Terorisme
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Teror atau terorisme selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi
kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan
terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Dalam konteks
global, Terorisme merupakan salah satu kejahatan internasional. Oleh karena
menjadi kekwatiran negara-negara di dunia jika terorisme terus berkembang. Atas
dasar itu dunia internasional (terutama negara-negara barat) sangat serius
memerangi terorisme.
Indonesia juga memandang terorisme sebagai salah
satu bentuk kejahatan atau tindak pidana. Tindak
Pidana terorisme diatur dalam UU No.15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Terorisme. Dalam UU tersebut terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan
dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap
kedaulatn setiap Negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang
bersiafat international yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan,
perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyakarat sehingga perlu
dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga
hak asasi orang banyak dilindungi dan dijunjung tinggi.
Apabila terorisme semakin
marak, maka upaya memberantas terorisme juga harus ditingkatkan.
Memerangi terorisme dengan senjata tidak cukup. Salah satu yang
menjadi sasaran pencegahan terorisme adalah melemahkan pendanaan
terorisme (financing terrorism). Terorisme akan semakin berkembang apabila organisasinya
mendapat dukungan dana yang cukup. Oleh karena itu, perang terhadap pendanaan
terorisme merupakan langkah yang penting dalam memerangi terorisme itu
sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Terorisme
2.1.1.
Pengertian menurut
para ahli
§ Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli
Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian
yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan
pengawasan atas makna Terorisme tersebut.
§ Menurut A.C
Manullang, Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain,
dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta
kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah,
atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme.
§ Menurut Laqueur (1999), setelah mengkaji lebih dari seratus definisi Terorisme, menyimpulkan
adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu bahwa
ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman
kekerasan. Sementara motivasi politis dalam Terorisme sangant bervariasi,
karena selain bermotif politis, Terorisme seringkali dilakukan karena adanya
dorongan fanatisme agama .
2.1.2.
Menurut UU No. 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2.1.3.
Menurut Black’s Law Dictionary, Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang
menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana
(Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk:
a)
mengintimidasi penduduk sipil.
b)
memengaruhi kebijakan pemerintah.
c)
memengaruhi penyelenggaraan
negara dengan cara penculikan atau pembunuhan.
Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakekat perbuatan Terorisme
mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik.
Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku
dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang
diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik,
tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah
serta kepuasan tuntutan politik lain.
2.1.4.
Menurut Organisasi-Organisasi
§
Menurut
US Central Intelligence Agency (CIA), Terorisme Internasional adalah Terorisme yang dilakukan dengan dukungan
pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga
atau pemerintahan asing.
§
Menurut
US Federal Bureau of Investigation (FBI), Terorisme
adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta
untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya
untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik.
§
Menurut
The Arab Convention on the Suppression of Terrorism, terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan apapun motif dan
tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau
kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan
melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan atau
bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun
pribadi atau menguasai dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber
daya nasional.
§
Menurut
Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk
tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau
masyarakat luas.
Berdasarkan definisi-definisi sebelumnya, disimpulkan bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung
ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk
memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik,
agama atau ideologi .
2.2. Ciri-ciri umum terorisme
2.2.1.
Menurut UU No. 15 Tahun 2003,
ciri-ciri terorisme adalah sebagai
berikut :
§ terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang
korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya
kemerdekaan serta kerugian harta benda
§ terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingganeryoajab
abcanab terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
§
Adanya rencana untuk melaksanakan
tindakan tersebut.
§
Dilakukan oleh suatu kelompok
tertentu.
§
Menggunakan kekerasan.
§
Mengambil korban dari masyarakat
sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
§
Dilakukan untuk mencapai
pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial,
politik ataupun agama.
2.2.2. Menurut Terrorism Act 2000, UK.
Terorisme mengandung arti sebagai
penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1)
aksi yang melibatkan kekerasan
serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membahayakan
kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan
risiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari
publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem
elektronik.
2)
penggunaan atau ancaman didesain
untuk memengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian
tertentu publik.
3)
penggunaan atau ancaman dibuat
dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi.
4)
penggunaan atau ancaman yang
masuk dalam subseksi 1) yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan
peledak.
2.2.3.
Menurut
European Convention on the Suppression of Terrorism, 1977.
1.
kejahatan dalam lingkup Konvensi
untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Pesawat Terbang, ditandatangani di
Hague, Desember 1970.
2.
kejahatan dalam lingkup Konvensi
untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil,
ditandatangani di Montreal 23 September 1971.
3.
kejahatan berat yang melibatkan
serangan atas integritas fisik dan kehidupan atau kebebasan orang-orang yang
dilindungi secara internasional, termasuk agen-agen diplomatic.
4.
kejahatan yang melibatkan
penculikan, penyanderaan atau penahanan berat yang tidak sah.
