HUKUM RUANG UDARA DAN RUANG ANGKASA
Ketentuan dan Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)
Sumber : Chinese Defence Ministry, EIA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari sudut ilmu bahasa kedaulatan dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan tertinggi atas pemeritahan negara, daerah, dan sebagainya. Dalam konteks ilmu tata negara, Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi yang mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Namun demikian dalam proses perkembangan lebih lanjut, telah terjadi perubahan makna kedaulatan negara.[1]
Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan negara bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks hukum internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan menghormati hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah negara lain.[2]
Lebih lanjut, berkaitan dengan arti dan makna kedaulatan, Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus dari suatu negara. Tanpa adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang dinamakan negara.[3]
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Berkenaan dengan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa hukum internasional maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan demikian suatu negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang ditetapkan melalui hukum internasional.
Sesuai Konvensi Chicago 1944, dalam pasal 1 dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah : (1). Setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya; (2). Tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral.
Namun dalam praktek pelaksanaannya ternyata ada beberapa Negara yang memberlakukan jalur tambahan secara sepihak yang dikenal dengan istilah Air Defence Identification Zone (ADIZ). Hal inilah yang menarik penulis untuk membahas masalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjelasan diatas, maka penulis mengangkat rumusan masalah:- Bagaimanakah ketentuan hukum udara yang disepakati menurut ketentuan hukum internasional?
- Bagaimanakah status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut hukum udara internasional?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
- Untuk mengetahui ketentuan hukum udara yang disepakati menurut ketentuan hukum internasional.
- Untuk mengetahui status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut hukum udara internasional.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah:
- Dapat menjelaskan ketentuan hukum udara yang disepakati menurut ketentuan hukum internasional.
- Dapat menjelaskan status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut hukum udara internasional.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Ketentuan Hukum Udara Internasional
2.1.1 Konvensi Paris 1919
Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris 1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka.[4]
Ratifikasi Konvensi Paris berjalan sangat lambat karena ada beberapa ketentuan yang tidak atau kurang disetujui oleh Negara peserta Konferensi, antara lain ketentuan yang menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Pasal 5: “...no contracting State shall, except by a special and temporary authorization, permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the nationality of a contracting State”. Pasal ini hendak menegaskan bahwa ada pembatasan terhadap masalah lintas.Pembatasan tersebut mempunyai hubungan dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara negara anggota Konvensi.[5]
Selanjutnya hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah ketentuan Pasal 2 Konvensi Paris yang menyatakan:
“Each contracting State undertakes in time of peace to accord freedom of innocent passage above its territory to the aircraft of the other contracting States, provided that the conditions laid down in the present Convention are observed. Regulations made by a contracting State as to the admission over its territory of the aircraft of the other contracting States shall be applied without distinction of nationality”
Ketentuan Pasal 2 ini mengandung arti bahwa masalah lintas diberikan kepada pesawat udara komersial dan non-komersial, tetapi dalam batas pesawat udara negara anggota Konvensi saja. Dengan demikian, pesawat udara negara anggota Konvensi berhak melintasi wilayah udara negara anggota Konvensi yang lain tanpa terlebih dahulu mendapat izin pemerintah negara yang disebut terakhir.[6]
2.1.2 Konvensi Chicago 1944
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang merupakan penegasan dari Konvensi Paris 1919, menyatakan: “...The Contracting State recognized that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”. Pasal ini mengatur tentang kedaulatan yang dimiliki oleh negara peserta Konvensi di ruang udara di atas wilayahnya. Walaupun konsep kedaulatan bukan merupakan prinsip ekonomi, karena lebih tepat disebut konsep politik, namun demikian, dari Pasal 1 Konvensi ini dapat ditarik suatu konsekuensi ekonomi yang penting, bahwa setiap negara memiliki hak untuk menutup ruang udara di atas wilayahnya dari usaha komersial yang dilakukan oleh negara asing.
