Hukum Agraria
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hubungan negara dengan individu yang
berkaitan dengan tanah tercermin dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 yakni: bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Pasal ini kemudian menjadi visi, misi, dan spirit Undang-undang Dasar
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dengan Land Reform sebagai agenda utama.
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
1945 mengandung amanat konstitusional yang sangat mendasar yaitu bahwa
pemanfaatan dan penggunaan tanah dan seluruh kekayaan alam harus dapat
mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi seluruh
rakyat Indonesia. Hal ini berarti pula bahwa setiap hak atas tanah dan
sumber-sumber agraria lainnya dituntut kepastian mengenai subjek, objek, serta
pelaksanaan kewenangan haknya.
Dengan demikian, visi, misi dan
spirit UUPA 1960 sebagai produk turunan Pasal 33 UUD 1945 sangat jelas berorientasi
pada perwujudan tujuan NKRI, yaitu kesejahteraan (welfare state), dan kesejahteraan dapat dinikmati jika keadilan
sudah diperoleh.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, pembahasan masalah
akan dibatasi berdasarkan rumusan berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan agraria?
2. Apa pengertian dari hukum agraria?
3. Apa yang dimaksud dengan hukum tanah?
4. Bagaimana pembidangan dan pokok
bahasan hukum agraria?
5. Apa saja yang menjadi sumber hukum
tanah Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agraria
Kata agraria
mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa
lainnya. Istilah
agraria berasal dari kata akker (Bahasa
Belanda), agros (Bahasa Yunani)
berarti tanah pertanian, agger (Bahasa
Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, agrarian
(Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.[1]
Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti 1) urusan pertanian atau
tanah pertanian, 2) urusan pemilikan tanah.[2]
Menurut Andi Hamzah, agraria adalah
masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan di atasnya. Menurut Subekti dan
R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam
dan di atasnya. Apa yang ada di dalam tanah misalnya batu, kerikil, tambang,
sedangkan yang ada di atas tanah dapat berupa tanaman, bangunan.[3]
Selain pengertian agraria
dilihat dari segi terminologi bahasa sebagaimana di atas, pengertian agraria
dapat pula diketemukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat
ditemukan jika membaca konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam
ketentuan UUPA itu sendiri. Oleh karena itu, pengertian agraria dan hukum
agraria mempunyai arti atau makna yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi
bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
(Pasal 1 ayat (2)).[4]
Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat
(4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang
berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA adalah tanah.
Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan
pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka
3 Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan, disebutkan bahwa
pengertian air meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari
sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah,
tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut.[5]
Pengertian ruang angkasa menurut
Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia. Pengertian
ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung
tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
Kekayaan alam yang terkandung di
dalam bumi disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih
dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan
endapan-endapan alam (Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan). Kekayaan alam yang terkandung di air
adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman
dan laut wilayah Indonesia (Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan).[6]
Pengertian agraria
juga sering dikaitkan dengan corak kehidupan suatu masyarakat atau bangsa,
misalnya Indonesia sebagai negara agraris, yaitu suatu bangsa yang sebagian
besar masyarakatnya hidup dari bercocok tanam (bertani) atau kehidupan
masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian. Agraris sebagai kata sifat
dipergunakan untuk membedakan corak kehidupan masyarakat pedesaan yang bertumpu
pada sektor pertanian dengan corak kehidupan masyarakat perkotaan yang bertumpu
pada sektor non-pertanian (perdagangan, industri, birokrasi).[7]
Dari beberapa pengertian agraria di
atas, dapat dipahami bahwa pengertian agraria dalam arti sempit hanya mencakup
tanah atau permukaan bumi. Sedangkan pengertian agraria dalam arti luas
meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini bukan dalam pengertian fisik,
melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak.
B.
Pengertian Hukum Agraria
1.
Definisi Hukum
Sebelum membahas
pengertian hukum agraria, terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai definisi
hukum. Istilah hukum identik dengan istilah law
dalam bahasa Inggris, droit dalam
bahasa Perancis, Recht dalam bahasa
Jerman, recht dalam bahasa Belanda,
atau dirito dalam bahasa Italia.