5.
kejahatan yang melibatkan
penggunaan bom, granat, roket, senjata otomatis, atau surat atau paket bom jika
penggunaannya membahayakan orang lain.
6.
usaha untuk melakukan kejahatan
atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseornag yang melakukan atau berusaha
melakukan kejahatan tersebut.
7.
kejahatan serius yang melibatkan
tindakan kekerasan, selain dari yang tercakup dalam artikel 1) sampai 6) jika
tindakan tersebut menimbulkan bahaya kolektif bagi orang lain.
8.
usaha untuk melakukan kejahatan
yang tersebut sebelumnya atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang
melakukan kejahatan tersebut.
2.3. Bentuk-bentuk terorisme
2.3.1. Menurut States of the South Asian
Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on Suppression
of Terrorism
Terorisme meliputi:
1.
Kejahatan dalam lingkup “Konvensi
untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”,
ditandatangani di Hague, 16 Desember 1970.
2.
Kejahatan dalam lingkup “Konvensi
untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”,
ditandatangani di Montreal, 23 September 1970.
3.
Kejahatan dalam lingkup “Konvensi
tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Tindak Pidana Terhadap Orang-Orang yang
secara Internasional Dilindungi, termasuk Agen-Agen Diplomatik”, ditandatangai
di New York, 14 Desember 1973.
4.
Kejahatan dalam lingkup konvensi
apapun dimana negara-negara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan
anggotanya untuk menuntut atau melakukan ekstradisi.
5.
Pembunuhan, pembantaian, serangan
yang mencelakakan badan, penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata
api, senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika digunakan untuk
melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka yang serius atau
kerusakan berat pada harta milik.
2.3.2.
Menurut
Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of
Independent States in Combating Terrorism, 1999.
Terorisme
adalah tindakan illegal yang diancam dengan hukuman dibawah hukum pidana yang
dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, memengaruhi pengambilan
kebijakan oleh penguasa atau menteror penduduk dan mengambil bentuk:
1.
Kekerasan atau ancaman kekerasan
terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum.
2.
Menghancurkan atau mengancam
untuk menghancurkan harta benda dan objek materi lain sehingga membahayakan
kehidupan orang lain.
3.
Menyebabkan kerusakan atas harta
benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat.
4.
Mengancam kehidupan negarawan
atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya
atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut.
5.
Menyerang perwakilan negara asing
atau staf anggota organisasi internasional yang dilindungi secara internasional
begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi
secara internasional.
6.
Tindakan lain yang dikategorikan
sebagai teroris dibawah perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang
diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme.
2.4.
Tujuan Terorisme
§ Menurut Organisation of African Unity (OAU),
1999.
Tindakan
teroris merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana “negara anggota”
dan bisa membahayakan kehidupan, integritas fisik atau kebebasan atau
menyebabkan luka serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau
sekelompok orang, atau menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian bagi harta,
sumber alam atau lingkungan atau warisan budaya seseorang atau publik dan
diperhitungkan atau dimaksudkan untuk:
1) mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menekan, atau memengaruhi
pemerintah, badan, institusi, publik secara umum atau lapisan masyarakat untuk
melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan atau untuk mengadopsi
atau meninggalkan pendirian tertentu atau untuk bertindak menurut
prinsip-prinsip tertentu, atau
2) mengganggu pelayanan publik, pemberian pelayanan esensial kepada publik
atau untuk menciptakan darurat publik, atau
3) menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara.
4) promosi, sponsor, kontribusi, perintah, bantuan, gerakan, dorongan, usaha,
ancaman, konspirasi, pengorganisasian atau perekrutan seseorang dengan niat
untuk melakukan tindakan yang disebutkan pada paragraph 1) sampai 3).
2.5.
Undang-undang Terorisme Di
Indonesia
Menurut Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah
segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang
dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab
III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena
melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1.
Dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang
lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional (Pasal 6).
2.
Dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta
benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau fasilitas internasional (Pasal 7).
2.6.
Pendanaan
Terorisme dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme
Combating Terrorism Financing atau
perang melawan pendanaan terorisme telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh
Amerika Serikat dan Inggris. AS semakin serius dalam usahanya mencegah
pendanaan teroris melalui the USA’s Antiterrorism and Effective Death Penalty
Act (AEDPA) of 1996. Undang-undang ini mampu mengkriminalkan warganegara AS
yang terbukti menyediakan dana atau dukungan material terhadap kelompok yang
oleh Sekretariat Negara AS dianggap sebagai Organisasi Teroris Internasional. Embrio
AEDPA of 1996 berawal dari Money Laundering Control Act 1986 yang merupakan
undang-undang pertama di dunia yang menentukan money laundering sebagai
kejahatan. UU tersebut melarang setiap orang untuk melakukan transaksi keuangan
yang melibatkan hasil yang diperoleh dari specified unlawful activity.
