HUKUMAN MATI BUKAN SOLUSI
Oleh: Hipatios
Wirawan Labut
Koran kompas edisi 29 november 2014, memberitakan tentang
target eksekusi mati oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2014. Sebagaimana yang
diberitakan, mereka menargetkan
mengeksekusi sepuluh pidana mati. Eksekusi itu dilakukan untuk terpidana mati
dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data kejaksaan (kompas, 29/11/2014), pada
2014 tercatat 148 orang terpidana mati dari tiga jenis kasus, yakni narkoba,
pembunuhan, dan terorisme. Sejak 2009 hingga 2013, jumlah terpidana mati
didominasi terpidana kasus narkotika, mencapai 313 orang. Di urutan berikutnya
terpidana kasus pembunuhan, sebanyak 298 orang. Adapun terpidana terorisme
tercatat 2 orang.
Berdasarkan data tersebut, fakta menunjukan bahwa pidana
mati tidak akan mengurangi kejahatan. Dari tahun ke tahun rupa kejahatan
bermacam-macam bahkan modus baru kejahatan lahir begitu cepat. Tak heran jumlah
pidana mati terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 5 tahun
(2009-2013) sajajumlah terpidana mati tercatat 613 orang, dan jika dibagi maka
rata-rata per tahunnya adalah kira-kira 123 orang. Sementara pada tahun 2014
ini tercatat 148 orang, artinya bahwa hukuman mati tidak mengurangi kejahatan
dan pelaksanaannya semata-mata menambah jumlah angka kematian di indonesia.
Pelaksanaan hukuman mati sebenarnya adalah persoalan
tentang keadilan. Dalam pandangan sosial, hukuman
mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia tetapi bila dilihat
melalui pandangan hukum, hukuman mati harus dilaksanakan demi keadilan dan perlindungan
terhadap warga negara. Mereka yang
menghendaki hukuman mati menggunakan alasan pembenar dengan pernyataan
“bagaimana mungkin kita membiarkan satu orang yang berpotensi membunuh banyak
orang, kalau kita memberikan kepadanya ruang untuk hidup?”. Pernyataan ini
berangkat dari fakta bahwa mereka yang dihukum mati adalah pelaku tindak
kejahatan luar biasa (di indonesia; narkoba, korupsi dan terorisme). Atas dasar
itu, adil jika pelaku yang menghilangkan nyawa banyak orang dihukum mati saja.
Selain pertimbangan keadilan, motif lain adalah usaha preventif untuk mencegah
hilangnya nyawa orang yang lebih banyak lagi. Tetapi, persoalan yang harus
dijawab adalah apakah hukuman mati ini adalah solusi tepat mengurangi
kejahatan?
Pertama, saya mulai dengan menggunakan konsep keadilan.
Plato, dalam karya besarnya, Republic,
menulis “keadilan hanya akan menjadi pemenang ketika akal (nalar) juga menang;
dan selera serta nafsu binatang semestinya dikendalikan (diletakan) pada tempat
yang sesuai”. Pernyataan plato adalah premis yang menghantar kita pada konklusi
bahwa sebelum pelaksanaan hukuman mati, terlebih dahulu dipikirkan apakah
keadilan yang kita utamakan ataukah karena selera atau nafsu binatang semata.
Jika keadilan yang diutamakan, bukankah kita telah bersikap seperti binatang
dan mengingkari kemanusiaan manusia. Terlepas dari keyakinan bahwa hanya Tuhan
yang berhak mencabut nyawa manusia, saya berpandangan bahwa hukuman mati adalah
bukti bahwa manusia itu sombong dan tidak mencintai kemanusiaan. Lebih tepat, perlu
disadari bahwa bukankah kita juga sama seperti mereka yang membunuh banyak
orang kalau kita setuju dengan adanya hukuman mati, toh kita sama-sama
membunuh. Apakah itu yang dikatakan “jiwa keadilan” dari hukum? Hukuman mati dapat
diganti dengan hukuman lain, jika kita mengedepankan keadilan dan mengedepankan
usaha preventif, semisal penjara seumur hidup (sampai berpuluh-puluh tahun). Jadi, kembali ke pernyataan plato, bahwa
keadilan akan menang ketika akal juga menang. Jika akal menang maka keadilan akan
memancarkan cahayanya. Karena negara menurut plato berkiblat ke arah dimana
keadilan memancarkan cahayanya. Sementara aristoteles, melihat keadilan sebagai
landasan hukum.
Kedua, menurut aristoteles hukum harus steril (terasing)
dari beragam penyakit mental, seperti nafsu dan keserakahan. Lebih jauh ia
menjelaskan bahwa hukum harus merepresentasi akal-sehat dan menghindari selera.
Dalam kaitannya dengan hukuman mati, saya
menyimpulkan bahwa mendukungnya
adalah sumbangan bagi kejatuhan wibawa hukum, karena hukum yang serakah adalah
hukum yang tidak adil. Saya menilai hukuman mati adalah repsentasi dari sifat
keserakahan manusia. Mengutip pendapat aristoteles bahwa yang dapat dibenarkan
adalah keadilan, tetapi bukan keadilan
berdasarkan putusan hukum, melainkan keadilan yang mengambil posisinya
sebagai koreksi terhadap sistem hukum, maka keadilan yang disuarakan
undang-undang belum tentu benar dan keadilan yang berasal dari luar
undang-undang masih dapat diterima. Jadi, saya menolak pelaksanaan hukuman mati
karena bukan merupakan cara untuk menegakan keadilan dan bukan usaha preventif.
Ketiga, hukuman mati tidak akan membuat masalah
yang dibuatnya kembali menjadi normal kembali. Masih banyak cara untuk
menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan ini misalnya hukuman seumur hidup,
atau bahkan hukuman kumulatif hingga ratusan tahun seperti yang dilakukan di
banyak negara contohnya Amerika. Dan bukan untuk mengambil hak hidup mereka
karena itu menentang Pasal 28 A UUD 1945 yang menjelaskan “Setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dan juga
bertentangan dengan Deklarasi Universal of Human Rights.
Sudah menjadi rahasia umum bila hukum belum tentu
mencapai keadilan lalu bagaimana nasib orang-orang yang tidak bersalah tetapi
tetap divonis dengan hukuman mati seperti yang terjadi di Amerika serikat pada
tahun 1989 silam, seorang bernama carlos deluna divonis mati oleh Pengadilan
Texas, Amerika Serikat dengan perbuatan yang tidak dilakukannya dan lebih
parahnya lagi carlos deluna terbukti tidak bersalah setelah puluhan tahun
setelah ia di hukum mati.
Akhirnya, berdasarkan isi Hak Asasi Manusia &
Pancasila sudah tertera jelas bila hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran
hak asasi manusia yang terdalam yakni hak untuk hidup dan tidak ada satupun
manusia di dunia ini mempunyai hak untuk mengakhiri hidup manusia lain meskipun
dengan atas nama hukum atau negara, apalagi Indonesia menganut dasar Falsafah
Pancasila yang menghormati harkat dan martabat manusia serta berke-Tuhanan,
karena yang paling berhak mencabut nyawa mahluk hidup hanya Tuhan.
Komentar