Eksistensi Verdoovende Middelen Ordonantie 1927
A.
PENDAHULUAN
Penyalahgunaan
narkotika adalah salah satu kejahatan yang grafiknya terus meningkat. Hampir
semua masyarakat dengan tanpa membedakan status sosial dapat dimasuki oleh
narkotika dan psikotropika, seperti anak-anak, pelajar, mahasiswa, selebritis,
lembaga profesional dan tidak sedikit para oknum pejabat.
Narkotika
merupakan salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana yang disepakati (concensual
crimes). Semua pihak terlibat dalam tindak pidana narkotika dan
psikotropika. Para pihak menjadi pelaku dan sekaligus korban. Sebagai tindak
pidana yang disepakati, antara pelaku dan korban telah bersama-sama
sepakat dalam tindak pidana ini sehingga untuk menentukan sebagai korban akan
semakin rancu dan tidak jelas.
Peredaran
gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi muda telah
menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata
sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai
manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan
narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan.
Peraturan
perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika
sangat diperlukan, apalagi tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk
kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis,
menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih serta dilakukan
secara terorganisir (organizeci crime) dan sudah bersifat transnasional
(transnational crime).
Sejarah
penyalahgunaan narkotika juga telah sejak lama terjadi di Indonesia. oleh
karena itu muncullah berbagai aturan yang mengatur tentang Narkotika. Pada
zaman penjajahan Belanda, misalnya telah dibuat aturan tentang obat bius, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie
1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan
penggunaan obat bius.
Setelah itu, muncullah UU No. 9 Tahun 1976 sebagai pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah
kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927
No. 278 yo No. 536) tersebut.
B.
Eksistensi Verdoovende Middelen Ordonantie 1927
Pada jaman Hindia
Belanda telah diterbitkan Verdoovende
Middelen Ordonatie (V.M.O) Stbl.
1927 No.278 Jo. no.536 yang telah diubah dan ditambah yang dikenal dengan
Undang-Undang Obat Bius. Walaupun telah ada peraturan yang mengatur tentang
permasalahan narkoba, namun secara kelembagaan belum dibentuk lembaga yang
khusus untuk menangani masalah narkoba, baik pada jaman penjajahan,
maupun juga pada pemerintahan orde lama.
Pada masa itu, permasalahan narkoba di
Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan masyarakat terus memandang dan
berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang
karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan
ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap
ancaman bahaya narkoba. Sebagian orang berduit mulai mencoba menggunakan
narkoba dengan berbagai alasan.
Pemerintah
Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan
pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang.
Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional,
yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang.
Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).
Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).
Ganja
(Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah
sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari.
Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu
itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Untuk menghindari pemakaian dan
akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang
mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto
536). Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat
lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam
perundang-undangan tersebut.
Setelah
kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang
menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya
(Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan
untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949).
Baru
pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi
masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang
mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di
Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian
besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula
di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.
Menyadari
hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan
membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71,
yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan
penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara,
yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja,
kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.
Kemajuan
teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang
narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka
pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang
Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya
tentang peredaran gelap (illicit traffic).
Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik
(pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit
terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.
Dengan
semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba diIndonesia, maka UU Anti
Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU Anti Narkotika nomor 22/1997,
menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut
mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika,
dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.
Komentar