HAK TANGGUNGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk mati pun manusia masih memerlukan sebidang tanah.
Jumlah luasnya tanah yang dapat dikuasai oleh  manusia terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah. Selain bertambah banyaknya jumlah manusia yang memerlukan tanah untuk tempat perumahan, juga untuk perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan, dan jalan-jalan untuk perhubungan.
. Oleh karena itu, semakin lama seolah-olah tanah menjadi sempit, menjadi sedikit, sedangkan permintaan selalu bertambah, maka tidak heran kalau nilai tanah jadi meningkat tinggi. Meningkatnya nilai tambah tersebut, kemudian mendorong manusia untuk menggunakan tanahnya untuk keperluan lain. Keperluan lain itu misalnya, tanah dijadikan oleh sebagian orang sebagai jaminan untuk pelunasan utang tertentu.
Tanah yang dijadikan sebagai jamimana untuk pelunasan utang adalah tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan. Apa itu Hak Tanggungan? Hak Tanggungan pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penggunaan Hak Tanggungan, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga dipergunakan untuk pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Pengertian Hak Tanggungan di atas kemudian, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru, mengenai siapa saja subjek dari Hak Tanggungan, Apa saja objek Hak Tanggungan, apa ciri dan sifat Hak Tanggungan, bagaimana tata cara pemberian hak tanggungan, dan Bagaimana berakhirnya/hapusnya Hak Tanggungan. Semua pertanyaan tersebut akan dijelaskan secara ringkas di dalam makalah ini.
                                                                                                                  
BAB II
PERMASALAHAN
Di dalam makalah ini, kami membahas tentang Hak Tanggungan secara umum. Tetapi, pembahasan tentang Hak Tanggungan kami batasi untuk beberapa poin saja yang akan dijadikan poin-poin utama yang ada di dalam Hak Tanggungan.  Beberapa poin itu kami rumuskan sebagai berikut:
2.1. Apa itu Hak Tanggungan
2.2. Siapa saja Subjek dan apa saja objek dari Hak Tanggungan
2.3. Bagaimana Sifat, Ciri, serta Asas Hak Tanggungan
2.4. Bagaimana Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan
2.5. Bagaimana Berakhirnya Hak Tanggungan














BAB III
PEMBAHASAN
Suatu hak kebendaan (zakelijk recht) ialah suatu hak yang memberikan  kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan teradap tiap orang. Ilmu hukum dan perundang-undangan, telah lama membagi segala hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan. Suatu hak kebendaan, memberikan kekuasaan atas suatu benda, sedangkan suatu hak perseorangan (persoonlijkrecht) memberikan suatu tuntutan atau penagihan  terhadap seseorang. Suatu hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu, sedangkan suatu hak perseorangan hanyalah dapat dipertahakan  terhadap sementara orang tertentu saja atau terhadap sesuatu pihak. 
Pembagian hak-hak tersebut berasal dari hukum romawi. Orang Rum telah lama membagi hak penuntutan dalam dua macam, ialah “actiones in rem” atau penuntutan kebendaan dan “actiones in personam” atau penuntutan perseorangan. Kemudian mereka melihat di belakang pembagian hak penuntutan itu, suatu pembagian dari segala hak manusia. Dan pembagian ini, hingga sekarang masih lazim dipakai dalam sistem hukum Barat.[1]
Dalam kaitannya dengan Hak Tanggungan, pembagian hak-hak di atas juga berlaku. Hak Tanggungan adalah suatu hak kebendaan yang memberikan kekuasaan atas suatu benda. Oleh karena itu, sebelum lebih jauh menjelaskan itu kami perlu terlebih dahulu menjelaskan pengertian Hak Tanggungan, kemudian pokok-pokok lain yang berkaitan dengan Hak Tanggungan tersebut.
3.1.Pengertian Hak Tanggungan
Pasal 25, 33, dan 39 UUPA menyatakan bahwa Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.  Apa yang dimaksud dengan “Hak Tanggungan”, tidak dijumpai  dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hanya dalam pasal 51 dikatakan bahwa “Hak Tanggungan” itu diatur dalam undang-undang.
Dari penjelasan pasal 25 UUPA, hanya dikatakan bahwa hak milik yang dibebani Hak Tanggungan tetap di tangan pemiliknya. Selanjutnya, pasal 57 UUPA menyatakan bahwa selama undang-undang mengenai Hak Tanggungan tersebut di pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan hipotik tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Dalam makalah ini kami mendefinisikan Hak Tanggungan berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 4 tahun 1996, bahwa:
" Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain."
            Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hak tanggungan:
a.       Merupakan hak jaminan untuk pelunasan hutang (kredit);
b.      Dapat dibebankan pada hak atas tanah, dengan atau tanpa benda di atasnya;
3.2. Subjek Hak Tanggungan
Dalam pasal 9 U.U.H.T. disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan adalah orang-perseorangan dan/atau badan hukum yang berkedudukan sebagai kreditor. [2]
Subjek Hak Tanggungan adalah mereka yang memegang Hak Tanggungan. Kemudian siapa yang bisa dikatakan sebagai pemengang Hak Tanggungan ialah Pemberi Hak Tanggungan dan Pemegang Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan ialah orang atau badan hukum yang mempuyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Sedangkan yang pemegang Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Selanjutnya yang dimaksud dengan subjek Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 UUHT, baik pemberi maupun pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum. Pemberi Hak Tanggungan tersebut di syaratkan harus mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid) terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan; sedangkan pemegang Hak Tanggungan berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (kreditur).
3.2.1.  Syarat-syarat sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:
a.       Pemegang Hak Tanggungan:
·         Warga Negara Indonesia
·         Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di Indonesia maupun yang berdomisili di mancanegara.
·         Badan Hukum Indonesia
·         Badan Hukum Asing, baik yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia maupun yang berkantor pusat di mancanegara.
Jika yang bersangkutan tinggal di luar Indonesia, maka ia harus mencantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Jika ia tidak mencantumkannya, maka Kantor Pejabat Akta Pembuat Tanah tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan harus dianggap sebagai domisili yang di pilih.
b.      Pemberi Hak Tanggungan:
·         Warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan tunggal sebagai pemegang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
·         Badan Hukum Indonesia sebagai pemegang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
·         Warga Negara Asing yang berdomisili dan menjadi penduduk Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah Negara.
·         Badan hukum Asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah Negara.

