Nilai-Nilai Dasar Dalam Hukum
Franz
Magniz-Suseno dengan mengutip pendapat ahli Jerman, Reinhold Zippelius,
mengemukakan bahwa terdapat tiga nilai dasar yang harus direalisir di dalam
hukum, yaitu nilai kesamaan, kebebasan dan solidaritas.
1.
Nilai Kesamaan
Zippelius
memandang bahwa eksistensi hukum hanya masuk akal apabila hukum dapat menjamin
nilai kesamaan.[1]
Penyelesaian konflik dalam masyarakat modern tidak lagi didasarkan kepada siapa
yang kuat atau siapa yang lemah, melainkan didasarkan pada kriteria objektif
yang berlaku bagi pihak kuat dan pihak yang lemah. Ini mempelihatkan setiap
pihak yang dipandang sama di hadapan hukum. Hukum berlaku umum, tidak hanya
berlaku untuk pihak tertentu. Dengan demikian, hukum menjamin kedudukan dasar yang sama bagi setiap anggota masyarakat.
Berdasarkan
kesamaan semua anggota masyarakat sebagai manusia dan warga negara, maka tidak
ada orang atau sekelompok orang yang
begitu saja dapat memerintah kecuali ia
mendapat penugasan atau persetujuan dari
warga masyarakat itu sendiri. Keyakinan
itu terungkap dengan istilah kedaulatan
rakyat. Setiap wewenang untuk memerintah
haruslah mendapat
persetujuan rakyat dalam
suatu pemilihan umum yang jujur, bebas,
rahasia. Dengan demikian, wewenang penguasa
untuk memerintah telah
mendapatkan keabsahan (legitimasi)
secara demokratis.[2]
Kedaulatan
rakyat tidak berarti segala keputusan harus diambil langsung oleh rakyat,
melainkan pemerintahan itu tetap berada di bawah kontrol masyarakat. Kontrol
itu dapat dilakukan melalui dua cara yaitu,
pertama, melalui pemilihan wakil-wakil rakyat. Kedua, melalui
keterbukaan (publicity) pemerintahan.
Nilai
kesamaan dalam etika politik disebut “keadilan”. Keadilan adalah keadaan antarmanusia di mana manusia
diperlakukan sama dalam situasi yang
sama[3].
Nilai pertama yang harus djamin oleh hukum adalah keadilan. Pembukaan UUD 1945 menjamin bahwa dalam
mencapai tujuan negara haruslah antara lain berdasarkan keadialan sosial. Keadilan
sosial merupakan keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur ekonomis, politis, budaya,
ideologis. Struktur- struktur tersebut merupakan struktur kekuasaan yang menyebabkan segolongan orang tidak dapat
memperoleh apa yang menjadi hak
mereka atau tidak dapat bagian yang
wajar dari harta kekayaan dan hasil
pekerjaan masyarakat secara keseluruhan.
Melaksanakan
keadialan sosial berarti membongkar
seperlunya struktur-struktur
kekuasaan yang ada dan dengan
sendirinya akan berhadapan dengan pihak-phak yang sedang berkuasa. Pihak yang disebut terakhir ini tidak akan tinggal diam. Mereka tetap
berusaha mempertahankan status quo, sehingga keuntungan yang didapat dari struktur yang timpang itu tetap berlangsung. Karena itu tidak masuk
akal mengusahakan keadialan sosial datang
dari mereka yang berkuasa. Usaha itu harus datang dari golongan yang
menderita ketidakadilan serta kesediaan elite yang berkuasa untuk membuka
monopolinya atas kekuasaan tersebut.
2.
Nilai kebebasan
Hukum
mencegah pihak yang kuat mendominasi atau mencampuri pihak lemah, ia langsung
memperlihatkan bahwa hukum melindungi kebebasan manusia. Fungsi hukum sebagai
penjamin kebebasan manusia menjadi pokok filsafat hukum Hegel. Sepintas
kelihatannya hukum itu membatasi kebebasan manusia. Pembatasan kebebasan oleh hukum itu mendapat persetujuan dan
pengakuan masyarakat, sebaliknya pembatasan kebebasan oleh pihak kuat tidak
didasarkan pada persetujuan bebas dari rakyat.