Menurut Ensiklopedia Indonesia, hukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan-peraturan,
tata aturan, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, yang menentukan atau
mengatur hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat.[8]
Von Savigny
melihat hukum dari perspektif sejarah adanya hukum. Menurutnya, Das Recht wird nich gemacht, es ist und wird
mit dem Volke (hukum tidak dibuat, ia ada dan menyatu dengan bangsa).
Artinya, hukum berakar pada sejarah manusia sehingga dihidupkan oleh keadaan,
keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat bangsa. Padmo Wahyono lebih melihat
hukum sebagai sarana (tool) dengan
membatasi hukum sebagai alat atau sarana untuk menyelenggarakan kehidupan
negara atau ketertiban dan sekaligus merupakan sarana untuk menyelenggarakan
kesejahteraan sosial.[9]
Pengertian hukum
yang lebih prosedural implementatif dikemukakan oleh Utrecht dan Mochtar
Kusumaatmadja. Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang
berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu
masyarakat dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh masyarakat itu.[10] Oleh karena itu,
pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah.
Sementara itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum merupakan keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
dan juga mencakupi lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya
kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.[11]
Mengacu pada
beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum dibuat dalam rangka
mengendalikan tingkah laku manusia sekaligus melindungi kepentingan manusia
baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial yang hidup dalam
suatu masyarakat. Pembuatan hukum harus bermuara pada terciptanya kebaikan
bersama dan terwujudnya keadilan dalam masyarakat.
2.
Pengertian Hukum Agraria
Menurut Black Law’s Dictionary, hukum agraria adalah hukum yang mengatur
kepemilikan, penggunaan, dan distribusi tanah pedesaan. Agrarian laws juga menunjuk pada perangkat peraturan hukum yang
bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih
meratakan penguasaan dan pemilikannya.[12]
Hukum agraria dalam bahasa Belanda
disebut Agrarisch recht yang
merupakan istilah yang dipakai dalam lingkungan administrasi pemerintahan.
Dengan demikian Agrarisch recht dibatasi
pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan bagi para
penguasa dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan.[13]
Menurut Soedikno
Mertokusumo, hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria. Bachsan Mustofa
menjabarkan kaidah hukum yang tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk hukum
undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya yang dibuat oleh negara,
sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk
hukum adat agraria yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang
pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat
yang bersangkutan.[14]
Menurut Soebekti
dan R. Tjitrosoedibio, hukum agraria (Agrarisch
recht), adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum
perdata, maupun hukum tata negara (Staatsrecht)
maupun pula hukum tata usaha negara (Administratifrecht)
yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi,
air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula
wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.[15]
Boedi Harsono
menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum.
Hukum Agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing
mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas:
a.
Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
tanah, dalam arti permukaan bumi.
b.
Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
c.
Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan
atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Pertambangan.
d.
Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
e.
Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam
Ruang Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Utrecht
memberikan pengertian yang sama pada hukum agraria dan hukum tanah, tetapi
dalam arti yang sempit meliputi bidang hukum administrasi negara. Menurutnya,
hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian hukum tata usaha negara yang
menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan sehingga
memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria
melakukan tugas mereka.[16]
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa hukum agraria merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur agraria, baik
dalam pengertian sempit yang hany mencakup permukaan bumi (tanah) maupun dalam
pengertian luas, mencakup bumi, air, ruanag angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
C. Pengertian Hukum Tanah
Sebagai
pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan bumi yang
paling atas. Yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah
garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan
untuk mendirikan bangunan disebut tanah bangunan.
