PERLINDUNGAN HUKUM, PENEGAKAN HUKUM, DAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pemerintah atau administrasi negara adalah salah satu
subyek hukum. Sebagai subyek hukum pemerintah dapat melakukan tindakan hukum,
baik dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan ataupun sebagai pejabat. Tindakan
hukum pemerintah dapat menjadi peluang munculnya perbuatan yang bertentangan
dengan hukum, yang melanggar hak-hak warga Negara. Ketika tindakan hukum itu
melanggar hak-hak warga negara, hukum harus memberikan perlindungan bagi warga
negara tersebut. Perlindungan hukum yang dimaksudkan ini lebih ditekankan pada
perlindungan hukum terhadap sikap tindak atau perbuatan hukum pemerintah.
Selain memberikan perlindungan hukum terhadap warga
negara, dalam melakukan tindakan hukum, pemerintah atau adminstrasi negara
perlu diawasi atau diberikan sanksi jika tindakan mereka menyalahgunakan
kewenangan. Hal itu adalah bagian dari proses penegakan hukum oleh pemerintah.
Penegakan hukum bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang
memuat keadilan dan kebenaran. Dalam hukum administrasi negara pemerintahlah
yang paling bertanggung jawab melakukan penegakan hukum, yang dilakukan dengan
pengawasan dan sanksi.
Perlindungan dan penegakan
hukum selalu diikuti dengan pertanggungjawaban hukum. Dalam melakukan tindakan
hukum, pemerintah harus bersandar pada asas legalitas. Asas ini bertujuan agar
tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat administrasi
negara. Tindakan hukum mengandung makna penggunaan kewenangan dan di dalamnya tersirat
adanya kewajiban pertanggungjawaban. Pertanggungjawab hukum adalah sikap
pemerintah yang mau menunjukan bahwa mereka tidak mau melepasakan diri
konsekuensi tindakan hukumnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perlindungan Hukum
Subjek hukum selaku pemikul hak-hak
dan kewajiban-kewajiban, dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan
kemampuan atau kewenangan yang dimilikinya. Dalam pergaulan di tengah
masyarakat, banyak terjadi hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya
tindakan-tindakan hukum dari subjek hukum itu, yakni interaksi antarsubjek
hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum. agar
hubungan hukum antarsubjek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang, dan
adil atau dalam arti lain setiap objek hukum mendapatkan apa yang menjadi
haknya dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil
sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.
Hukum diciptakan sebagai suatu
sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek
hukum. Selain itu hukum berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek
hukum. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat
terjadi juga karena pelanggaran hukum[1]. Pelanggaran
hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang
seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain. Subjek
hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum.
Hukum yang mengatur hubungan hukum
antara pemerintah dengan warga negara adalah Hukum Administrasi Negara atau
hukum perdata, tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan
tindakan hukum tersebut.
Ketika pemerintah melakukan tindakan
hukum dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum, maka tindakan tersebut
diatur dan tunduk pada ketentuan hukum keperdataan, sedangkan ketika pemerintah
bertindak sebagai pejabat, maka tindakan itu diatur dan tunduk pada Hukum
Administrasi Negara. Tindakan hukum pemerintah dapat menjadi peluang munculnya
perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang melanggar hak-hak warga negara.
Oleh karena itu, hukum harus memberikan perlindungan hukum bagi warga negara.
Perlindungan hukum bagi rakyat
merupakan konsep universal, dalam arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang
mengedepankan diri sebagai negara
hukum, namun seperti yang disebutkan Paulus E. Lotulung, masing-masing negara mempunyai cara dan
mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut,
dan juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum itu diberikan. Perlindungan
hukum yang dimaksudkan ini lebih ditekankan pada perlindungan hukum terhadap
sikap tindak atau perbuatan hukum pemerintah berdasarkan hukum positif di
Indonesia.
Secara umum ada tiga macam perbuatan pemerintahan yaitu
perbutan pemerintahan dalam bidang pembuatan
peraturan perundang-undangan (regeling),
perbuatan pemerintahan dalam penerbitan
keputusan (beschikking), dan
perbuatan pemerintahan dalam bidang
keperdataan (materiele daad). Dua
bidang yang pertama terjadi dalam bidang publik oleh karenanya tunduk pada
hukum publik, sedangkan bidang yang terakhir khusus dalam bidang keperdataan,
maka tunduk berdasarkan ketentuan hukum perdata. Muchsan mengatakan bahwa
perbuatan melawan hukum oleh pemerintah yang berbentuk melanggar hak subjektif
orang lain tidak hanya terbatas pada perbuatan yang bersifat privaatrechtelijk saja, tetapi juga
perbuatan yang bersifat publiekrechtelijk.
Penguasa dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar hak
subjektif orang lain, apabila:
1.
Penguasa melakukan
perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata serta melanggar ketentuan
dalam hukum tersebut.
2.
