Menjadikan Hukum Sebagai Panglima
Membanjirnya dukungan terhadap Jokowi-JK sebelum terpilih
menjadi presiden dan wakil presiden adalah realitas bahwa rakyat sangat
mendambakan mereka untuk menjadi pemimpin di pemerintahan yang baru. Setelah
terpilih dan resmi menjadi Presiden dan wakil presiden, maka terjawablah
kehendak publik. Tentu tidak berakhir sampai disini apa yang didambakan oleh
bangsa Indonesia. Bangsa kita sedang membutuhkan suatu perubahan menuju besetuurzorg (kesejahteraan umum) atau
cita-cita yang tertuang di dalam konstitusi.
Maraknya korupsi adalah realitas yang menghambat
cita-cita bangsa kita, menghambat perubahan menuju bonum commune. Kesejahteraan umum hanya menjadi slogan tanpa
langkah nyata yang benar-benar membebaskan keterpurukan bangsa. Tak hanya
korupsi, narkoba beredar dengan cepatnya dan telah menggerogoti bangsa kita dan
dapat menguburkan masa depan bangsa. Kongkalikong antara penguasa dan pengusaha
juga tidak kalah mengerikan dampaknya bagi kehidupan bangsa kita. Problematika
bangsa kita sangat kompleks dan salah satu penyebabnya adalah hukum tidak lagi
menjadi panglima.
Hukum sebagai penglima bertujuan untuk menciptakan bestuurszorg yang dicita-citakan oleh
bangsa kita. Ketika hukum menjadi panglima maka kita mengedapan kedaulatan
hukum bukan kedaulatan negara. Kedaulatan negara mengasumsikan bahwa negara itu
berada di atas hukum dan semua aktivitas negara tidak dapat dijangkau hukum.
Jika dikritisi maka kedaulatan negaralah yang masih kita anut selama ini. Kita
mengakui, misalanya KPK sudah bekerja keras untuk menegakan hukum tanpa
memandang bulu. Tetapi yang kita harapkan adalah bukan kerja lembaga tertentu
saja untuk menjadikan hukum sebagai panglima. Semua lembaga penegak hukum
seharusnya bekerja keras dan total dalam mengedepankan hukum. Dengan itu maka
semua penjahat tidak akan luput dari jeratan hukum. Kita tidak lagi menggunakan
paham sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh seorang ahli hukum, John Austin
bahwa law is a command of lawgiver.
Hukum bukanlah perintah dari penguasa karena jika demikian maka tidak logis
jika buatan itu menghakimi pembuatnya.
Tantangan Pemerintahan Jokow-JK adalah bagaimana
menjadikan hukum sebagai panglima dalam pelaksanaannya. Kekecewaan publik
terhadap aparat penegak hukum tentu sudah menjadi pemandangan biasa. Banyak
kalangan menilai bahwa hukum tidak bisa diandalkan, tidak berguna atau hanya menguntungkan
pihak tertentu. Penilaian itu mencerminkan hukum yang tidak berwibawa, tidak
tegas, tidak konsisten apalagi jika dikatakan sebagai panglima. Maka, jika
Pemerintahan Jokowi-JK adalah jawaban atas kehendak publik, inilah momentum
yang tepat untuk mengedankan kedaulatan hukum. Jika hukum ditegakan maka bonum commune (kesejahteraan bersama)
yang didambakan pasti akan tercapai.
Kedaulatan hukum menghendaki bahwa hukum adalah yang tertinggi.
Hukum tidak berada dibawah politik, hukum tidak berada di bawah kekuasaan negara,
tetapi berada di atas segala-galanya. Oleh karena itu, siapapun yang bertindak
untuk menghambat cita-cita bangsa dengan melanggar hukum maka ia
bertanggungjawab atas perbuatannya. Semua orang adalah sama di hapadan hukum (equal before the law). Dalam sejarah
bangsa kita, peluang orang yang berkuasa untuk menyalahgunakan wewenang demi
kepentingannya atau golongan sangatlah besar, meski tidak semuanya. Kenyataan
ini seolah-olah menegaskan kebenaran dari paham power tends to corrupt. Maka dalam hal inilah hukum harus
benar-benar menjadi panglima tanpa memandang bulu. Inilah bagian dari tugas
negara yang menganut konsepsi welfare
state, dimana pemerintah dibebani tugas melayani kepentingan umum dan
kewajiban mewujudkan kesejahteraan umum.
Komentar