Dengan cara ini suatu negara dapat melakukan monopoli angkutan udara untuk ke dan dari wilayahnya. Oleh karena itu, demi menjamin terciptanya ketertiban lalu lintas penerbangan sipil internasional diperlukan kesediaan negara-negara untuk membuat perjanjian internasional baik bilateral, regional, plurilateral maupun multilateral mengenai hak-hak komersial. Pasal 5 Konvensi menyatakan:
“Each contracting State agrees that all aircraft of the other contracting States, being aircraft not engaged in scheduled international air services shall have the right, subject to the observance of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop across its territory and to make stops for non-traffic purposes without the necessity of obtaining prior permission, and subject to the right of the State flown over to require landing. Each contracting State nevertheless reserves the right, for reasons of safety of flight, to require aircraft desiring to proceed over regions which are inaccessible or without adequate air navigation facilities to follow prescribed routes, or to obtain special permission for such flights. Such aircraft, if engaged in the carriage of passengers, cargo, or mail for remuneration or hire on other than scheduled international air services, shall also, subject to the provisions of Article 7, have the privilege of taking on or discharging passengers, cargo, or mail, subject to the right of any State where such embarkation or discharge takes place to impose such regulations, conditions or limitations as it may consider desirable”.
Pasal 5 menyatakan bahwa penerbangan non-schedule yang melintasi batas wilayah negara, baik penerbangan yang bersifat non-trafic maupun penerbangan traffic yaitu mengangkut dan menurunkan barang atau surat, harus mendapatkan izin dari negara kolong dan selama penerbangan diharuskan mematuhi semua peraturan yang ditetapkan negara kolong. Pasal ini erat kaitannya dengan pertukaran hak-hak komersial untuk penerbangan non-scheduleinternasional. Sedangkan Pasal 6 Konvensi mengatur tentang penerbangan terjadwal internasional yang berbunyi:
“No scheduled international air service may be operated over or into the territory of a contracting State, except with the special permission or other authorization of that State, and in accordance with the terms of such permission or authorization”.
Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa penerbangan sipil yang melayani pengangkutan terjadwal internasional (schedule international) hanya dapat beroperasi apabila sebelumnya telah diberikan izin berupa suatu “permission” atau pemberian hak lainnya oleh negara yang melintasi rute penerbangannya. Dengan perkataan lain, pengoperasian angkutan udara terjadwal internasional memerlukan adanya perjanjian antar negara, baik secara bilateral maupun secara multilateral.
Adapun 6 (enam) dokumen hasil Konperensi Chicago, yaitu :
- The Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention 1944).
- International Air Services Transit Agreement (IASTA).
- International Air Transport Agreement (IATA).
- Draft of 12 Tehnical Annexes (Annex 1 – 12).
- Standard form of Bilateral Agreement (Chicago Form Agreement).
- The Provisional International Civil Aviation Organization (PICAO).
Sembilan puluh enam pasal dari konvensi ini menetapkan hak-hak khusus dan kewajiban-kewajiban bagi semua negara-negara peserta. Konvensi Chicago 1944 yang ditandatangani di Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 dengan anggota berjumlah 152 negara termasuk Indonesia, dinilai mengandung kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah adanya pertentangan kepentingan antara penegakan kedaulatan negara secara maksimal dengan kekerasan senjata yang berlawanan dengan kepentingan melindungi keselamatan jiwa manusia di dunia penerbangan sipil. Sehingga pada tanggal 10 Mei 1984 di Montreal telah ditandatangani protokol yang merubah Konvensi Chicago (Amandement to Chicago Convention 1944) dengan memasukkan pasal 3 Bis, mengenai:
1) Kewajiban hukum untuk tidak menggunakan senjata terhadap pesawat udara sipil (kemanusiaan).
2) Negara berhak memerintahkan pesawat udara sipil pelanggar untuk mendarat dibandar udara yang ditentukan.
3) Negara diminta menggunakan prosedur pencegatan (Interception) terhadap pesawat udara sipil.
4) Setiap pesawat udara sipil harus mematuhi instruksi yang diberikan oleh pesawat udara negara yang melakukan pencegatan.
5) Setiap negara harus menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya ketentuan hukum yang berat bagi para pelaku dan operator pesawat udara sipil, yang dengan sengaja bertentangan dengan Konvensi ini.