3.2.2. Proses Pembebanan Hak Tanggungan
1.      Tahapan dan Tata Cara Pembebanan Hak Tanggungan
Dalam Penjelasan Umum angka 7 disebutkan bahwa proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap, yaitu:
a)      Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang didahukui dengan perjanjian hutang-piutang yang dijamin.
b)      Tahap pendaftaran oleh Kantor Pertahanan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Mengenai bagaimana tata cara pemberian Hak Tanggungan, menurut Pasal 10 ayat (1) UUHT, pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut. Kemudian pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akte Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tahah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 2).
Bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang “Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan”. Selanjutnya Pasal 96 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang “Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah” menentukan bahwa pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai bentuk yang ditetapkan oleh peraturan tersebut. Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan dan dua orang saksi.
3.2.3.      Syarat-syarat Sahnya Pemberian Hak Tanggungan
a.       Asas Spesialitas[3]
                 Salah satu syarat sahnya pemberian Hak Tanggungan adalah wajib mencantumkan hal-hal yang disebut dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT seperti telah disinggung sebelumnya agar asas spesialitas terpenuhi, yaitu:
a)      Nama, dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
b)      Domisili para pihak, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, maka harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan tersebut tidak di cantumkan, maka kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai yang dipilih.
c)      Penunjukkan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1).
d)     Nilai tanggungan
e)      Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
b.      Asas Publisitas[4]
Disamping asas spesialitas, juga wajib memenuhi syarat asas publisitas yang menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUHT, pemberian Hak Tanggungan wajib di daftarkn pada Kantor Pertanahan.kemudian selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan (Pasal 13 (2)).
Selanjutnya pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UUHT dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan cara (ayat 3):
a)        Membuatkan buku tanah Hak Tanggungan.
b)        Mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan.
c)        Menyalin catatan tersebut pada sertifikat ha katas tanah yang bersangkutan.
Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut adalahtanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika di hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal harikerja berikutnya. Pendaftaran pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya sertifikat Hak Tanggungan tersebut mempunyai kekuatan ekskutorial yang sama dengan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap memperoleh keekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti “grosse acte” Hypotheek sepanjang mengenai ha katas tanah (Pasal 14 UUHT).
Pada dasarnya, pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan dihadapan Notaris atau PPAT. Jika pemberi Hak Tanggungan berhalangan atau tidak dapat hadir sendiri, maka ia dapat mempergunakan jasa seorang kuasa. Untuk keperluan tersebut agar sifatnya otentik, dibuatkanlah sebuah “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan” (SKMHT) dihadapan Notaris atau PPAT.
3.3.Objek Hak Tanggungan
Sebelum menguraikan objek Hak Tanggungan akan dijelaskan terlebih dahulu kriteria atau syarat-syarat agar objek dapat dibebani hak jaminan atas tanah (Hak Tanggungan).
Sesuai dengan Penjelasan Umum angka 5 dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) serta penjelasan dari Boedi Harsono, maka objek tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:[5]
a.       Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa uang.
b.      Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.
c.       Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.
d.      Memerlukan penunjukan oleh undang-undang.
Dengan adanya persyaratan tersebut, maka objek Hak Tanggungan sebagaimana tersebut dalam Pasal 4 jo. Pasal 21 UUHT dan Penjelasan Umum angka 5 adalah hak atas tanah dengan status sebagai berikut:
a.    Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1)a, b, c sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA  (Pasal 4 ayat (1) UUHT jo. Pasal 51 UUPA), yaitu:
·         Hak Milik (Pasal 25)
·         Hak Guna Usaha (Pasal 33)
·         Hak Guna Bangunan (Pasal 39)
b.    Yang ditunjuk oleh UURS (lihat Pasal 27 UUHT jo. Pasal 12 dan 13 UURS).
·         Rumah susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1)a UURS jo. Pasal 27 UUHT berikut Penjelasannya).
·         Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri diatas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 13a UURS jo. Pasal 27 UUHT berikut Penjelasannya).
c.    Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2) UUHT).
Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Hak Pakai yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Pakai yang diberikan kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum selama jangka waktu tertentu misalnya untuk keperluan pribadi atau usaha.
Jadi bukan Hak Pakai yang diberikan kepada instansi pemerintah apakah pusat ataupun daerah, badan-badan Keagamaan dan Sosial, serta Perwakilan Negara Asing yang meskipun mempunyai nilai ekonomi, termasuk hak yang didaftar dan telah memiliki sertifikat ha katas tanah, akan tetapi menurut sifatnya tidak dapat dipindahtangankan sebab jangka waktu berlakunya tidak ditentukan dan diberikan selama tanahnya diperlukan untuk keperluan tertentu.
Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, karena tidak memenuhi syarat wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan Penjelasannya, Hak Pakai atas tanah Hak Milik baru dapat dibebani Hak Tanggungan apabila sudah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Untuk menampung perkembangan diwaktu yang akan datang, dibuka kemungkinan dikemudian hari Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat juga dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan jika telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Lebih jauh menurut ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan Penjelasannya, Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka nada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Namun apabila bangunanm tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud di atas tidak dimiliki oleh pemegang ha katas tanah, pembebanan Hak Tanggunganatas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada APHT yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.
Konsekuensi dari kepemilikan yang lain antara bangunan dan sebagainya dan tanah sebagai suatu kesatuan, maka pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan dan sebagainya itu wajib dilakukan bersamaan degan pemberian Hak Tanggungan atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan di dalam satu APHT, yang ditandatangani bersama oleh pemiliknya dan pemegang ha katas tanahnya atau kuasa mereka, kedua sebagai pihak pemberi Hak Tanggungan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa jika semula hanya ada 3 (tiga) jenis hak atas tanah yang ditetapkan sebagai objek Hak Tanggungan yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, maka dengan di tunjuknya Hak Pakai atas Tanah Negara, kini ada 4 (empat) jenis ha katas tanah yang ditetapkan sebagai objek Hak Tanggungan.
Sedangkan untuk bangunan adalah, Rumah Susun yang berdiri diatas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah Negara serta Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri diatas tanah Hak Milik, hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara. Dengan demikian, ada 6 (enam) jenis macam objek yang dapat dijadikan jaminan Hak Tanggungan.
Secara ringkas objek dari Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:
ü  Hak - hak atas tanah yaitu Hak Milik (HM),
ü  Hak Guna Bangunan (HGB),
ü  Hak Guna Usaha (HGU),
ü  Hak Pakai (HP) dan
ü  Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS).
Objek-objek Hak Tanggungan tersebut di atas akan diuraikan lagi di bawah ini:
a)      Hak Milik Atas Tanah
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat bahwa hak itu mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial yang dimaksud agar hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum tidak boleh dipergunakan secara semata-mata untuk kepentingan pribadi dengan sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun dengan menelantarkan tanah tersebut sehingga tidak ada manfaatnya, yang kedua hal itu dapat merugikan masyarakat.[6]
 Kata-kata “turun-temurun, terkuat dan terpenuh”, kiranya memang sangat dirasakan oleh setiap orang indonesia yang mempunyai atau memandang hak milik itu. Istilah “turun temurun” maksudnya adalah bahwa hak milik itu dapat terus-menerus diturunkan kepada ahli waris setiap pemegangnya. Sedangkan istilah “terkuat dan terpenuh”, bermaksud untuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan lainnya yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang Hak Miliklah yang “ter” (artinya: paling), jadi paling kuat dan paling penuh. [7]
Akan tetapi walaupun telah diberikan kedudukan tingkat “paling”, terhadap suatu hak milik dinyatakan pula bahwa pemberian sifat itu tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang “mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat” sebagaimana Hak Eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu itu. Karena sifat demikian itu akan bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.
 Selain itu perlu diutarakan bahwa “terkuat dan terpenuh” itu adalah terbatas dalam penggunaan tanahnya saja, sedangkan untuk mengambil kekayaan alam yang terdapat di dalamnya masih diperlukan hak orang lain yakni hak pertambangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Pertamabangan.
Hak Atas Tanah Menurut U.U.P.A
Pada asasnya yang menjadi obek Hak Tanggungan sesuai dengan objek pengaturan U.U.P.A berdasarkan Pasal 1 sub 2, Pasal 2 sub 1 dan Pasal 5, adalah tanah atau hak atas tanah. Kita juga tahu, tidak semua hak atas tanah bisa menjadi objek Hak Tanggungan menurut U.U.P.A. Menurut ketentuan tentang hak atas tanah yang sekarang berlaku, yang dimaksud di atas adalah hak-hak atas tanah menurut U.U.P.A Hak Milik Atas Tanah Adat, sekali memakai nama yang sama, sebelum hak itu dikonversi menjadi hak atas tanah menurut U.U.P.A tidak bisa dijadikan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan penjaminan itu, sekaligus di proses konversinya dan didaftarkan (Pasal 10 ayat 3 U.U.H.T).
            Hak guna bangunan meliputi juga hak guna bangunan atas tanah neara, diatas tanah hak pengelolaan dan hak milik. Adanya hak guna bangunan atas tanah negara dan hak milik sudah disebutkan dalam Pasal 37 U.U.P.A., sedang yang atas hak pengelolaan telah diatur dalam PMDN 5/1974.
Hak Tanggungan dan syarat "dapat dipindah - tangankan"
Agar hak atas tanah dijadikan jaminan Hak Tanggungan harus memenuhi syarat "dapat dipindah-tangankan". Syarat ini bukan merupakan syarat yang berdiri sendiri tetapi harus dilihat dalam kaitannya dengan kata - kata sebelumnya dan dengan Pasal 4 ayat 1 U.U.H.T yang membatasi objek Hak Tanggungan sampai hak - hak atas tanah yang disebutkan disana. Bahwa hak atas tanah itu bisa dioperkan, mempunyai nilai uang, belum cukup menjadikannya objek Hak Tanggungan yang sah. 
Syarat "barang - barang yang dapat dipindahtangankan" untuk pembebanan Hak Tanggungan, seperti tersebut di atas, memang syarat yang logis karena sekalipun pemberian jaminan tidak dimaksudkan untuk dimiki oleh (dipindahtangankan hak miliknya) kepada kreditur, tetapi sesuai dengan sifat daripada lembaga jaminan, dalam hal debitur wanprestasi, kreditur punya kewenangan untuk mengeksekusinya, yang tidak lain merupakan suatu penjualan di depan umum, kecuali dalam hal - hal tertentu, di bawah tangan, sehingga bagaimanapun pembebanan bisa merupakan permulaan tindakan peralihan hak atas tanah jaminan. Untuk hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, penegasan bahwa hak - hak seperti itu dapat dipindahtangankan sudah di berikan dalam Pasal 20 ayat 2, Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 35 ayat 3 U.U.P.A. 
b)     Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai  langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun, yang bila diperlukan masih dapat diperpanjang lagi dengan 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan, luasnya paling sedikit 5 hektar.[8]
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, yang bila diperlukan dapat diperjang lagi 20 tahun.[9]
c)      Hak Pakai
Hak pakai  adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. [10]
Hak Tanggungan Atas Hak Pakai
Dalam Pasal 4 ayat 2 diberikan suatu ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan. Ini merupakan suatu ketentuan yang baru, karena selama ini belum ada ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan objek hipotik. Dalam Undang – Undang atas rumah susun, hak pakai memang bisa dijaminkan untuk menjamin suatu hutang, tetapi melalui lembaga fiducia.
Di atas dikatakan, bahwa pada asasnya hak pakai bisa dijadikan jaminan dengan memakai lembaga Hak Tanggungan, tetapi untuk sementara ini baru hak pakai tertentu saja, karena berdasarkan Pasal 4 ayat 2 tersebut diatas, hak pakai yang bisa menjadi objek Hak Tanggungan harus hak pakai atas tanah negara dan menurut ketentuan yang berlaku harus didaftarkan. Ada beberapa jenis hak pakai dalam Pasal 41 disebut tentang hak pakai atas tanah negara dan hak pakai atas tanah milik orang lain. Dengan demikian ketentuan Pasal 4 ayat 2 U.U.H.T tidak berlaku bagi tanah hak pakai milik orang lain, yang bukan tanah negara. Dalam Pasal 4 ayat 3 disebutkan, bahwa untuk pembebanan hak pakai atas tanah hak milik akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
d. Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda Lain di Atas Tanah[11]
Sekalipun pada asasnya yang menjadi objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah yang terdaftar dan dapat dipindahtangankan (sesuai Pasal 4 ayat 1 dan 2 U.U.H.T tersebut di atas), tetapi di samping itu, sesuai dengan Pasal 4 ayat 3, juga dimungkinkan, bahwa orang menjaminkan juga bangunan, tanamaan dan hasil karya, yang ada atau akan ada, yang bersatu atau nantinya akan bersatu dengan tanah yang bersangkutan:
1.    Bersama-sama dengan Tanahnya
Pembebanan atas bangunan, tanaman dan hasil karya (yang telah ada dan akan ada dan bersatu dengan tanah yang dijaminkan) harus dilakukan sekaligus, jadi bersama-sama dengan pembebanan hak atas tanahnya. Hal itu, berarti, bahwa menjaminkan bangunan, tanaman dan hasil karya dengan Hak Tanggungan secara terpisah dari tanahnya tidak bisa. Bahkan pembebanannya harus dilakukan dalam akta yang sama dengan pembebanan tanahnya. Ini kita simpulkan dari kata-kata Paal 4 ayat 3 tersebut diatas, yang mengharuskan “dinyatakan di dalam akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan”. Namun ini tidak berarti, bahwa benda-benda yang bersatu dengan tanah yang di jaminkan, tidak bisa dijaminkan melalui lembaga jaminan yang lain. Disamping itu juga tidak berarti, bahwa menjaminkan tanahnya saja tidak bisa, karena pada asasnya, yang pokok, yang diatur dalam U.U.H.T justru adalah penjaminan hak atas tanah dengan Hak Tanggungan.
Sudah bisa diduga bahwa dengan dianutnya prinsip pemisahan horisontal dan adanya peluang bagi pemilik benda – benda seperti tersebut di atas tanah yang dijaminkan untuk menjaminkannya melalui lembaga jaminan lain, misalnya Fiducia, akan menimbulkan kesulitan dalam eksekusinya.
Pada asasnya orang sudah bisa menjaminkan atau sebenarnya lebih tepat menjanjikan jaminan, barang yang pada saat pemberian Hak Tanggungan belum ada atau belum dipunyai oleh pemberi jaminan, asal tanah, dengan mana bangunan, tanaman dan hasil karya itu akan bersatu sebagai satu kesatuan, sudah ada dan udah dijaminkan. Jadi pada saat jaminan diberikan tanahnya sudah ada, tetapi benda – benda yang bersatu dengan tanah itu, yang dijanjikan untuk turut dijaminkan, bisa sudaah ada atau baru akan ada di kemudian hari.
2.    Merupakan Satu Kesatuan dengan Tanahnya
Syarat lain, dalam Pasal 4 ayat 4 U.U.H.T yang harus dipenuhi adalah bahwa bangunan, tanaman dan hasil karya itu merupakan satu kesatuan dengan tanah, dan tanah mana dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Di sini tidak dipakai istilah benda-benda yang berada di atas tanah yang bersangkutan (yang dijaminkan) karena U.U.H.T memberikan penafsiran yang luas atas kata-kata “merupakan keatuan dengan tanah” yang bersangkutan, sehingga meliputi tidak hanya benda-benda seperti tersebut di atas yang berada di atas tanah, tetapi juga yang berada di bawah permukaan tanah , asal masih merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersanggkutan. Pada asasnya hak tanggunan mengatur pembebanan atas (hak atas) tanah saja, dan elama ini oran menafsirkan tana adalah permukaan bumi.
Berdasarkan ketentuan U.U.P.A orang hanya mempunyai hak atas permukaan tanah saja. Kata “tanah”, yang dalam U.U.P.A sengaja di bedakan dengan istilah bumi, memang dimaksudkan untuk membedakan segi “permukaan” dan “permukaan dan bawah tanah”, dan yang dibawah bumi meliputi “kekayaan” yang terkandung dalam tanah yan bersangkutan dan karenanya , kalau kehendak menunjuk permukaan tanah dan tubuh bahwa tanah beserta dengan kekayaan yang terkandung di dalamnya digunakan istilah “Bumi”. Bahwa yang yang demikian bisa turut dijaminkan adalah lois dan dapat diterima, karena mempunyai nilai ekonomis dan merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan yang telah diikatkan sebagai jaminan.