Tanah, dalam
lingkup agraria, merupakan bagian dari bumi, yakni permukaan bumi sebagaimana
bunyi ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUPA:
Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan hukum.[17]
Atas dasar
ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah diberi wewenang
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air
serta ruang yang di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan langsung yang
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Menurut Effendi
Perangin bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah
yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum yang konkret.[18]
Hukum Tanah
adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum
yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari
secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan
satu sistem.[19]
Objek hukum tanah
adalah hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak penguasaan atas
tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Objek
hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi hak penguasaan
atas tanah sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret.[20]
Sebagai lembaga hukum, hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan
tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya. Sebagai
hubungan hukum yang konkret, hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan
dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu
sebagai subjek atau pemegang haknya.[21]
Hierarki
hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional yaitu hak bangsa
Indonesia, hak menguasai dari negara, hak ulayat masyarakat hukum adat, dan
hak-hak perseorangan. Hak bangsa Indonesia merupakan hak penguasaan atas tanah
yang tertinggi dan menjadi sumber bagi hak-hak penguasaan atas tanah yang
lainnya.
Rumusan Pasal 1
ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah
air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Itu
artinya, tanah di seluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa
Indonesia.[22]
Terkait hak
menguasai negara, konsepsinya secara normatif diatur dalam Pasal 2 UUPA. Hak
ini tidak memberikan kewenangan untuk menguasai secara fisik tetapi semata-mata
sebagai kewenangan publik. Negara diberikan kewenangan untuk mengatur tanah dan
unsur-unsur sumber daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional.
Perincian
kewenangan negara tersebut diatur dengan jelas dalam ayat (2), yang mencakup:
1.
Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang
angkasa tersebut.
2.
Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3.
Menentukan dan mengatur
hubungan-hubunngan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.[23]
Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam wilayah
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengakuan terhadap hak ulayat ini
ditegaskan dalam Pasal 3 UUPA. Substansinya ialah bahwa keberadaan hak ulayar
diakui sepanjang hak ulayat itu masih hidup dan pelaksanaannya tetap
memperhatikan ketentuan-ketentuan UUPA serta kepentingan pembangunan.[24]
Hak-hak perseorangan meliputi hak-hak atas tanah, hak atas tanah wakaf,
hak jaminan atas tanah, dan hak milik atas satuan rumah susun. Hak atas tanah
yang bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada
perseorangan baik kepada warga negara Indonesia maupun warga negara asing, sekelompok
orang secara bersama-sama, dan badan hukum, baik badan hukum privat maupun
badan hukum publik.[25]
Dalam kaitannya
dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada dua
macam asas dalam hukum tanah, yaitu:
1.
Asas Accessie
atau Asas Perlekatan
Dalam asas ini,
bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah merupakan satu kesatuan; bangunan
dan tanaman tersebut bagian dari tanah yang bersangkutan. Hak atas tanah dengan
sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada
di atas tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak yang
membangun atau menanamnya. Perbuatan hukum mengenai tanah dengan sendirinya
karena hukum juga bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.[26]
2.
Asas Horizontale
Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal
Dalam asas ini,
bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan bagian dari tanah.
Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman
yang ada di atasnya.
Perbuatan hukum
mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman milik yang
punya tanah yang ada di atasnya. Jika perbuatan hukumnya dimaksudkan meliputi
juga bangunan dan tanamannya, maka hal ini secara tegas harus dinyatakan dalam
akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan.[27]
D. Pembidangan dan Pokok Bahasan Hukum Agraria
Secara garis
besar, Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi dua bidang, yaitu:
1.
Hukum Agraria Perdata (Keperdataan)
Adalah
keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan dan badan
hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum
yang berhubungan dengan tanah (obyeknya). Contoh: jual beli, hak atas tanah
sebagai jaminan utang ( hak tanggungan), pewarisan.
Pasal 1457 KUH
Perdata menyebutkan, jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan.[28]
Sedangkan menurut hukum tanah, jual beli tanah adalah penyerahan tanah yang
bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana
pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.[29]
Terdapat
perbedaan antara jual beli tanah menurut KUH Perdata dan menurut hukum tanah. Menurut
KUH Perdata, hak atas tanah belum beralih pada saat jual beli berlangsung,
untuk itu harus dilakukan penyerahan (levering).
Sedangkan menurut hukum tanah, pada saat jual beli itu hak atas tanah itu
langsung beralih dari penjual kepada pembeli.
2.