Dalam melakukan penyergapan harus diperhatikan tata cara sebagaimana diatur dalam Attachment dari Annex 2 Rules of the Air. Untuk menjamin adanya tingkat keselamatan yang optimal bagi penerbangan maka negara melalui ICAO menetapkan standard dan recommended practices untuk bisa diikuti oleh setiap negara dalam menyelenggarakan pengendalian ruang udara di atas wilayah kedaulatannya. Bila terdapat negara yang dalam menentukan pengendalian ruang udara di atas wilayah kedaulatannya berlainan dari standar yang ditetapkan ICAO, maka negara tersebut wajib memberitahukan perbedaannya tersebut kepada ICAO sehingga bisa diketahui oleh negara-negara lain. Daftar negara-negara yang mempunyai perbedaan pengaturan dari standar ICAO beserta isi perbedaannya dicantumkan dalam suplemen annex yang bersangkutan. Sedang bagi penerbangan di atas wilayah yang tidak termasuk kedaulatan suatu negara (laut lepas), ICAO menetapkan aturanketentuan pengaturan penggunaan ruang udara (annexes) yang direkomendasikan untuk diikuti oleh semua negara.
2.2 Air Defence Identification Zone (ADIZ) Menurut Hukum Internasional
2.2.1 Batas Kedaulatan Wilayah Udara
Konvensi Chicago 1944 merupakan landasan berpijak dari ketentuan-ketentuan hukum udara internasional. Kedaulatan wilayah udara negara diatur dalam Konvensi Chicago yang menyatakan: the contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. Hukum internasional tidak memberikan hak untuk lintas damai melalui ruang udara, dan untuk memasuki ruang udara suatu negara dibutuhkan ijin dari negara dimana wilayah udaranya akan dimasuki. Ruang udara sepenuhnya tunduk kepada kedaulatan (sovereignty) yang lengkap dan eksklusip dari negara kolong (subjacent state) sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengenai Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation).[7]
Apabila mempelajari Konvensi Chicago 1944 maka terlihat bahwa tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat dimliki oleh suatu negara bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal. Kembali kepada Pasal 1 Konvensi Chicago khususnya pada kata “complete and exclusive”, maka timbullah pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kata ini bahwa kedaulatan negara di ruang udara dapat digunakan dan dilaksanakan secara penuh dan eksklusif tanpa memperhitungkan kepentingan negara lain. Namun pada Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan apakah yang dimaksud dengan penuh (complete) adalah negara yang berada di bawah ruang udara mempunyai hak secara penuh atau utuh untuk mengatur ruang udara yang berada di atasnya, dan pada Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 yang dimaksud dengan eksklusif (exclusive) adalah negara lain yang ingin memasuki wilayah udara suatu negara harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara kolong tersebut.
Seperti telah diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line). Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982.
Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional. Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara yang dikenal dengan istilah A.D.I.Z. (Air Defence Identification Zone).
2.2.2 Latar Belakang Penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)
Setiap Negara akan selalu berupaya melaksanakan pertahanan/bela diri (Self Defence) dan pengawasan terhadap kondisi keamanan di wilayah udaranya dari berbagai bentuk ancaman. Hal inilah yang melatarbelakangi banyak negara didunia termasuk Amerika membuat/menetapkan zona petunjuk pertahanan udara atau Air Defense Identification Zone (ADIZ). Kawasan ADIZ tersebut dapat ditetapkan merentang jauh keluar sampai ratusan kilometer di wilayah udara bebas sesuai dengan kepentingan negara dalam upaya mendeteksi bahaya-bahaya yang mungkin datang dari udara.
Dalam rangka pelaksanaan kedaulatan negara di ruang udara tersebut sering negara-negara menetapkan pada bagian tertentu wilayah ruang udaranya sebagai daerah bahaya, daerah terbatas, dan daerah terlarang untuk semua penerbangan. Biasanya daerah ini adalah daerah militer atau daerah latihan atau daerah-daerah obyek vital nasional, serta pembatasan-pembatasan penerbangan pada daerah-daerah tertentu lainnya.