3.    Pembebanan dalam Satu APHT
Benda-benda yang bersatu dengan tanah yang diaminkan, bisa dimiliki oleh pemilik tanah yang bersangkutan ataupun orang lain. Jadi pemilik tanah denan pemilik banguan (dan/atau tanaman dan/atau hasil karya) bia sama, bisa berlainan.
Kalau pemilik tanah adalah debitur atau pihak ketiga pemberi Hak Tanggungan maka benda-benda yang bersatu dengan tanah itu bisa milik debitur sendii atau milik pihak ketiga pemberi Hak Tanggungan sendiri atau milik orang lain. Tidak cukup bahwa pemilik benda-benda yang bersatu dengan tanah menyetujui pembebanan Hak Tanggungan atas tanah, dengan mana benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan.
Yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa penandatananannya sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 4 ayat 5 9harus dilakukan di dalam akta pemberian Hak Tanggungan atas tanah yang bersangkutan. Disusulkan kemudian atau dituangkan dalam akta lain, tidak diperkenankan, karena didaftarkan dan dengan demikian aka berlaku juga terhadap pihak ketiga.
4.      Pembebanan Bersama-sama dengan Tanah- nya
Pasal 4 ayat 5 U.U.H.T memberikan kesan, bahwa kalau pemilik benda-benda yang bersatu dengan tanah yang bukan pemilik daripada tanah dengan mana benda-benda itu bersatu (hendak menjaminkan dengan Hak Tanggungan), maka pemilik tanah harus turut menandatangani APHT-nya.
Hak Tanggungan terpisah dengan tanahnya asal pemilik tanah turut menandatangani APHT-nya. Namun kalau kita baca Pasalnya sendiri, apalagi dihubungkan dengan ayat ke 3-nya, kita harus menyimpulkan bahwa pembebanan Hak Tanggungan baru bisa meliputi benda-benda yang bersatu dengan tanah yang berangkutan kalau tanahnya itu sendiri juga dijaminkan. Bukankah Pasal 4 ayat 4 U.U.H.T berkata tentang: “ Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut ...”. jadi yang pokok adalah pembebanan hak atas tanahnya, sekali lagi hal ini tidak berarti bahwa benda-benda yang bersatu dengan tanah tidak bisa dijaminkan secara terpisah dari tanah nya asalmelalui lembaga jaminan yang lain. Sepanjang mengenai tanah nya memang sekarang hanya tersedia satu lembaga jaminan saja, yaitu Hak Tanggungan tetapi untuk benda-benda yang bersatu denan tanah bisa saja dijaminkan dengan memakai lembaga jaminan lain, seperti Fiducia.
Penafsiran itu tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebab besar sekali kemungkinan bahwa kepentingan si pemilik tanah berlainan sekali dengan kepentingan pemilik benda – benda yang bersatu dengan tanahnya, termasuk kepentingannya untuk mengambil kredit dan menjaminkan. Pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 5 tersebut diatas, bisa menimbulkan banyak kesulitan seperti sudah dikemukakan di depan.
3.4. Ciri, Sifat dan Asas Hak Tanggungan[12]
3.4.1.  Ciri-ciri Hak Tanggungan
Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan dengan berbagai hak lainnya ialah:
ü  Mempunyai hubungan langsung dengan/atas bendanya tertentu yang dalam hubungan dengan hak jaminan, benda itu adalah milik pemberi Hak Tanggungan;
ü  Dapat dipertahankan maupun ditujukan kepada siapa saja (semua orang);
ü  Yang lebih tua mempunyai kedudukan lebih tinggi;
ü  Dapat dipindahtangankan/dialihkan kepada orang lain
ü  Membuat kedudukan seorang kreditor menjadi diutamakan dibandingkan kreditornya (“droit de preference”);
Dalam Penjelasan Umum angka 3 UUHT dijelaskan ciri-ciri Hak Tanggungan sebagai berikut:
1.         Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya (dalam Hukum Perdata Barat disebut droit de preference). Hal ini sesuai dengan maksud dari Pasal 1 angka 1 UUHT.
2.         Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun objek itu berada (dikenal sebagai droit de suite). Hal ini sesuai denga ketentuan Pasal 7 UUHT.
3.         Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 UUHT).
4.         Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Sebagaimana diketahui dalam eksekusi putusan dikenal 4 (empat) macam eksekusi, yaitu:[13] Pertama, eksekusi putusan yang diatur dalam Pasal 196 HIR merupakan eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Kedua, eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR, adalah eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Untuk memenuhi prestasi melakukan suatu perbuatan sudah tentu seseorang tidak dapat dipaksakan, oleh karena itu pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang. Ketiga, eksekusi riil yang tidak diatur dalam HIR tetapi dalam Pasal 1033 RV yang merupakan pelaksanaan putusan yang berupa pengosongan benda tidak bergerak. Eksekusi ril ini merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung. Jadi eksekusi ril ini adalah pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan secara suka rela oleh pihak yang bersangkutan. Keempat, eksekusi paraat (parate executie) dikenal juga sebagai eigenmachtige verkoop. Hak ini terjadi apabila seorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial (Pasal 1155, 1178 ayat (2) KUHPerdata) artinya, merupakan pelaksanaan perjanjian tanpa melalui gugatan atau tanpa melalui pengadilan.
Dari ke semua ciri tersebut, yang paling penting adalah hak itu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu berada dan yang lebih tua mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
Hak Tanggungan sebagai Droit De Suite, diatur dalam ketentuan pasal 7 U.U.H.T., yang dengan jelas menyatakan, bahwa: Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Sedangkan maksud dari yang lebih tua adalah yang lahir lebih dahulu.
3.4.2.      Sifat Hak Tanggungan
Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dipungkiri yakni:
1.      Pertama, Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Sebagaimana dalam Hipotik, maka Hak Tanggungan tidak dapat di bagi-bagi, namun beda dengan Hipotik, dalam Hak Tanggungan ada kekecualian yaitu jika diperjanjikan dalam Akte Pemberian Hak Tanggungan (APHT) bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran (roya partial), Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUHT jo. Pasal 1163 ayat (1) KUHPerdata). Jadi, pelunasan sebagian hutang yang dijamin, tidak membebaskan sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, artinya Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objeknya untuk sisa hutang yang belum dilunasi.
2.      Kedua, Perjanjian Tambahan atau Ikutan (accessoir)
Hak Tanggungan hanya merupakan ikutan (“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.
Accessoir berarti merupakan perjanjian tambahan atau pelengkap dari perjanjian pokok; yaitu adanya Hak Tanggungan tergantung pada adanya perjanjian hutang-piutang antara debitur dengan kreditur yang dijadikan jaminan pelunasan.
Dalam hal ini keberadaan Hak Tanggungan diteentukan melalui pemenuhan tata cara pembebannya yang terdiri dari 2 (dua) tahap, yaitu:
a.       Tahap pemberian Hak Tanggungan dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang didahului dengan perjanjian pokoknta berupa perjanjian hutang-piutang.
b.      Tahap pendaftaran Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan yang menandakan saat lahirnya Hak Tanggungan.
Dengan hapusnya perjanjian pokok, maka hapus pula Hak Tanggungannya (Pasal 18 ayat (1) a dan (1) b UUHT; namun jika Hak Tanggungannya hapus, maka tidak meenyebabkan perjanjian pokoknya (hutang-piutang) menjadi hapus.
3.      Pembebanan objek Hak Tanggungan lebih dari satu kali
Satu objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Jadi ada pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua dan seterusnya.
4.      Parate Executie/Eigenmachtige Verkoop
Sebagai perwujudan dari kedudukan kreditur yang preferent, menurut ketentuan Pasal 6 UUHT apabila debitur cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate executie) melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Parate executie ini didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan dalam hal debitur cidera janji, sehingga pada waktu penjualan objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum, tidak perlu lagi ada persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan. Namun, jika ada sisa hasil penjualan, maka tetap menjadi hak pemberi  Hak Tanggungan (bandingkan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata).
3.4.3   Asas-asas Hak Tanggungan
Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan terdapat asas-asas yang mengatur tentang Hak Tanggungan antara lain:
a)      Asas Droit de Preference: Asas ini menyebutkan bahwa pemegang Hak Tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur lainnya. Maksud dari kedudukan yang diutamakan adalah pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan dengan hak yang mendahulu daripada kreditur lainnya.
b)      Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi
c)      Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan kepada hak atas tanas yang telah ada
d)     Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut
e)      Hak Tanggungan dapat dibebankan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari
f)       Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian accesoir/tambahan
g)      Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk hutang yang baru akan ada
h)      Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu hutang
i)        Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada
j)        Di atas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh Pengadilan
k)      Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu
l)        Hak Tanggungan wajib didaftarkan
m)    Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu
n)      Objek Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila debitur cidera janji
o)      Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti
Dengan adanya asas-asas ini maka setiap Hak Tanggungan harus sesuai dengan asas-asas diatas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
3.5. Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan[14]
3.5.1.  Janji Untuk Memberikan Hak Tanggungan
             Pasal 10 U.U.H.T. menetapkan, bahwa pemberian Hak Tangungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tangungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut. Perjanjian hutang-piutang pada asasnya tidak terikat pada bentuk tertentu, maka bisa dibuat secara lisan maupun tertulis. Jadi, kalaupun dalam akta kreditnya tidak disebutkan tentang jaminan hak tanggungan, kiranya cukup memenuhi syarat pasal 10 ayat 1, kalau dalam perjanjian -- mungkin lisan -- yang mendahului perjanjian kreditnya,diperjanjikan jaminan hak tanggungan.
 Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan, bahwa orang yang menandatangani akta perjanjian kredit adalah orang yang sebelumnya sudah -- secara lisan -- sepakat mengenai perjanjian kredit. Dalam kesepakan lisan itu – yang kemudian di tuangkan dalam bentuk tertulis – mungkin sekali sudah disepakati adanya pemberian jaminan Hak Tanggungan.
                   Atau MUNGKIN YANG HENDAK DIKEMUKAKAN DALAM PASAL 10 ayat 1
U.U.H.T. ADALAH, BAHWA JAMINAN HAK TANGGUNGAN HARUS DI PERJANJIKAN – tidak bisa dipaksakan – dan karena Hak Tanggungan dalah accessoir pada perjanjian pokoknya - dan pada umumnya perjanjian pokoknya adalah perjanjian “hutang piutang”. Kiranya pasal 10 ayat 1 U.U.H.T. bisa ditafsirkan seperti tersebut di atas, dalam perjanjian kredit tidak di singgung apa-apa mengenai pemberian tanggungan, tetapi sesudah kredit diberikan, (calon pemberi Hak Tanggungan bersedia untuk menandatangani APHT. Lebih pas kiranya kalau ketentuan tersebut ditafsirkan, bahwa kalau bersangkutan dalam perjanjian hutang piutang yang-atau di dalam perjanjian lain yang menimbulkan kewajiban hutang-tidak diperjanjikan pemberian jaminan hak tanggungan, maka kreditur dikemudian hari tidak dapat “menuntut” jaminan khusus seperti itu dari debitur. Harus diakui, bahwa kata-kata “ di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut “, memberikan kesan kepada kita, bahwa janji pemberian Hak Tanggungan hanya boleh dituangkan “di dalam dan merupakan bagian yang tak terpisahkan “ dari pokok, untuk mana diberikan Hak Tanggungan. Selama ini --pada masa lembaga hipotik masih berlaku sebagai lembaga jaminan hak atas tanah – orang bisa saja dan memang memang sudah biasa untuk menjanjikan jaminan hipotik, dengan menuangkan janji seperti dalam suatu akta tersendiri, yang kita sebut akta kuasa untuk memasang hipotik (SKMH). Dalam pasal 10 ayat 1 U.U.H.T. disebutkan “ didalam dan merupakan bagian “ dari perjanjian pokoknya, sehingga – kalau hanya melihat pada kata-katanya – tidak mungkin ditafsirkannya sedemikian rupa, supaya bisa memenuhi praktek yang selama ini telah berjalan. Karena sekarang masih dimungkinkan untuk adanya lembaga surat kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 U.U.H.T.). Lebih logis dan patut kalau kita tafsirkan seperti tersebut diatas yaitu kalau kreditur lalai untuk memperjanjikan jaminan hak – tanggungan, maka dikemudian hari dia tidak berwenang untuk menuntut pemberian jaminan khusus seperti itu. sedangkan pemberian hak tanggungan secara suka rela oleh debitur atau pihak ke tiga selalu diperkenankan.
(dalam penjelasan pasal 10 ayat 1 tersebut diatas, dikatakan, bahwa  “perjanjian yang menimbulkan hutang – piutang itu dapat dibuat dengan akta otentik, bergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu.
3.5.2.      Pemberian Hak Tanggungan Sebagai Perjanjian Tertulis
              Pemberian hak tanggungan diberikan dalam suatu akta (pasal 10 ayat 2 u.u.h.t.) dan karenanya selalu merupakan suatu perjanjian tertulis. Berdasarkan pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 jo PMA No. 10 Tahun 1961 jo pasal 1 ayat 4 -- dan sekarang berdasarkan pasal 10 ayat 2 -- U.U.H.T., pejabat yang wenang membuat akta pembebanan adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan berdasarkan pma no.11 tahun 1961, ppat tidak diperkenankan menggunakan akta buatannya sendiri, tetapi harus memakai blangko akta yang sudah disediakan oleh pihak bpn. Blangko akta sebagaimana yang dimaksud oleh PMNA/KBPN No. 3, tertanggal 9 april 1996, bahwa mulai diberlakukan terhitung sejak tanggal 1 Agustus 1996 dan sementara itu, sebelum tanggal tersebut diatas, masih dipakai blngko akta hipotik -- dan credietverband -- yang lama, dengan mencoret kata hipotik -- credietverband -- dan menggantikannya dengan kata “ Hak Tanggungan”. Dalam prakteknya, karena seluruh isi akta hipotik lama tidak cocok dengan kata-kata blangko Hak Tanggungan -- sebagai yang tertuang dalam lampiran II PMNA/KBPN No. 3 tersebut diatas -- maka seluruh blangko akta lama dicoret, sehingga tinggal sampulnya saja, yang lalu dilampiri dengan akta hasil ketikan atau print out computer PPAT sendiri, dengan mencontoh redaksi seperti yang ada dalam lampiran II tersebut di atas. Jadi PPAT terpaksa membeli blangko akta hipotik yang isinya sama sekali tidak berguna. Anehnya, sekalipun isinya diketik (atau diprint) dibuat sendiri oleh PPAT, asal sampulnya memakai sampul blangko hipotik yang dibeli dari kantor pos, bisa dibenarkan. Dengan demikian yang dimaksud dengan tidak boleh membuat sendiri aktanya adalah : harus memakai sampul blangko akta yang disediakan oleh pihak BPN. Selanjutnya akta pembebanan yang dibuat di hadapan PPAT yang berwenang, diakui sebagai akta otentik (pasal 1 ayat 4 jo penjelasan atas U.U.H.T. pada bagian I. Umum sub 7).
3.5.3.  Hak Tanggungan Atas Tanah Adat
          Di atas telah dikemukakan bahwa pada asasnya yang bisa menjadi objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah menurut U.U.P.A., terdaftar dan dapat dipindahtangankan. Juga telah disebutkan, bahwa ketentuan pasal 10 ayat 3 u.u.h.t. merupakan perkecualian atas prinsip, bahwa objek hak tanggungan adalah tanah menurut u.u.p.a. -- terdaftar dan dapat dipindahtangankan -- karena didalam ketentuan tersebut dimungkinkan adanya hak tanggungan atas hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama, yang sudah memenuhi syarat untuk pendaftaran, tetapi belum didaftarkan, sehingga belum dapat dikatakan sebagai hak atas tanah menurut U.U.P.A karena hak atas tanah bekas hak barat, sejak tanggal 24 September 1980 sudah tidak ada lagi (Keppres No. 32 Tahun 1979 jo PMDN No. 3 Tahun 1979), maka yang dimaksud dengan “tanah yang berasal dari konversi hak lama” dalam pasal 10 ayat 3 U.U.H.T. adalah tanah-tanah hak adat.
          Perkecualian dalam pasal 10 ayat 3 U.U.H.T. diberikan untuk menampung kebutuhan praktek, berupa kemudahan bagi para golongan ekonomi lemah yang membutuhkan kredit dan satu-satunya jaminan yang dipunyai olehnya adalah sebidang persil hak adat yang sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk dikonversi sebagai hak atas tanah menurut U.U.P.A. tanah seperti itu biasanya “bukti pemilikannya” masih berupa girik, petuk, letter C dan lain-lain bukti, yang sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai “bukti” pemilikan, tetapi hanya sekedar merupakan ketetapan pemerintah mengenai siapa yang wajib membayar pajak atas persil yang bersangkutan. Namun karena di waktu yang lalu tidak dikenal bukti pemilikan hak atas tanah adat, dan pada umumnya yang berkedudukan sebagai wajib pajak tanah adalah pemilik tanah yang bersangkutan, maka hampir selalu si wajib pajak adalah juga pemilik daripada persil tersebut.        Karena semua hak atas tanah nantinya – dalam jangka panjang – akan dikonversi menjadi tanah U.U.P.A., dan karena proses pembebanannya di waktu yang sudah – pada saat masih dipakai lembaga hipotik dan credietverband sebenarnya – dilakukan bersamaan dengan proses conversi (administrasi) tanah yang bersangkutan, maka tanah-tanah seperti itu sebenarnya dulu dapat dikatakan sudah merupakan hak atas tanah menurut U.U.P.A. minus proses administrasinya.