Pentingnya perang
melawan pendanaan teroris ini berdasarkan kenyataan bahwa pendanaan terorisme
mendukung usaha perekrutan dan pemberian motivasi melalui insetif keuangan
serta mampu menjaga kekuatan moral dan motivasi dengan keberhasilan perencanaan
dan pelaksanaan aksi terornya. Teroris juga masih memerlukan infrastruktur
sistem keuangan untuk memobilisasi dan menyalurkan dananya. Tetapi yang membuat
pendanaan terorisme menjadi sangat berbahaya dibandingkan bentuk kriminal
lainnya dikarenakan strategi mereka dalam menggunakan organisasi amal atau
nirlaba sebagai sumber pendanaan dan kemampuannya menginfiltrasi sistem
keuangan negara-negara miskin dan berkembang. Selain itu sumber dana terorisme
yang dapat pula berasal dari sumber yang halal atau legal mempersulit
penelusuran dan pembuktian aliran dana terorisme dibandingkan dengan money
laundering yang sumber dananya hanya dari hasil tindak pidana. Pemalsuan
identitas dengan semakin menjamurnya e-business dan kemudahan transaksi
keuangan via internet di era globalisasi semakin memperumit aliran dana
teroris.
Dari masa ke
masa proses aliran pendanaan terorisme menunjukkan karakteristik yang berbeda.
Pada tahun 1970-an, sumber terpenting dari pendanaan terorisme justru
berasal dari badan intelijen sebuah negara. Teroris digunakan oleh badan
intelijen tersebut sebagai sebuah senjata militer unkonvensional untuk
menghadapi musuh dalam mencapai tujuan stratejik mereka. Misalnya beberapa
organisasi dari Palestina yang dianggap sebagai teroris oleh beberapa pihak
diindikasikan mendapat bantuan dana yang sebagian besar berasal dari badan
intelijen negara-negara di Asia Barat dan Afrika Utara. Beberapa organisasi
Palestina yang dianggap sebagai teroris ini memutar dana yang mereka peroleh
dari beberapa badan intelijen dan negara-negara yang bersimpati dengan
mendirikan perusahaan bisnis. Laba yang mereka dapatkan dari perusahaan bisnis
ini digunakan mereka sebagai tambahan sumber pendapatan bagi pendanaan aksi
terorisme.
Pada tahun 1980an dan 1990an, badan
amal kemanusiaan atau badan keagamaan mulai menjadi sumber penting pengumpulan
dana untuk kepentingan aksi terorisme. Hal ini terjadi setelah pada masa
tersebut terorisme yang termotivasi secara relijius menggantikan peran terorisme
yang berlatar belakang ideologi dan etnik sebagai sumber kekerasan yang paling
serius. Terorisme menggunakan badan amal dalam dua bentuk, pertama memang
didirikan organisasi teroris sebagai organisasi terdepan untuk pendanaan
terorisme dan kedua didirikan oleh pihak lain untuk kepentingan amal tetapi
kemudian hasilnya dimanipulasi dan digunakan sendiri oleh organisasi teroris.
Masih pada tahun 1980an, narkotika terutama heroin menjadi sumber utama
pendanaan terorisme selama perang di Afghanistan dan memiliki peran yang lebih
besar dibanding aliran dana dari badan intelijen.
Sedangkan pada
tahun 2001-an, pemerintah Inggris mengeluarkan tipologi pendanaan terorisme
yang terdiri dari donasi dan kriminalitas. Donasi
dan kriminalitas bisa diibaratkan sebagai sumber halal dan sumber tidak halal.
Dalam hal donasi, terdapat bukti kuat bahwa donasi dalam jumlah besar telah
diberikan oleh seseorang kaya raya di Timur Tengah kepada sebuah organisasi
amal yang mempunyai hubungan dengan organisasi teroris. Pemberian donasi ini diibaratkan sebagai pembayaran untuk
mencari perlindungan ala Mafia. Sedangkan kriminalitas
dianggap sebagai sumber pendanaan yang lebih konsisten dengan beberapa jenis
kegiatannya. Kegiatan kriminalitas yang menjadi sumber utama bagi pendanaan
terorisme meliputi pemerasan, penyelundupan, kegiatan amal terselubung (yang
mulai marak digunakan sejak tahun 1980an), pencurian dan perampokan serta
jaringan narkoba.