ADIZ merupakan zona bagi keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut, namun penetapan ADIZ yang demikian tidak dimaksudkan untuk memperluas kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas yang tecakup dalam ADIZ negara itu. yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat udara. Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara. ADIZ adalah wilayah di mana semua pesawat terbang sipil atau militer yang melintas harus melaporkan diri kepada pengawas penerbangan militer. Sistem pelaporannya berbeda dengan sistem pengaturan lalu lintas udara sipil. Karena tujuannya untuk pertahanan udara di wilayah negara, tentu saja sistem ini didukung oleh sistem radar yang terkoneksi dengan sistem persenjataan pertahanan udara. Sistem persenjataan pertahanan udara inilah yang menjadi faktor penentu keberhasilan ADIZ.
2.2.3 Dasar Hukum Penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)
Air Defence Identification Zone (ADIZ) dibentuk atas dasar keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut. Pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem pertahanan udara nasional. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah asas bela diri (self defence) yang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB[8]. Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari kekuatan dari luar (negara lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan internasional (customary international law). Hak untuk membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada hakekatnya memang merupakan sesuatu hak yang melekat. Ketentuan dalam Pasal 51 piagam PBB tersebut bukan semata-mata menciptakan hak tetapi secara eksplisit hak membela diri itu memang diakui menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Hak untuk membela diri yang diatur dalam piagam PBB pasal 51. Pasal itu berbunyi:
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take anytime such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”
Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersirat dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux prepatoires dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent). Bunyi pasal 51 memang tidak menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata secara terbatas. Higgins misalnya berpendapat bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan bersenjata dalam kerangka hak membela diri baik secara individual maupun kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik. Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek Negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindungi diri (self preservation). Bowett misalnya mengatakan bahwa pasal 51 diartikan hak untuk membela diri bukan membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri. Selain itu ADIZ juga diatur dalam Document 9426-AN/924 First Edition 1984 ICAO (International Civil Aviation Organization), pada chapter 3 tentang Airspace Organization Ayat 3.3.4 Special Designated Airspace yang mengakui keberadaan ADIZ suatu Negara.
Selain itu, dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan Hukum kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara- negara pada umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan.
Dalam konteks sejarah pembentukan ADIZ di level internasional, pertama kali diperkenalkan oleh Amerika Serikat pada bulan Desember 1950, semasa perang Korea. Lima bulan kemudian Canada juga mengeluarkan sejumlah peraturan yang diberi nama : Rules for the Security Control of Air Traffic. Sama dengan Amerika Serikat, peraturan yang dikeluarkan oleh Canada itu maksudnya untuk, in the interest of national security, to identify, locate and control aircraft operation within areas designated as “Canadian Air Defence Identification Zone” (CADIZ).
2.2.4 Teori Berlakunya Air Defense Identification Zone (ADIZ)
a. Teori Penguasaan Cooper (Cooper’s Control Theory).
Pada tahun 1951 Cooper telah mengajukan pendiriannya bahwa kedaulatan negara itu ditentukan oleh kemampuan negara-negara yang bersangkutan untuk menguasai ruang yang ada di atas wilayahnya. Cooper menyatakan :
“....in the absenceof international agreement, that the territory of every state extends upward as far into space as it is physically and scientifically possible for any one state to control the regions of space directly above it”.[9]
Teori cooper ini telah dipergunakan oleh Amerika Serikat dan Canada dengan ADIZ dan CADIZ.[10] Usaha-usaha Amerika Serikat dan Canada yang menetapkan beberapa bagian dari Lautan Pasifik dan Lautan Atlantik sebagai daerah kemanan yang disebut dengan ADIZ dan CADIZ sebenarnya bertitik tolak kepada pengamanan negaranya dari usaha gangguan keamanan yang mungkin tiba-tiba terjadi.
b. Teori Air Defense Identification Zone
Peter A Dutton seorang Profesor di U.S Naval War College dalam tulisan yang berjudulCaelum Liberam : Air Defense Identification Zones Outside menyatakan bahwa ADIZ sebagai wilayah untuk melakukan identifikasi sebelum pesawat terbang asing memasuki wilayah udara kedaulatan, dimulai dari luar wilayah kedaulatan udara suatu negara hingga memasuki wilayah kedaulatan udaranya.