Penguasa melakukan
perbuatan yang bersumber pada hukum publik
serta melanggar ketentuan kaidah hukum tersebut.[2]
Disamping dua macam perbuatan
tersebut, seiring dengan konsep negara
hukum modern yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat (welfare state), pemerintah juga dilekati dengan kewenangan bebas
atau freies Ermessen, jika dituangkan
dalam bentuk tertulis akan berwujud
peraturan kebijakan.
1.
Perlindungan
Hukum dalam Bidang Perdata
Kedudukan pemerintah yang serba khusus
terutama karena sifat-sifat istimewa yang melekat padanya yang tidak dimiliki
oleh manusia biasa, berkenaan dengan apakah negara
dapat digugat atau tidak di depan hakim. Pemerintah dalam tugasnya mempunyai
kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan rakyat biasa. Oleh karena itu
timbul pertanyaan apakah persoalan menggugat pemerintah di muka hakim dapat
disamakan dengan rakyat biasa.
Secara teoritik, Kranenburg
memaparkan secara kronologis adanya tujuh konsep mengenai permasalahan apakah negara
dapat digugat dimuka hakim perdata, yakni:[3]
a)
Konsep negara
sebagai lembaga kekuasaan dikaitkan dengan konsep hukum sebagai keputusan
kehendak yang diwujudkan oleh kekuasaan, menyatakan bahwa tidak ada tanggung
gugat negara.
b)
Konsep yang
membedakan negara sebagai penguasa dan Negara sebagai fiscus. Sebagai penguasa,
negara tidak dapat digugat dan sebaliknya sebagai fiscus Negara dapat digugat.
c)
Konsep yang
mengetengahkan kriteria sifat hak, yakni apakah suatu hak dilindungi oleh hukum
publik ataukah hukum perdata.
d) Konsep
yang mengetengahkan kriteria kepentingan hukum yang dilanggar.
e) Konsep
yang mendasarkan pada perbuatan melawan hukum sebagai dasar untuk menggugat Negara.
f) Konsep
yang memisahkan fungsi dan pelaksanaan fungsi
g) Konsep
yang mengetengahkan suatu asumsi dasar bahwa negara dan alat-alatnya berkewajiban
dalam tindak-tanduknya, apapun aspeknya (hukum publik atau hukum perdata)
memperhatikan tingkah laku menusiawi yang normal.
Berkenaan dengan kedudukan pemerintah sebagai wakil dari badan hukum publik
yang dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dalam bidang keperdataan seperti
jual-beli, sewa menyewa, membuat perjanjian, dan sebagainya, maka dimungkinkan
muncul tindakan pemerintah yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige overheidsdaad). Berkenaan dengan perbuatan pemerintah
yang bertentangan dengan hukum ini disebutkan bahwa hakim perdata - berkenaan
dengan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah - berwenang menghukum pemerintah
untuk membayar ganti rugi. Di samping itu, hakim
perdata dalam berbagai hal dapat mengeluarkan larangan atau perintah terhadap
pemerintah untuk melakukan tindakan tertentu.[4]
Merajuk pada Pasal
1365 KUHPerdata, yang berbunyi: “tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.” Ketentuan ini telah mengalami pergeseran penafsiran, sebagaimana
tampak dari beberapa yurisprudensi.
Pada periode
sebelum 1919 ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata ditafsirkan secara sempit, dengan
unsur-unsur perbuatan melawan hukum, timbulnya kerugian, hubungan kausal antara
perbuatan melawan hukum dengan kerugian, dan kesalahan pada pelaku. Berdasarkan
pernafsiran demikian, tampak bahwa perbuatan
melawan hukum berarti sama dengan perbuatan
yang bertentangan dengan undang-undang.[5]
Setelah tahun 1919 kriteria
perbuatan melawan hukum adalah mengganggu hak orang lain, bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan
kepatutan, ketelitian
dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan
sesama warga masyarakat atau
terhadap benda orang lain. Dengan adanya perluasan penafsiran ini, maka
perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada warga negara juga semakin luas
dan hal ini dianggap malah melahirkan kesulitan dalam praktik peradilan.
Di Indonesia ada dua yurisprudensi
Mahkamah Agung yang menunjukkan pergeseran kriteria perbuatan melawan hukum
oleh penguasa, yaitu:
a) Putusan
MA dalam perkara Kasum (Putusan No. 66K/Sip/1952), yang dalam kasus ini MA
berpendirian bahwa perbuatan melawan hukum terjadi apabila ada perbuatan
sewenang dari pemerintah.
b) Putusan
MA dalam perkara Josopandojo (Putusan No. 838K/Sip/1970), dalam kasus ini MA
berpendirian bahwa kriteria onrechtmatige
overheidsdaad adalah undang-undang dan peraturan formal yang berlaku,
kepatutan dalam masyarakat yang harus dipenuhi oleh penguasa.
Putusan MA ini jelas menunjukkan
bahwa kriteria perbuatan melawan hukum oleh penguasa adalahperbuatan penguasa
itu melanggar undang-undang dan peraturan formal yang berlaku, serta perbuatan
penguasa tersebut melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya
dipatuhinya.