Sebagai sudah disinggung diatas, kemungkinan untuk menggunakan tanah hak adat sebagai jaminan – dulu melalui hipotik dan credietverband sebenarnya – sebenarnya juga sudah diberikan dalam pasal 25 PP. No.10 tahun 1961. Disana dikatakan tentang “ tanah yang belum dibukan”, dan – dengan mengingat akan ketentuan PMPA No.2 tahun 1962 dan SK Mendagri No.26/DDA atau 1970 – maka yang namanya “ dibukukan “ adalah “didaftarkan”, sedang yang dimaksud dengan “didaftarkan” adalah dikonversi menjadi dan di daftarkan sebagai hak atas tanah menurut U.U.P.A.

 Jadi dengan demi membantu golongan lemah, u.u.h.t. memberikan kemudahan-kemudahan, berupa:
·         Baru disyaratkan adananya kewenangan untuk mengambil tindakan atas objek hak tanggungan pada saat pendaftaraan hak tanggunan yang bersangkutan;
·         Dimungkinkan tanah-tanah yang belum merupakan hak atas tanah menurut u.u.p.a. menjadi objek hak tanggungan
3.5.4             ISI AKTA HAK TANGGUNGAN
3.5.4.1. IDENTITAS DAN KUALITAS SUBJEK
              Dalam pasal 11 ayat 1 U.U.H.T. disaratkan, bahwa NAMA DAN IDENTITAS PEMBERI HAK-TANGGUNGAN HARUS DISEBUTKAN. Pada para PPAT-Notaris ada kebiasaan - - sesuai dengan peraturan jabatan notaris – untuk menyebutkan nama dengan lengkap dan jelas, TIDAK MEMAKAI SINGKATAN. Karena ketentuan Pasal 11 U.U.H.T. merupakan ketentuan wajib, maka pelanggarannya akan mengakibatka batalnya pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan ( Lihat penjelasan atas pasal tersebut ).
              Perlu diperhatikan, bahwa nama debitur dengan nama pembeli Hak Tanggungan tidak selalu sama, bergantung objek Hak Tanggungan milik siapa. Selain nama, maka gelar, pekerjaan dan alamat, juga disebutkan dengan jelas. Penyebutan kesemuanya itu didasarkan atas bukti identitas diri para pihak, yang bisa berupa KTP, SIM atau PASPOR, pokoknya surat-surat resmi yanga ada foto orang yang bersangkutan kesemuanya itu kecuali para pihak atau salah satu pihaknya adalah orang yang sudah dikenal oleh PPAT yang bersangkutan atau diperkenalkan pada PPAT oleh saksi pengenal. Demikian juga tentunya -- walaupun tidak secara tegas ditulis, DALAM KUALITASNYA SEBAGAI APA IA BERTINDAK DALAM AKTA ITU. Kalau pemberian Hak Tanggungan dilakukan melalui seorang kuasa, maka tentunya identitas dari orang yabf bertindak sebgai kuasa dan surat kuasa – Berdasarkan mana ia bertindak – harus disebutkan pula.
3.5.4.2.DOMISILI
              PADA ASASNYA TEMPAT TINGGAL YANG SEBENARNYA MERUPAKAN DOMISILI SESEORANG, DOMISILI – SEBAGAI SUATU PENGERTIAN HUKUM MERUPAKAN TEMPAT. DIMANA SESEORANG, UNTUK PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN HUKUMNYA, DIANGGAP SELALU ADA. Adanya ketentuan Pasal 11 Ayat 1b tersebut diatas , seakan-akan merupakan peringatan dari pembuat undang-undang, bahwa domisili merupakan unsur yang penting sekali dan bisa mempengaruhi dan bisa ditagih kembali atau tidaknya kredit yang diberikan. Domisili pilihan ada yang merupakan pilihan sukarela, ada yang merupkan pilihan wajib. Dlam Pasal 10 Ayat 1b U.U.H.T. ada kewajiban bagi para pihak untuk, apabila mereka atau salah satu diantara berdomisili di luar negeri.

