapkan. Pasal 22 Undang-Undang Telekomunikasi
menyatakan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah,
atau memanipulasi:
·
Akses ke jaringan telekomunikasi,
·
Akses ke jasa telekomunikasi,
·
Akses ke jaringan telekomunikasi
khusus.
Pasal 50 Undang-Undang
Telekomunikasi memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar
ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Telekomunikasi dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah).
b)
Data Interference (mengganggu data
komputer) dan System interference (mengganggu sistem komputer)
Pasal 38
Undang-Undang Telekomunikasi belum dapat menjangkau perbuatan data interference
maupun system interference yang dikenal di dalam Cybercrime. Jika perbuatan
data interference dan system interference tersebut mengakibatkan kerusakan pada
komputer, maka Pasal 406 ayat (1) KUHP dapat diterapkan terhadap perbuatan
tersebut.
c)
Illegal Interception in the
computers, systems and computer networks operation (intersepsi secara tidak sah
terhadap operasional komputer, sistem, dan jaringan komputer)
Pasal 40 Undang-Undang
Telekomunikasi dapat diterapkan terhadap jenis perbuatan intersepsi ini. Pasal
56 Undang-Undang Telekomunikasi memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa
yang melanggar ketentuan Pasal 40 tersebut dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun.
d)
Data Theft (mencuri data)
Perbuatan melakukan pencurian data sampai saat ini tidak ada diatur secara
khusus, bahkan di Amerika Serikat sekalipun. Pada kenyataannya, perbuatan
Illegal access yang mendahului perbuatan data theft yang dilarang, atau jika
data thef diikuti dengan kejahatan lainnya, barulah ia menjadi suatu kejahatan
bentuk lainnya, misalnya data leakage and espionage dan identity theft and
fraud. Pencurian data merupakan suatu perbuatan yang telah mengganggu hak
pribadi seseorang, terutama jika si pemiik data tidak menghendaki ada orang
lain yang mengambil atau bahkan sekedar membaca datanya tersebut. Jika para
ahli hukum sepakat menganggap bahwa perbuatan ini dapat dimasukkan sebagai
perbuatan pidana, maka untuk sementara waktu Pasal 362 KUHP dapat diterapkan.
e)
Data leakage and Espionage
(membocorkan data dan memata-matai), Perbuatan membocorkan dan memata-matai
data atau informasi yang berisi tentang rahasia negara diatur di dalam Pasal
112, 113, 114, 115 dan 116 KUHP.
Pasal 323 KUHP mengatur tentang
pembukaan rahasia perusahaan yang dilakukan oleh orang dalam (insider).
Sedangkan perbuatan membocorkan data rahasia perusahaan dan memata-matai yang
dilakukan oleh orang luar perusahaan dapat dikenakan Pasal 50 jo. Pasal 22,
Pasal 51 jo. Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 57 jo. Pasal 42 ayat (1)
Undang-Undang Telekomunikasi.
f)
Misuse of Devices (menyalahgunakan
peralatan komputer),
Perbuatan Misuse of devices pada
dasarnya bukanlah merupakan suatu perbuatan yang berdiri sendiri, sebab
biasanya perbuatan ini akan diikuti dengan perbuatan melawan hukum lainnya. Sistem
perundang-undangan di Indonesia belum ada secara khusus mengatur dan mengancam
perbuatan ini dengan pidana. Hal ini tidak menjadi persoalan, sebab yang perlu
diselidiki adalah perbuatan melawan hukum apa yang mengikuti perbuatan ini.
Ketentuan yang dikenakan bisa berupa penyertaan (Pasal 55 KUHP), pembantuan
(Pasal 56 KUHP) ataupun langsung diancam dengan ketentuan yang mengatur tentang
perbuatan melawan hukum yang menyertainya.
g)
Credit card fraud (penipuan kartu
kredit)
Penipuan kartu kredit merupakan
perbuatan penipuan biasa yang menggunakan komputer dan kartu kredit yang tidak
sah sebagai alat dalam melakukan kejahatannya sehingga perbuatan tersebut dapat
diancam dengan Pasal 378 KUHP.
h)
Bank fraud (penipuan bank)
Penipuan bank dengan menggunakan
komputer sebagai alat melakukan kejahatan dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP
atau Pasal 378 KUHP, tergantung dari modus operandi perbuatan yang
dilakukannya.
i)
Service Offered fraud (penipuan
melalui penawaran suatu jasa)
Penipuan melalui penawaran jasa
merupakan perbuatan penipuan biasa yang menggunakan komputer sebagai salah satu
alat dalam melakukan kejahatannya sehingga dapat diancam dengan Pasal 378 KUHP.
j)
Identity Theft and fraud
(pencurian identitas dan penipuan)
Pencurian identitas yang diikuti
dengan melakukan kejahatan penipuan dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP atau
Pasal 378 KUHP, tergantung dari modus operandi perbuatan yang dilakukannya.
k)
Computer-related betting (perjudian
melalui komputer)
Perjudian melalui komputer
merupakan perbuatan melakukan perjudian biasa yang menggunakan komputer sebagai
alat dalam operasinalisasinya sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan
Pasal 303 KUHP.
3.
Permasalahan dalam Penyidikan terhadap
Cybercrime
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, hambatan-hambatan yang ditemukan di dalam proses penyidikan antara
lain adalah sebagai berikut:
a)
Kemampuan penyidik
Secara umum penyidik Polri masih
sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap
hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus itu.
Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan) adalah: Kurangnya
pengetahuan tentang komputerdan pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik
dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih terbatas. Tidak ada satu orang pun
yang pernah mendapat pendidikan khusus untuk melakukan penyidikan terhadap
kasus cybercrime.
Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan
penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya
diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi
penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker
b)
Alat Bukti
Persoalan alat
bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara lain
berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:
·
Sasaran atau media cybercrime
adalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet yang sifatnya mudah
diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau
sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus
direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan
timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum
diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah.
·
Kedudukan saksi korban dalam
cybercrime sangat penting disebabkan cybercrime seringkali dilakukan
hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain, saksi korban seringkali berada jauh di
luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan
pemberkasan hasil penyidikan. Penuntut umum juga tidak mau menerima berkas
perkara yang tidak dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Saksi khususnya saksi
korban dan harus dilengkapi dengan Berita Acara Penyumpahan Saksi disebabkan
kemungkinan besar saksi tidak dapat hadir di persidangan mengingat jauhnya
tempat kediaman saksi. Hal ini mengakibatkan kurangnya alat bukti yang sah jika
berkas perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sehingga beresiko
terdakwa akan dinyatakan bebas. Mengingat karakteristik cybercrime, diperlukan
aturan khusus terhadap beberapa ketentuan hukum acara untuk cybercrime. Pada
saat ini, yang dianggap paling mendesak oleh Peneliti adalah pengaturan tentang
kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa alat bukti yang sering ditemukan di
dalam Cybercrime seperti data atau sistem program yang disimpan di dalam
disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya.
c)
Fasilitas komputer forensik
Untuk
membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker dalam
melakukan aksinya terutama yang
berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum
memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk
mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa
soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai
fasilitas komputer forensik yang memadai.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Opini umum yang terbentuk bagi para pemakai jasa internet adalah bahwa
cybercrime merupakan perbuatan yang merugikan. Para korban menganggap atau
memberi stigma bahwa pelaku cybercrime adalah penjahat. Modus operandi
cybercrime sangat beragam dan terus berkembang sejalan dengan perkembangan
teknologi, tetapi jika diperhatikan lebih seksama akan terlihat bahwa banyak di
antara kegiatan-kegiatan tersebut memiliki sifat yang sama dengan
kejahatan-kejahatan konvensional. Perbedaan utamanya adalah bahwa cybercrime
melibatkan komputer dalam pelaksanaannya. Kejahatan-kejahatan yang berkaitan
dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer
perlumendapat perhatian khusus, sebab kejahatan-kejahatan ini memiliki karakter
yang berbeda dari kejahatan-kejahatan konvensional.
Sistem
perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara khusus mengenai kejahatan
komputer melalui media internet. Beberapa peraturan yang ada baik yang terdapat
di dalam KUHP maupun di luar KUHP untuk sementara dapat diterapkan terhadap
beberapa kejahatan, tetapi ada juga kejahatan yang tidak dapat diantisipasi
oleh undang-undang yang saat ini berlaku.
Hambatan-hambatan yang ditemukan dalam upaya melakukan penyidikan terhadap
cybercrime antara lain berkaitan dengan masalah perangkat hukum, kemampuan
penyidik, alat bukti, dan fasilitas komputer forensik. Upaya-upaya yang dapat
dilakukan untuk mengatasi hambatan yang ditemukan di dalam melakukan penyidikan
terhadap cybercrime antara lain berupa penyempurnaan perangkat hukum, mendidik
para penyidik, membangun fasilitas forensic computing, meningkatkan upaya
penyidikan dan kerja sama internasional, serta melakukan upaya penanggulangan
pencegahan.
B. Saran
Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai saran sehubungan dengan hasil
penelitian terhadap cybercrime adalah sebagai berikut :
1)
Undang-undang tentang cybercrime
perlu dibuat secara khusus sebagai lexspesialis untuk memudahkan penegakan
hukum terhadap kejahatan tersebut.
2)
Kualifikasi perbuatan yang
berkaitan dengan cybercrime harus dibuat secara jelas agar tercipta kepastian
hukum bagi masyarakat khususnya pengguna jasa internet.
3)
Perlu hukum acara khusus yang
dapat mengatur seperti misalnya berkaitan dengan jenis-jenis alat bukti yang
sah dalam kasus cybercrime, pemberian wewenang khusus kepada penyidik dalam
melakukan beberapa tindakan yang diperlukan dalam rangka penyidikan kasus
cybercrime, dan lain-lain.
4)
Spesialisasi terhadap aparat
penyidik maupun penuntut umum dapat dipertimbangkan sebagai salah satu cara
untuk melaksanakan penegakan hukum terhadap cybercrime.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Raharjo, 2002,Cybercrime, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Andi Hamzah, 1990, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Sinar
Grafika, Jakarta.
David I.
Bainbridge, 1993, Komputer dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Undang-Undang Telekomunikasi 1999, 2000, cetakan pertama, Sinar Grafika,
Jakarta.
Niniek Suparni, 2001, Masalah Cyberspace , Fortun Mandiri
Karya, Jakarta.
Suheimi, 1995, Kejahatan Komputer , Andi Offset,
Yogyakarta.
Widyopramono, 1994, Kejahatan di Bidang Komputer ,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Komentar