Perlindungan hukum bagi rakyat
terhadap tindakan
hukum pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik, dilakukan melalui
peradilan umum. Kedudukan pemerintah dalam hal ini tidak berbeda dengan
seseorang atau badan hukum perdata, sehingga pemerintah dapat menjadi tergugat
maupun penggugat. Konteks ini sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan
kesamaan kedudukan dimuka hukum (equality
before the law).
2.
Pelindungan
Hukum dalam Bidang Publik
Keputusan sebagai instrumen hukum
pemerintah dalam melakukan tindakan hukum sepihak, dapat menjadi penyebab
terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern,
oleh karena itu diperlukan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap
tindakan hukum pemerintah.
Dalam rangka perlindungan hukum,
keberadaan asas-asas umum pemerintahan yang baik memiliki peranan penting sehubungan
dengan adanya langkah mundur pembuat undang-undang, yang memberikan kewenangan
kepada pemerintah untuk membuat peraturan peundang-undangan, dan adanya freies rrmessen
pada pemerintah. Namun di sisi lain, pemberian kewenangan ini dapat menjadi
peluang terjadinya pelanggaran kehidupan masyarakat oleh pemerintah.
Ada dua macam perlindungan hukum bagi
rakyat, yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum
preventif memberikan rakyat kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemeritah mendapat bentuk yang defintif.
Artinya perlindungan hukum preventif ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, sedangkan represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan warga
negara harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan pemerintah, yaitu:
a) Karena
dalam berbagai hal warga negara dan badan hukum perdata tergantung pada
keputusan-keputusan pemerintah, seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan
untuk usaha perdagangan, perusahaan atau pertambangan. Karena itu warga negara
dan badan hukum perdata perlu mendapat perlindungan hukum.
b) Hubungan
antara pemerintah dan warga negara tidak berjalan dalam posisi sejajar, dan warga
negara berada di pihak lemah dalam hal ini.
c) Berbagai
perselisihan warga negara dengan pemerintah berkenan dengan keputusan, sebagai instrumen
pemerintah yang bersifat sepihak dalam menentukan intervensi terhadap kehidupan
warga negara.
Di Indonesia perlindungan hukum
bagi rakyat akibat tindakan hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan,
tergantung dari instrumen hukum yang digunakan pemerintah. Instrumen hukum
pemerintah yang lazim digunakan adalah peraturan perundang-undangan dan
keputusan. Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan ditempuh melalui Mahkamah Agung, dengan cara hak uji
materiil, sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan
bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang”. Terdapat pula dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 yang telah
diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang berbunyi, “Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah
semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari
undang-undang atas alasan bertetangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.” Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 31 ayat (1) UU No.
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, “Mahkamah Agung mempunyai wewenang
menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan”.
Dalam rangka perlindungan hukum,
terdapat tolok ukur untuk menguji secara materiil suatu peraturan perundang-undangan
yaitu bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan
bertentangan atau tidak dengan kepentingan umum. Khusus mengenai peraturan
perundang-undangan tingkat daerah, pembatalan sering diartikan dalam pembatalan
secara spontan, yakni pembatalan atas dasar inisiatif dari organ yang berwenang
menyatakan pembatalan, tanpa melalui proses peradilan.
Dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terdapat ketentuan sebagai berikut:
1) Perda
disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7
hari setelah di tetapkan.
2) Perda
sebagaimana dimaksud ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
pemerintah.
3) Keputusan
pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Presiden paling lama 60 hari sejak di terimanya Perda sebagaimana dimaksud ayat
(1).
4) Paling
lama 7 hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD
bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
5) Apabila
Provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada
Mahkamah Agung.
6) Apabila
keberatan sebagaimana dimaksud ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan
tidak mempunyai kekuatan hukum.
7) Apabila
Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda tersebut dinyatakan berlaku.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, tampak bahwa peraturan perundang-undangan tingkat daerah
mempunyai mekanisme hak uji materil yang berbeda dengan peraturan
perundang-undangan tingkat pusat, yaitu di tempuh melalui jalur pemerintahan
dalam bentuk penundaan atau pembatalan, sebelum ditempuh melalui Mahkamah
Agung.
Perlindungan hukum
akibat dikeluarkannya keputusan ditempuh melalui dua kemungkinan, yaitu
peradilan administrasi dan upaya administrasif. Ada perbedaan antara peradilan
administrasi dan upaya administratif adalah kata peradilan menunjukkan bahwa
hal ini menyangkut proses peradilan pada pemerintahan melalui instansi yang
merdeka. Kemerdekaan ini tampak pada hakim administrasi yang professional,
disamping juga kedudukan hukumnya; pengangkataan untuk seumur hidup, ketentuan
mengenai pengkajian terdapat pada undang-undang, pemberhentian - ketika
melakukan perbuatan tidak seronoh - hanya dilakukan melalui putusan pegadilan. Sifat
kedua yang berkenaan dengan hal ini adalah bahwa instansi ini hanya menilai
tindakan pemerintahan berdasarkan hukum.