E. Hutang Yang Dijamin
     Yang dimaksud dengan HUTANG ATAU HUTANG-HUTANG dalam pasal 11 ayat 1C tersebut diatas, yang penunjukannya harus diberikan secara jelas, adalah “ Perjanjian pokoknya”, untuk mana diberikan Hak Tanggungan.
Perjanjian pokok tersebut adalah perjanjian pokok tersebut adalah perjanjian yang nantinya melahirkan perikatan-perikatan – kwajiban –kewajiban pembayaran yang pemenuhannya dijamin dengan hak yang tanggungan yang bersangkutan.
Seperti sudah disebutkan diatas, U.U.H.T. tidak secara jelas memberikan penampungan untuk apa yang dahulu disebut bank hipotik.
F. Nilai Tanggungan
            Nilai tanggungan merupkan suatu jumlah yang dinyatakan dalam sejumlah uang tertentu. Yang menunjukan besarny beban – yang disepakati antara kreditur dan pemberi Hak Tanggungan – yang menindih persil jaminan. Nilai tanggungan harus dengan tegas disebutkan dalam APHT. Besaran nilai tanggungan merupkan jumlah maksimum sebesar mana kreditor preferen (didalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi atau penjualan persil jaminan, kalau debitur wanprestasi). Dalam pasal 3.9.4.2.1 RUU NDW secara tegas disebutkan bahwa akta hipotik harus mencantumkan jumlah beban hipotik yang dipasang atau dalam hal jumlah itu belu pasti, harus dicantumkan jumlah maksimum, yang atas dasar hipotik dari persil itu dapat diambil dengan pelunasan jadi dalam segi ini peraturan U.U.H.T. adalah sama dengan peraturan dengan RUU NDW.