Lalu lintas
perdagangan narkoba atau lebih dikenal dengan istilah drug trafficking menjadi
salah satu faktor (selain kejahatan bidang keuangan atau financial fraud)
dibentuknya Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) oleh
negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-7 pada tahun 1989. FATF
sebagai sebuah lembaga internasional khusus didirikan untuk memerangi pencucian
uang yang oleh Billy Steel disebut sebagai ”the world’s third largest industry
by value”. Standar kegiatan untuk memerangi money laundering diatur dalam 40
rekomendasi yang dikenal dengan istilah FATF 40. Sebagai reaksi langsung atas
peristiwa terorisme,
FATF mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi khusus untuk pendanaan terorisme dan
melakukan revisi terhadap FATF 40 karena terdapat sedikit perbedaan antara
karakteristik sumber keuangan teroris dengan kriminal lainnya. Tujuannya adalah
untuk menghalangi akses bagi teroris dan pendukungnya untuk masuk ke dalam
sistem keuangan internasional. Revisi terhadap FATF 40 dan penambahan
rekomendasi khusus terhadap pendanaan terorisme (terakhir berjumlah 9
rekomendasi) kemudian dikenal dengan istilah FATF 40+9. Kepatuhan terhadap FATF
40+9 menjadi dasar bagi FATF untuk mengeluarkan daftar Non Cooperative
Countries/Territories (NCCT), sebuah daftar hitam negeri/wilayah yang menjadi
surga pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Salah satu poin penting dalam 9
Rekomendasi Khusus FATF adalah meminta semua negara untuk sesegera mungkin
meratifikasi hasil the United Nations Convention on Suppression of Terrorist
Financing 1999 (STF 1999) dan melaksanakan the United Nations Security Council
Resolution 1373 (2001) atau UNSCR 1373. Semua negara terikat dengan persyaratan
dan ketentuan dalam konvensi yang telah ditandatangani dan diratifikasinya.
Artinya setiap negara diharuskan segera mengambil langkah-langkah legislatif
dan eksekutif untuk mensahkan konvesi dan mengadopsi kebijakan serta mengambil
tindakan untuk memastikan pelaksanaan yang efektif atas STF 1999 berdasarkan
sistem hukum nasional masing-masing negara.
Baik STF 1999, FATF
40+9 maupun UNSCR 1373 menghendaki adanya sebuah kerjasama multilateral atau
tindakan bersama banyak negara dalam memerangi pendanaan terorisme. Di
Indonesia, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sebagai unit
intelijen keuangan di Indonesia bekerjasama dengan negara-negara lain untuk
memerangi pendanaan terorisme. Kerjasama pertukaran intelijen keuangan
diharapkan mampu mencegah dan mendeteksi tidak hanya pendanaan terorisme tetapi
juga kejahatan keuangan, pencucian uang dan kejahatan serius lainnya. Kerjasama
pertukaran intelijen ini berdasarkan atas standar “the international best
practice” yang dikembangkan oleh the Egmont Group of Financial Intelligence
Units. Sejak tahun 2003 AUSTRAC menyediakan bantuan proyek pengembangan
kapasitas kepada PPATK sebagai bagian dari paket dana bantuan sebesar 10 juta
Dollar Amerika yang dipicu oleh peristiwa Bom Bali 2002.
Kewajiban dan
rekomendasi dalam rangka perang melawan pendanaan teroris sebagian besar telah
diakomodasi dalam perundang-undangan nasional yaitu UU Nomer 15/2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU Nomer 25/2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang dan UU Nomer 1/2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah
Pidana. Indonesia pernah masuk dalam daftar NCCT (2nd report) yang dibuat FATF
karena saat itu Indonesia dinilai tidak memiliki perundang-undangan yang
memenuhi standar internasional dan FATF masih tidak puas dengan hasil kerja
Indonesia. Kondisi ini menghasilkan UU Nomer 25/2003 sebagai perubahan atas UU
Nomer 15/2002 yang menghasilkan lembaga PPATK serta aktif melakukan kerjasama
dengan lembaga sejenis PPATK di luar negeri seperti AUSTRAC-nya Australia. Saat
ini Indonesia tidak masuk dalam daftar NCCT terakhir. PPATK sendiri berdasarkan
data per 31 Mei 2007 telah menerima 39 STR (suspicious transaction report) yang
terkait dengan kegiatan terorisme dari PJK (penyedia jasa keuangan).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung
ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk
memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik,
agama atau ideologi. Terorisme memiliki ciri, bentuk dan tujuan-tujuan yang
sangat bertentangan dengan kemanusiaan, mengandung unsur kekerasan dan bertujuan
untuk harta benda atau masyarakat/golongan tertentu.
Terorisme dapat bertahan dan bahkan semakin berkembang karena adanya
pendanaan terorisme. Pendanaan teroris sebagian bahkan dari
organisasi-organisasi resmi atau badan-badan pemerintahan yang sah. Oleh
karena, menjadi tugas negara-negara yang menolak terorisme untuk mencegah dan
mencegah pendanaan terorisme di dunia. Banyak negara yang mendirikan lembaga
khusus untuk memerangi kejahatan, termasuk terorisme. Di indonesia, PPATK
menjadi salah satu lembaga yang bisa mencegah pendanaan terorisme.
Komentar