Sedangkan upaya administratif
berkenaan dengan proses peradilan di dalam lingkungan administrasi; instansi
upaya administratif adalah organ pemerintahan, dilengkapi dengan
pertanggungjawaban pemerintahan. Dalam hal upaya administratif ini tindakan
pemerintahan tidak hanya dinilai berdasarkan hukum, namun juga dinilai aspek
kebijakannya.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan dapat
ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui upaya administratif dan melalui PTUN.
Dalam Pasal 48 di tegaskan sebagai berikut:
1) Dalam
hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa
tata usaha Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2) Pengadilan
baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara
sebagaimana dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan.
Upaya administratif ini ada dua
macam, yaitu banding administratif dan prosedur keberatan. Banding administratif
yaitu penyelesaian sengketa tata usaha Negara dilakukan oleh instansi atasan
atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang disengketakan.
Sedangkan prosedur keberatan adalah penyelesaian sengketa tata usaha Negara
dilakukan oleh instansi yang
mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa tata usaha Negara melalui PTUN terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU No.
5 Tahun 1986 yang berbunyi: “seorang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan
TUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
berisi tuntutan agar keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitas”.
Di dalam Pasal 53 ayat (2) disebutkan mengenai tolok ukur untuk menilai KTUN
yang digugat di PTUN, yaitu sebagai berikut:
1) Keputusan
TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
2) Badan
atau pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang tersebut.
3) Badan
atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan
yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan
keputusan tersebut.
Berdasarkan UU No. 9 tahun 2004
tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN, alasan mengajukan gugatan
yang terdapat pada Pasal 53 ayat (2) ini ada perubahan, yaitu:
Alasan alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
1) Keputusan
TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
2) Keputusan
TUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Perubahan Pasal 53 ayat (2) ini memiliki
konsekuensi:
1.
Pengakuan eksistensi
asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam sistem peradilan
administrasi di Indonesia.
2.
Ada perluasan alasan
mengajukan gugatan ke PTUN. Asas larangan penyalahgunaan wewenang dan asas
larangan sewenang-wenang merupakan bagian dari AAUPB.
Menurut Sjachran Basah[6],
perlindungan hukum dan penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non untuk merealisasikan fungsi hukum itu
sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Direktif, sebagai
pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai
dengan tujuan kehidupan bernegara.
2.
Integrative, sebagai
Pembina kesatuan bangsa
3.
Stabilitatif, sebagai
pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.
4.
Perfektif, sebagai
penyempurna.
5.
Korektif, sebagai
pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi Negara maupun warga apabila
terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.
B.
Penengakan Hukum
Penegakan hukum secara konkret
adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut
ditaati. Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah usaha untuk
mewujudkan ide-ide atau konsep-konsep (keadilan, kebenaran dan kemanfaatan)
yang abstrak menjadi kenyataan.[7]
Oleh karena hakikat penegakan hukum itu adalah mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah
yang memuat keadilan dan kebenaran, maka penegakan hukum bukan hanya menjadi
tugas dari pada penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional. Akan
tetapi menjadi tugas setiap orang. Dalam kaitannya dengan hukum publik, J.B.
ten Merge mengatakan bahwa pihak pemerintahlah yang paling bertanggung jawab
melakukan penegakan hukum.
Proses penegakan hukum tentu
melibatkan banyak hal dan
keberhasilannya ditentukan oleh hal-hal tersebut. Faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum yang dikemukan oleh Soerjono Sukanto, adalah:
1.
Faktor hukumnya
sendiri;
2.
Faktor penegak
hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
3.
Faktor sarana atau
fasiltas yang mendukung penegakan hukum
4.
Faktor masyarakat,
yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau ditetapkan
5.
Faktor kebudayaan,
yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup.
Dalam rangka
penegakan hukum, J.B. ten Merge menyebutkan beberapa aspek yang harus
diperhatikan atau dipertimbangkan, yaitu:
a.
Suatu peraturan
harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan interpretasi
b.
Ketentuan
pengencualian harus dibatasi secara maksimal
c.
Peraturan harus
sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara objektif dapat ditentukan
d.
Peraturan harus
dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena aturan itu dan mereka yang dibebani
dengan tugas penegakan hukum
1.
Penegakan Hukum Dalam Hukum Administrasi Negara
Menurut ten Berge, instrumen
penegakan hukum administrasi negara meliputi pengawasan dan penegakan sanksi.
Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan
penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan.
Menurut Paulus E. Lotulung, pengawasan
dalam Hukum Administrasi Negara ada beberapa macam, yaitu jika ditinjau dari
segi kedudukan badan/organ yang mengadakan kontrol itu terhadap badan/organ
yang dikontrol, ada kontrol intern dan kontrol ekstern. Kontrol intern berarti bahwa pengawasan itu
dilakukan oleh badan yang secara struktural masih termasuk dalam lingkungan
pemerintah sendiri. Sedangkan kontrol ekstern
adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ
atau lembaga-lembaga yang secara struktural berada di luar pemerintah.
