Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Pada 2015 Diperkirakan 5,2 Persen
Melemahnya Pertumbuhan Investasi dan Ekspor
Berdampak Pada Perubahan Proyeksi
Akibat
melemahnya pertumbuhan investasi dan ekspor, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
tahun 2015 diperkirakan mencapai 5,2 persen, sedikit di bawah proyeksi Bank
Dunia yang dirilis Juli 2014 lalu, yaitu sebesar 5,6 persen.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2014 diperkirakan
mencapai 5,1 persen, lebih rendah dari 5,2 persen yang sebelumnya diperkirakan.
Demikian terungkap pada laporan Indonesia Economic Quarterly, edisi
Desember 2014, yang dikeluarkan Bank Dunia, berjudulMembawa Perubahan.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat
mengakibatkan turunnya harga-harga sejumlah komoditas Indonesia, selain juga
memperkecil hadirnya peluang-peluang baru. Namun estimasi pertumbuhan yang
mengecil ini dapat berbalik arah, bila investasi melampaui harapan pada tahun
2015.
"Pembelanjaan pasar domestik di
Indonesia yang bertahan tinggi terus menopang pertumbuhan. Jika Indonesia
memperkuat fondasi ekonomi yang lain dan memperkuat iklim investasi, Indonesia
dapat mendorong kembali laju pertumbuhan yang lebih tinggi dan lebih pesat,”
kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves di
Jakarta.
Namun banyak tantangan lain yang harus
dihadapi. Misalnya, sampai akhir bulan Oktober, penyerapan belanja modal
Pemerintah (capital expenditure) hanya 38 persen dari persiapan pendanaan untuk
tahun 2014 -- jauh di bawah angka pada tahun 2012 dan 2013 untuk periode yang
sama.
Defisit neraca berjalan berkurang, namun
sedikit, yakni di angka USD 6,8 milyar atau 3,1 persen dari Produk Domestik
Bruto (PDB) pada triwulan ketiga tahun ini. Penurunan secara bertahap
diperkirakan akan terus berlangsung, dan defisit neraca berjalan diperkirakan
mencapai 2,8 persen pada tahun 2015
Penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
memberi dampak kepada inflasi, namun dampak tersebut bersifat sementara.
Inflasi diperkirakan akan mencapai 7,5 persen pada tahun 2015, dan menurun
pesat sebelum akhir tahun 2015, bila tidak ada gejolak lain.
Penghematan fiskal berjumlah lebih dari
Rp100 Triliun dari penyesuaian harga BBM kini memberikan ruang kepada
Pemerintah untuk menambah belanja publik bagi sektor-sektor yang prioritas,
seperti pelayanan kesehatan. Indonesia menghabiskan hanya 1,2 persen dari
PDB untuk pelayanan kesehatan; salah satu alokasi kesehatan terendah bila dibandingkan
negara-negara lain di dunia.
"Pembelanjaan yang lebih baik,
termasuk untuk pelayanan kesehatan dan program-program perlindungan sosial,
dapat mempercepat upaya pengentasan kemiskinan yang telah melambat beberapa
tahun terakhir. Tanpa dukungan tambahan ini terhadap upaya pengentasan
kemiskinan, tingkat kemiskinan di Indonesia - yang kini 11,3 persen - akan
tetap berada di atas 8 persen pada 2018 sekalipun," kata Ndiame Diop,
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia.
Komentar