3.6.   Hapusnya/ berakhirnya Hak Tanggungan
Sebagaimana diketahui Hak Tanggungan bersifat accessoir. Oleh karena itu sesuai dengan sifatnya, adanya Hak Tanggungan bergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut  hapus oleh karena pelunasan atau sebab-sebab lain, maka dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. Menurut Pasal 18 UUHT, hapusnya Hak Tanggungan dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
a.       hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b.      dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c.       pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d.      hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada Pemberi Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan peetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUHT.
Pasal 19 tersebut menetapkan hal-hal sebagai berikut:
a)      Pembeli objek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian. Menurut Penjelasannya, ketentuan tersebut diadakan dalan rangka melindungi kepentingan pembeli objek Hak Tanggungan, agar benda yang dibelinya terbebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya, jika harga pembelian tidak mencukupi untuk melunasi hutang yang dijamin.
b)      Pembersihan objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pernyataan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan yang berisi dilepaskannya Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
c)      Apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang diantara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut penjelasannya, para pemegang Hak Tanggungan yang tidak mencapai kesepakatan perlu berusaha sebaik-baiknya untuk mencapai kesepakatan mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan sebelum masalahnya diajukan pembeli kepada Ketua Pegadilan Negeri. Apabila diperlukan, dapat diminta jasa penengah yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam menetapkan pembagian hasil penjualan objek Hak Tanggungan dan peringkat para pemegang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat ini, Ketua Pengadilan Negeri harus memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 5 UUHT.
d)     Permohonan pembersihan objek Hak Tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila pembelian demikian itu dilakukan dengan jual beli suka rela dan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak telah dengan tegas memperjanjikan bahwa objek Hak Tanggungan tidak dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f
Selain itu pemegang Hak Tanggungan dapat melepaskan Hak Tanggungannya dan hak atas tanah dapat dihapus, yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya hutang yang dijamin. Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau  Hak Pakai yang dijadikan objek Hak Tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak tanah yang bersangkutan.
Setelah Hak Tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku hak atas tanah dan sertipikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan dicabut bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan serta dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.
