Ditinjau dari segi waktu dilaksanakannya, pengawasan atau kontrol dibedakan menjadi menjadi kontol a-priori dan
kontrol a-posteriori. Kontrol a-priori adalah bilamana pengawasan itu dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan pemerintah, sedangkan kontrol a-posteriori adalah bilamana pengawasan
itu baru dilaksanakan sesudah
dikeluarkannya keputusan pemerintah.
Dalam suatu negara hukum,
pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah menjalankan pemerintahan
berdasarkan norma-norma hukum, sebagai suatu upaya preventif, dan juga
dimaksudkan untuk mengembalikan pada
situasi sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai upaya
represif. Di samping itu, yang terpenting adalah bahwa pengawasan ini
diupayakan dalam rangka memberikan perlindungan bagi rakyat.
Sarana penegakan hukum selain
pengawasan adalah sanksi. Sanksi merupakan bagian penting dalam setiap
peraturan perundang-undangan, bahkan ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan Hukum
Administrasi Negara. Sanksi diperlukan
untuk menjamin penegakan Hukum Administrasi Negara. Menurut Philipus Hadjon,
pada umumnya tidak ada gunanya memasukan kewajiban-kewajiban dan
larangan-larangan bagi para warga di
dalam peraturan perundang-undangan tata usaha negara, manakala aturan-atauran tingkah
laku itu tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha negara.[8]
Salah satu instrumen untuk memaksakan tingkah laku masyarakat ini adalah dengan
sanksi. Oleh karena itu, sanksi sering merupakan bagian yang melekat pada norma
hukum tertentu. Dalam Hukum Administrasi Negara, penggunaan sanksi administrasi
merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, dimana kewenangan ini berasal dari
aturan Hukum Administrasi Negara tertulis dan tidak tertulis.
Ada empat unsur sanksi dalam
Hukum Administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan, bersifat hukum publik,
digunakan oleh pemerintah, dan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan. Ditinjau
dari segi sasarannya, dalam Hukum Administrasi Negara dikenal ada dua jenis
sanksi, yaitu sanksi reparatoir dan sanksi punitif. Sanksi reparatoir adalah
sanksi yang diberikan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan
untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadi pelanggaran. Sedangkan
sanksi punitif adalah sanksi yang semata-mata ditujukan untuk memberikan
hukuman pada seseorang. Selain itu ada juga yang disebut sebagai sanksi
regresif, yaitu sanksi yang diterapkan
sebagai reaksi atas ketidakpatuhan.
2.
Macam-macam sanksi dalam hukum administrasi negara[9]
a.
Paksaan pemerintah (Bestuursdwang)
Berdasarkan UU Hukum Administrasi Belanda, paksaan
pemerintah adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah atau atas nama
pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalangi, memperbaiki pada
keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan
dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Berkenan dengan paksaan pemerintahan ini, F.A.M. Stroink
dan Steendbeeck menyatakan, kewenangan paling penting yang dapat dijalankan
oleh pemerintah untuk menegakkan hukum administrasi negara materil adalah
paksaan pemerintahan. Organ pemerintahan memiliki wewenang untuk merealisasikan
secara nyata kepatuhan warga, jika perlu dengan paksaan, terhadap pelanggaran
peraturan perundangan-undangan tertentu atau kewajiban tertentu.
Paksaan pemerintahan dilihat dari bentuk eksekusi nyata,
dalam arti langsung dilaksakan tanpa perantaraan hakim dan biaya yang berkenan dengan pelaksanaan
paksaan pemerintahan ini secara langung dapat dibebankan kepada pihak
pelanggan.
Pelaksanaan
paksaan pemerintahan adalah wewenang
yang diberikan UU kepada pemerintah, bukan kewajiban. Kewenangan ini bersifat
bebas dalam arti pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut
inisiatifnya sendiri apakah menggunakan paksaan pemerintahan atau tidak. Salah
satu ketentuan hukum yang ada ialah bahwa pelaksanaan paksaan pemerintahan
wajib didahului dengan surat peringatan tertulis, yang dituangkan dalam bentuk
KTUN. Surat peringatan tertulis itu harus berisi hal-hal sebagai berkut.
1)
Peringatan harus
definitif, artinya keputusan itu harus ditujukkan bagi organ pemerintahan yang
sudah harus pasti.
2)
Organ yang
berwenang harus disebut
3)
Peringatan harus
ditujukkan kepada orang yang tepat
4)
Ketentuan yang
dilanggar harus jelas
5)
Pelanggaran nyata
harus digambarkan dengan jelas
6)
Peringatan harus
membuat penentuan jangka waktu
7)
Pemberian beban
jelas dan seimbang
8)
Pemberian beban
tanpa syarat
9)
Beban mengandung
pemberian alasannya
10) Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya
b.
Penarikan kembali KTUN yang Menguntungkan.
Keputusan yang menguntungkan artinya keputusan itu
memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu melalui
keputusan atau bilamana keputusan itu memberikan keringan yang ada atau mungkin
ada.