Inti
kebebasan ialah bahwa setiap orang atau kelompok orang berhak untuk mengurus
dirinya sendiri lepas dari dominasi pihak lain. Kebebasan tidak berarti orang berhak hidup menurut kemauannya
sendiri. Secara hakiki manusia itu adalah individu yang bersifat sosial, dimana
ia hidup dalam suatu jaringan dengan manusia lain dan dengan demikian ia harus
memperhatikan serta tergantung pada orang lain. Secara sederhana dapat dikatakn
bahwa kebebasan itu adalah kebebasan untuk mengurus diri sendiri lepas dari
campur tangan si kuat yang dipaksakan secara sewenang-wenang. Kebebasan mengurus diri sendiri merupakan hak
asasi universal. Kebebasan ini pertama kali diperjuangkan oleh kaum liberal
yang pada mulanya berusaha untuk melindungi kehidupan pribadi dari campur
tangan yang dipaksakan oleh pihak lain. Nilai kebebasan mencakup hak untuk hidup, kebutuhan jasmani, kebebasan
bergerak, mengurus rumah tangga sendiri, hak memilih pekerjaan dan tempat
tinggal, kebebasan berpikir, berkumpul dan berserikat.
Nilai
kebebasan yang harus direalisasikan oleh hukum ini mengakibatkan adanya
pembatasan terhadap tugas-tugas negara, yaitu menyelenggarakan kesejahteraan
umum, sehingga dalam melaksanakan tugas tidak melanggar nilai kebebasan.
Kesejahteraan umum adalah syarat-syarat atau kondisi-kondisi yang perlu
disediakan oleh negara untuk masyarakat, sehingga individu-individu,
keluarga-keluarga dan kelompok-kelompokdapat memanfaatkannya untuk mencapai
kesejahteraan masing-masing. Negara sendiri tidak boleh secara langsung
menyejahterakan rakyatnya, melainkan membantu orang untuk mencapai sejahtera.
Yang dapat merasa kesejahteraan masing-masing itu hanya yang bersangkutan.
Negara tidak memiliki kemampuan untuk merasakan kesejahteraan masing-masing
itu.
Bantuan
negara dalam menyejahterakan warganya berlandaskan pada prinsip subsidiaritas, artinya negara sebagai
anggota masyarakat atau lembaga yang lebih tinggi harus memberikan bantuan
kepada anggota masyarakat yang lebih rendah dan terbatas sejauh mereka tidak
dapat menyelesaikan masalahnya secara memuaskan. Sebaliknya apa yang dapat
dikerjakan secara memuaskan oleh satuan masyarakat yang lebih kecil dan
terbatas tidak boleh diambil alih oleh negara.
Jika negara
mengambil alih urusan masyarakat padahal urusan tersebut dapat diselesaikan
secara memuaskan oleh yang bersangkutan, maka negara telah jatuh ke dalam totaliterisme. Mengambil tugas atau
urusan yang dapat dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga berarti negara
telah melanggar hak asasi manusia untuk mengurus dirinya sendiri. Ini berarti
juga telah merebut sebagian kehidupan warganya. Prinsip subsidiaritas memberi
penghormatan atas inisiatif dari bawah
serta memberi gairah hidup dalam masyarakat.
3.
Kebersamaan
Hukum adalah
institusional dari kebersamaan masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia
secara hakiki harus hidup bersama. Untuk itu ia memerlukan tatanan hukum untuk
mengatur hubungannya dengan sesama manusia. Pembatasan kebebasannya untuk
memberikan ruang gerak kepada pihak lain merupakan pengakuan institusional
terhadap solidaritas sesama manusia. Ungkapan fraternite, persaudaraan dan keadilan sosial adalah istilah modern
dari solidaritas.
Pengakuan
terhadap solidaritas atau kesetiakawanan ini mengharuskan tatanan hukum untuk
menunjang sikap sesama anggota masyarakat sebagai senasip dan sepenanggungan.
Oleh karena itu, tatanan hukum mewajibkan kita untuk bertanggung jawab atas
kita semua, tidak boleh ada diantaranya dibiarkan menderita, apalagi dikorbankan demi
kepentingan orang lain.
Atas dasar
itu, masyarakat melalui negara merasa wajib untuk menjamin bahwa tida ada
anggotan yang harus hidup menderita karena syarat-syarat objektif tidak
terpenuhi. Negara wajib membantu golongan-golongan lemah dan kurang mampu
seperti buruh, wanita, anak-anak, korban perang, cacat veteran, pengungsi dan
korban bencana alam. Usaha negara memberikan fasilitas bagi golongan-golongan
tersebut termasuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial, yaitu sebagai wujud
nilai solidaritas antarmanusia.
Komentar