BAB IV
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Setiap orang memerlukan tanah, baik untuk tempat perumahan, juga perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan, maupun untuk dijadikan sebagai jaminan untuk pelunasan utang tertentu. Tanah yang dijadikan sebagai jamimana untuk pelunasan utang adalah tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan. Hak Tanggungan pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak Tanggungan adalah suatu hak kebendaan yang memberikan kekuasaan atas suatu benda.
Hak tanggungan mempunyai subjek, objek, ciri, sifat, asas, dan tata cara pelaksanaannya. Yang dimaksud dengan subjek Hak Tanggungan adalah adalah mereka yang memegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau badan hukum. Menjadi subjek Hak Tanggungan tentu harus memenuhi syarat-syarat dan proses yang dilakukan. Sedangkan objek Hak Tanggungan adalah benda yang dapat dibebani hak jaminan atas tanah.
Hak tanggungan  memiliki ciri yakni hak itu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu berada dan yang lebih tua mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Sedangkan sifatnya adalah Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya dan Hak Tanggungan hanya merupakan ikutan (“accessoir”) dari perjanjian pokok.
Tata cara pelaksanaan Hak Tanggungan mencakup tentang Janji Untuk Memberikan Hak Tanggungan, Hak Tanggungan Atas Tanah Adat, Isi Akta Hak Tanggungan. Kemudian hak Hak Tanggungan juga akan mengalami apa yang dinamakan hilangnya/berakhirnya hak.
2.      Saran
2.1.Bagi Masyarakat
ü  Masyarakat hendaknya tetap mempertahankan hak milik atas tanahnya supaya tidak terjadi konflik atas tanah yang dijadikan jaminan utang.
ü  Masyarakat diharapkan mau bekerja sama dengan pemerintah dalam usaha melegalkan kepemilikan tanah.
2.2.Bagi Mahasiswa
ü  Mahasiswa hendaknya peka terhadap permasalah sosial yang ada di sekitarnya dan berinisiaif untuk menganalisis permasalahan itu
ü  Mahasiswa diharapkan mampu mengaplikasikan pengetahuan yang diterimanya di sekolah dalam sebuah karya ilmiah yang berguna untuk menambah wawasannya dan wawasan bagi massyarakat luas.