Salah satu sanksi dalam HAN adalah pencabutan atau penarikan
KTUN yang menguntungkan. Penarikan ini berarti meniadakan hak-hak yang terdapat
dalam keputusan itu oleh organ pemerintahan. Sanksi ini termasuk sanksi berlaku
ke belakang, yaitu sanksi yang mengembalikan pada situasi sebelum keputusan itu
dibuat. Sanksi ini diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan
atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah
diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan
izin yang dipegang oleh si pelanggar. Pencabutan suatu keputusan yang
menguntungksn ini adalah sanksi yang situatif.
Sebab-sebab pencabutan KTUN sebagai sanksi adalah sebagai
berikut:
1)
Yang berkepentingan
tidak mematuhi pembatasan-pembatasan,
syarat-syarat atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada
izin, subsidi, atau pembayaran;
2)
Yang berkepentingan
pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapat izin, subsidi, atau pembayaran
telah memberikan data yang salah atau tidak lengkap, sehingga apabila data itu
diberikan secara benar atau lengkap maka keputusan akan berlainan.[10]
Dalam penarikan
suatu keputusan yang telah dibuat harus diperhatikan asas-asas berikut ini.
1)
Suatu keputusan
yang dibuat karena yang berkepentingan menggunakan tipuan, senantiasa dapat
ditiadakan ab ovo (dari permulaan
tidak ada)
2)
Suatu keputusan
yang isinya belum diberitahukan kepada yang bersangkutan, jadi suatu keputusan
yang belum menjadi perbuatan yang sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, dapat
ditiadakan ab ovo.
3)
Suatu keputusan
yang bermanfaat bagi yang dikenainya dan yang diberi kepada yang dikenai itu
dengan beberapa syarat tertentu, dapat ditarik kembali pada waktu yang dikenai
tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan itu.
4)
Suatu keputusan
yang bermanfaat bagi yang dikenainya tidak boleh ditarik kembali seletah jangka
tertentu sudah lewat, bilamana oleh karena menarik kembali tersebut, suatu
keadaan yang layak di bawah kekuasaan keputusan keputusan yang bemanfaat itu
menjadi yang tidak layak.
5)
Oleh karena suatu
keputusan yang tidak benar, diadakan suatu keadaan yang tidak layak. Keadaan
ini tidak boleh ditiadakan, bilamana menarik kembali keputusan yang bersangkutan membawa kepada yang
dikenainya suatu kerugian yang sangat besar daripada kerugian yang oleh negara
diderita karena keadaan yang tidak layak tersebut.
6)
Menarik kembali
atau mengubah suatu keputusan , harus diadakan menurut cara (formalitas) yang sama sebagaimana yang ditentukan
bagi pembuat ketetapan itu (asas
contrarius actus).[11]
c.
Pengenaan Uang Paksa (dwangsom)
Dalam Hukum Aministrasi Negara, pengenaan uang paksa ini
dapat dikenakan pada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau
melanggar ketentuan yang yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagai alternatif
dari tindakan paksaan pemerintah.
Pengenaan uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan
nyata, yang berarti sebagai sanksi “subsidiari”
dan dianggap sebagai sanksi reparatoir. Persoalan hukum yang dihapadi dalam
pengenaan dwangsom sama dengan
pelaksaan paksaan nyata. Uang jaminan ini lebih banyak digunakan ketika
pelaksanaan bersuursdwang sulit
dilakukan.
d.
Pengenaan Denda Administratif
Menurut P. de Haan
dan kawan-kawan, pengenaan denda administratif tidak lebih dari sekadar reaksi
terhadap pelanggaran norma yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti,
terutama denda administrasi yang terdapat dalam hukum pajak. Penggenaan denda
administratif ini diberikan tanpa perantaraan hakim. Artinya pemerintah dapat
menerapakan secara arbitrer, tetapi
harus tetap memperhatikan asas-asas HAN baik tertulis maupun tidak tertulis.
Berkenaan dengan denda administratif ini, di dalam Algemene Bepalingen van
Administratif Recht, disimpulkan bahwa denda admninistrasi hanya dapat
diterapkan atas dasar kekuatan wewenang
yang diatur dalam undang-undang dalam arti formal.
C.
Pertanggungjawaban Pemerintah[12]
1.
Pengertian Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban berasal dari
kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.
Dalam kamus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban yaitu liability (the state of being liable) dan
responbility (the state of fact being responsible). Liability menunjuk pada
makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko dan
tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk
menunjuk semua karakter hak dan
kewajiban. Sementara responsibility berarti
hal dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan,
keterampilan, kemampuan dan kecakapan. Pertanggungjawaban menurut undang-undang
yaitu kewajiban mengganti kerugian yang timbul karena perbuatan melanggar hukum.
2.
Aspek Teoritik Pertanggungjawaban Hukum Pemerintah
a.
Pergeseran konsep dari kedaulatan negara menjadi
kedaulatan hukum
Ajaran kedaulatan negara
mengasumsikan bahwa negara itu berada di
atas hukum dan semua aktivitas negara
tidak dapat dijangkau hukum. Implikasi lebih lanjut, hukum adalah buatan negara atau dengan
merujuk pada John Austin yang menyebutkan law
is a command of the lawgiver,[13]
karena itu tidak logis buatan itu
menghakimi pembuatnya.