Penentuan ADIZ didasari dengan perhitungan terhadap ancaman yang benar-benar potensial serta lokasi obyek-obyek vital nasional yang mendapat prioritas untuk dipertahankan dari kemungkinan serangan udara lawan. Setiap negara berhak membentuk ADIZ di wilayah udara yang berada dibawah kedaulatan dan yurisdiksinya, namun penetapan ADIZ yang demikian tidak dimaksudkan untuk memperluas kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas yang tercakup dalam ADIZ negara itu. Pesawat udara sipil maupun pesawat udara militer yang berada dalam zona tersebut, dan akan terbang mengarah ke pantai negara pendiri ADIZ diwajibkan memberikan laporan rencana penerbangan (flight plan) kepada negara pemilik ADIZ. Bagi pesawat udara yang tidak melakukan kewajiban tersebut akan menghadapi tindakan intersepsi (penyergapan) oleh negara pemilik ADIZ. Adapun efektifis ADIZ ini dapat dicapai apabila didukung dengan sistem “Air Traffic Control” (ATC) yang mampu bertindak korelatif dengan sistem pertahanan udara nasional.[11]
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Ketentuan Hukum Udara telah dibahas dalam Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara yang kemudian menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Selain itu, untuk melengkapi kekurangan yang ada dalam Konvensi Paris, maka diadakan Konvensi Chicago 1944 yang ditandatangani di Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 dengan anggota berjumlah 152 negara termasuk Indonesia. Namun, Konvensi Chicago 1944 dinilai mengandung kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah adanya pertentangan kepentingan antara penegakan kedaulatan negara secara maksimal dengan kekerasan senjata yang berlawanan dengan kepentingan melindungi keselamatan jiwa manusia di dunia penerbangan sipil. Sehingga pada tanggal 10 Mei 1984 di Montreal telah ditandatangani protokol yang merubah Konvensi Chicago (Amandement to Chicago Convention 1944) dengan memasukkan pasal 3 Bis.
2. Dasar hukum pendirian ADIZ secara tersurat dalam hokum Internasional pada dasarnya tidak ada, namun beberapa Negara menggunakan landasan asas bela diri (self defence) yang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB. Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari kekuatan dari luar (negara lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan internasional (customary international law). Hak untuk membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada hakekatnya memang merupakan sesuatu hak yang melekat. Ketentuan dalam Pasal 51 piagam PBB tersebut bukan semata-mata menciptakan hak tetapi secara eksplisit hak membela diri itu memang diakui menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Hak untuk membela diri yang diatur dalam piagam PBB pasal 51. Selain itu ADIZ juga diatur dalam Document 9426-AN/924 First Edition 1984 ICAO (International Civil Aviation Organization), pada chapter 3 tentang Airspace Organization Ayat 3.3.4 Special Designated Airspace yang mengakui keberadaan ADIZ suatu Negara.
[1] Suryo Sakti Hadiwijoyo,2011, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 2-3.
[2] Ibid, hal. 4.
[3] Fred Isjwara, 1996, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta: Bandung, hal. 9.
[4] Pasal 1 Konvensi Paris 1919: “The High Contracting Parties recognise that every Power has complete and exclusive sovereignty the air space above its territory”.
[5] Frans Likada, 1987, Masalah Lintas di Ruang Udara, Binacipta, Bandung, hlm. 8
[6] Ibid., hlm. 9
[7] Ida Bagus Rahmadi Supancana, 2003, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Jakarta : CV Mitra Karya, hal. 294.
[8] Yuwono Agung Nugroho, 2006, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Jakarta : Bumi Intitama, hal. 94-95.
[9] Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977, hlm. 103.
[10] Ibid, hlm. 153
[11] Azhari, 2005, “Pengaturan Intersepsi Dalam Annex 2 Konvensi Chicago tahun 1944 dan Implementasinya dalam Penegakan Kedaulatan Atas Wilayah Udara Nasional Indonesia, Tesis, Universitas Padjajdjaran, Hal. 111.
Komentar