[1] Subekti. S.H, Pokok-pokok hukum perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1989), hlm. 62-63.
[2] Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Hal. 367

[3] Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Hal. 43

[4] Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Hal. 43

[5] Boedi Harsono, Segi-Segi Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan, Makalah pada Seminar Nasional Undang-Undang Hak Tanggungan, Universitas Trisakti, 10 April 1996, halm. 11.
[6] Wantjik Saleh, hak anda atas tanah, (Jakarta: Balai Aksara, 1985), hlm. 16-17.
[7] Ibid, hlm. 23
[8] UUPA Pasal 28 ayat 1, 2 dan pasal 29
[9] UUPA Pasal 35 ayat 1 dan 2
[10] Wantjik Saleh, hak anda atas tanah, (Jakarta: Balai Aksara, 1985), hlm. 44
[11] Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Hal. 186-193

[12] Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Hal. 237-238

[13] Sudikno Mertokusumo, “Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Permasalahan dan Hambatan”, Makalah pada Penataran Dosen Hukum Perdata, FH-UGM, Yogyakarta, 16-23 Juli 1996.
[14] Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Hal. 269-274

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar, Struktur, Fungsi dan Corak Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja Katolik

Dongeng Manggarai: Tombo ca anak koe ata oke le eman

HUKUM ADAT SUKU ASMAT