Dalam perspektif ilmu hukum, negara
atau pemerintah telah diakui sebagai subyek hukum. Negara atau pemerintah
adalah subyek hukum yang memiliki kedudukan istimewa dibandingkan subyek hukum
lain, akan tetapi negara tidak bebas dari tanggung jawab hukum dalam semua
tindakannya. Secara universal telah diakui bahwa setiap subyek hukum apapun
bentuknya tidak dapat melepasakan diri konsekuensi tindakan hukumnya.
b.
Ajaran tentang pemisahan (lembaga) kekuasaan negara
Ajaran ini menghendaki agar masing-masing lembaga negara itu berdiri
sendiri dengan peranan dan kekuasaannya sendiri-sendiri sesuai yang ditentukan
oleh konstitusi. Masing-masing lembaga
kekuasaan negara tidak boleh saling mempengaruhi atau intervensi, tetapi harus
saling menghormati.
Akan tetapi, konsep negara
hukum menghendaki agar setiap subyek
hukum melakukan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Setiap
badan hukum, apakah seseorang, badan hukum ataupun pemerintah jika melanggar
hukum dan menimbulkan kerugian, maka subyek hukum itu harus mengembalikan pada
keadaan semula. Jadi, ketika lembaga yudisial menyelesaikan masalah pelanggaran
hukum yang dibuat oleh pemerintah (lembaga eksekutif), itu tidak dapat disebut
sedang melakukan intervensi pada kegiatan pemerintahan.
c.
Perluasan makna hukum dari sekadar hukum tertulis
kemudian menjadi dan termasuk hukum hukum tidak tertulis.
Hukum tertulis (undang-undang)
adalah produk lemabaga negara (legislatif) yang dianggap sebagai barang sakral
yang menuntut kepatuhan dan ketaatan dari siapa pun. Dalam praktik, rumusan
undang-undang itu tidak lebih dari formulasi kepentingan sekelompok orang dan
tidak mencerminkan kesamaan kedudukan apalagi keadilan. Di luar undang-undang
ternyata ada nilai-nilai kebenaran, keadilan, kepatuhan dan nilai-nilai etik
lainnya yang dipegangi dan dipedomani oleh anggota masyarakat yang
dikategorikan atau disebut hukum tidak tertulis.
Dalam perkembangannya, hukum
tidak tertulis dapat diterima untuk diterapkan kepada siapa saja yang melanggar
hukum, termasuk pemerintah. Dengan kata
lain, pemerintah juga harus bertindak hati-hati, harus memperhatikan pula
kaidah-kaidah kecermatan. Jadi bukan saja jika pemerintah melanggar
undang-undang ia dapat dipersalahkan, tetapi juga apabila bertindak
bertentangan dengan kecermatan yang pantas.[14]
d.
Perluasan peranan dan aktivitas negara/pemerintah dari konsepsi nachtwachtersstaat ke welvaarsstaat
Sejak ditinggalkannya negara
‘penjaga malam’, yang menempatkan pemerintah hanya selaku penjaga ketertiban
keamanan serta tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan masyarakat, negara
melalui pemerintah beserta perangkatnya terlibat aktif dalam kehidupan
masyarakat yang menyebabkan kaburnya batas antara bidang privat dan publik.
Dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan umum, intervensi negara atau
pemerintah menjadi tak terelakan, bahkan semakin besar dengan freies ermessen yang dilekatkan
kepadanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya
memerlukan kebebasan bertindak.
Sebagai subyek hukum,
pemerintah dapat melakukan perbuatan hukum yang dapat menimbulkan akibat-akibat
hukum baik bersifat positif maupun akibat bersifat negatif. Akibat hukum yang
negatif memiliki relevansi dengan pertanggungjawaban karena dapat memunculkan
tuntutan dari pihak yang terkena akibat hukum yang negatif.
Dalam penyelenggaraan kenegaraan
dan pemerintahan, pertanggungjawaban itu melekat pada jabatan, yang secara
yuridis dilekati kewenangan. Dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan
inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum there is no authority without
responsibility.[15]
Namun, ukuran untuk menuntut
pemerintah itu bukan berdasarkan ada tidaknya kerugian, tetapi apakah
pemerintah itu dalam melaksanakan kegiatannya berdasarkan hukum (rechtmatig) atau melanggar hukum (onrechtmatig) dan apakah perbuatan itu
dilakukan untuk kepentingan umum atau bukan.
Seiring dengan dianutnya
konsepsi welfare state, kepada pemerintah
dibebani tugas melayani kepentingan umum dan kewajiban mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurszorg) yang dalam implementasinya pemerintah banyak
melakukan intervensi terhadap kehidupan warga
negara. Intervensi ini sering menimbulkan
kerugian bagi pihak-pihak
tertentu, apalagi dengan diberikannya kewenangan yang luas melalui freies ermessen.
3.
Pertanggungjawaban Pemerintah dalam HAN
Dalam melakukan berbagai
tindakan (termasuk tindakan hukum) pemerintah harus bersandar pada asas
legalitas. Tindakan hukum mengandung makna penggunaan kewenangan dan di
dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban. Tanggung jawab negara
terhadap warga negara atau pihak ketiga dianut oleh hampir semua negara.
Dalam perspektif hukum publik,
tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan
beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan perundang-undangan,
peraturan kebijakan, dan keputusan. Di samping itu, pemerintah juga sering
menggunakan instrumen hukum keperdataan seperti perjanjian dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Setiap
penggunaan wewenang dan penerapan instrumen hukum oleh pejabat pemerintahn pasti menimbulkan
akibat hukum, karena memang dimaksudkan untuk menciptakan hubungan hukum dan
akibat hukum.
Telah jelas bahwa setiap
penggunaan kewenangan itu di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun
demikian harus pula dikemukakan tentang cara-cara memperoleh dan menjalankan
kewenangan. Di samping penentuan kewajiban tanggung jawab itu didasarkan pada
cara-cara memperoleh kewenangan, juga harus ada kejelasan tentang siapa yang
dimaksud dengan pejabat dan kapan atau pada saat bagaimana seseorang itu
disebut dan dikategorikan sebagai pejabat.
Yang dimaksud dengan pejabat
adalah seorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan
perbuatan untuk dan atas nama jabatan.
Sementara seseorang itu disebut atau dikategorikan sebagai pejabat adalah
ketika ia menjalankan kewenangan untuk atau atas nama jabatan. Berdasarkan
keterangan di atas, tampak bahwa tindakan hukum yang dijalankan oleh pejabat
dalam rangka menjalankan kewenangan
jabatan atau melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama jabatan, maka
tindakannya itu dikategorikan sebagai tindakan hukum jabatan.
Mengenai pertanggungjawaban
pejabat ada dua teori yang dikemukakan oleh Kraenburg dan Vegting, yaitu; pertama, fautes personalles, yaitu teori
yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada
pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian, kedua, fautes de services, yaitu teori
yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan pada
instansi dari pejabat yang bersangkutan.[16]
Mengutip pendapat Logemann, hak
dan kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan penggantian pejabat.
Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa pemikul tanggung jawab itu
adalah jabatan. Oleh karena itu, ganti rugi juga dibebankan kepada instansi/jabatan, bukan kepada pejabat
selaku pribadi. Sebagaimana dikatakan Kranenburg dan Vegting bahwa
pertanggungjawaban dibebankan kepada korporasi (instansi, jabatan) jika suatu
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat itu bersifat objektif, dan
pejabat yang bersangkutan tidak dibebani tanggungjawab jika tidak ada kesalahan
subjektif. Sebaliknya pejabat atau pegawai itu dibebani tanggung jawab
ketika ia melakukan kesalahan subjektif.[17]
Untuk perbuatan melanggar hukum
lainnya, hanya wakil yang bertanggungjawab sepenuhnya; ia telah menyalahgunakan
situasi, dimana ia berada selaku wakil, dengan melakukan tindakan amoralnya
sendiri terhadap kepentingan pihak ketiga. Dalam hal demikian, pejabat tersebut
telah melakukan kesalahan subjektif atau melakukan maladministrasi.
Maladministrasi adalah perilaku
atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk
tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau
pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang
dilakukan oleh penyelenggara negara yang menimbulkan kerugian materil dan
immateril bagi masyarakat.[18]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perlindungan
hukum, penegakan hukum dan pertanggungjawaban hukum adalah tiga aspek penting
di dalam hukum administrasi negara. Perlindungan hukum bertujuan untuk
melindungi warga negara. Dalam hukum adminstrasi negara, perlindungan hukum
terdiri dari dua bidang yaitu perlindungan hukum dalam bidang perdata dan perlindungan hukum dalam bidang
publik.
Penegakan
hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak
menjadi kenyataan. Dalam mendukung tegaknya hukum, maka pemerintah atau para
penegak hukum melakukan pengawasan dan memberikan sanksi sanski. dalam hukum
administrasi negara, ada beberapa jenis sanksi yang diberikan, yaitu paksaan
pemerintah, penarikan kembali keputusan KTUN yang menguntungkan, pengenaan uang
paksa dan denda administratif.
Sementara,
pertanggungjawaban hukum adalah kewajiban pemerintah untuk mengganti kerugian
yang timbul karena perbuatan melanggar hukum. Pertanggungjawaban hukum oleh
pemerintah terjadi karena adanya pergeseran paham dari kedaulatan negara
menjadi kedaulatan hukum. Pemerintah sebagai subyek hukum memiliki kedudukan
yang sama dengan subyek hukum lain. Maka setiap perbuatannya yang melanggar hukum
harus dipertanggungjawabkan secara hukum juga.
[7] Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan
Hukum suatu Tinjauan Sosioogis, (Bandung:
Sinar Baru) hlm. 15
[8] Philipus Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press) hlm. 245
[11] W. F. Prins dan R. Kosim Adisaputra, dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2011)
hlm. 314
[16] Kranenburg dan Vegting Ridwan HR, Hukum
Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2011) hlm. 303-318 hlm.
345
Komentar