Hukum Agraria Administrasi (Administratif)
Adalah
keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi wewenang kepada pejabat dalam
menjalankan praktek hukum negara dan mengambil tindakan dari masalah-masalah
agraria yang timbul. Contoh: pendaftaran tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak
atas tanah.[30]
Sebelum
berlakunya UUPA, hukum agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5
perangkat hukum, yaitu:
1.
Hukum Agraria Adat
Yaitu keseluruhan
dari kaidah-kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum adat dan berlaku
terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh
hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah adat atau tanah Indonesia.[31]
Hukum agraria
adat terdapat dalam hukum adat tentang tanah dan air (bersifat intern), yang
memberikan pengaturan bagi sebagian terbesar tanah di negara. Hukum agraria adat
diberlakukan bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat. Misalnya tanah (hak)
ulayat, tanah milik perseorangan yang tunduk pada hukum adat.
2.
Hukum Agraria Barat
Yaitu keseluruhan
dari kaidah-kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum perdata Barat,
khususnya yang bersumber pada Boergerlijk
Wetboek (BW). Hukum Agraria ini terdapat dalam Boergerlijk Wetboek (BW) (bersifat ekstern), yang memberikan
pengaturan bagi sebagian kecil tanah tetapi bernilai tinggi. Hukum agraria ini
diberlakukan atas dasar Konkordansi. Misalnya tanah hak eigendom, hak opstal, hak
erfpacht, Rechts van Gebruik.[32]
3.
Hukum Agraria Administratif
Yaitu
keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan
pelaksanaan dari politik agraria pemerintah di dalam kedudukannya sebagai badan
penguasa. Sumber pokok dari hukum agraria ini adalah Agrarische Wet Stb. 1870
No. 55, yang dilaksanakan dengan Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 1 18, yang
memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan politik pertanahan/
agrarianya.[33]
4.
Hukum Agraria Swapraja
Yaitu
keseluruhan dari kaidah hukum agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan
tentang tanah di daerah-daerah swapraja (Yogyakarta, Aceh), yang memberikan
pengaturan bagi tanah-tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang
bersangkutan.[34]
5.
Hukum Agraria AntarGolongan
Hukum yang
digunakan untuk menyelesaikan sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbullah
hukum agraria antar golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang
menentukan hukum manakah yang berlaku (hukum adat ataukah hukum Barat apabila 2
orang yang masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa
mengenai tanah. Hukum agraria ini memberikan pengaturan atau pedoman dalam
menyelesaikan masalah-masalah Hukum antar golongan yang mengenai tanah.[35]
Kelima
perangkat Hukum Agraria tersebut, setelah Negara Indonesia merdeka, atas dasar
Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan masih
berlaku selama belum diadakan yang baru. Hanya saja Hukum Agraria Administratif
yang tertuang dalam Agrarische Wet dan Agrarische Besluit tersebut diganti oleh
Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Hukum Agraria Administratif mengenai
pemberian izin oleh pemerintah.[36]
Dilihat dari
pokok bahasannya (obyeknya), Hukum Agraria Nasional dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Hukum Agraria dalam arti sempit, hanya membahas tentang
hak penguasaan atas tanah, meliputi hak bangsa Indonesia atas tanah, hak
menguasai dari negara atas tanah, hak ulayat, hak perseorangan atas tanah.
2.
Hukum Agraria dalam arti luas, materi yang dibahas,
yaitu:
a.
Hukum Pertambangan, dalam kaitannya dengan Hak Kuasa
Pertambangan.
b.
Hukum Kehutanan, dalam kaitannya dengan Hak Pengusahaan
Hutan.
c.
Hukum Pengairan, dalam kaitannya dengan Hak Guna Air.
d.
Hukum Ruang Angkasa, dalam kaitannya dengan Hak Ruang
Angkasa.
e.
Hukum Lingkungan Hidup, dalam kaitannya dengan tata
guna tanah, Landreform.[37]
E. Sumber Hukum Tanah
Indonesia
Sumber hukum
tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada saat ini yaitu status tanah
dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah
kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun masa
yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan
Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat
dan hak-hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan
riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan
pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa
lampau dan saat ini. Sumber Hukum Tanah Indonesia dapat dikelompokkan dalam:[38]
1. Hukum Tanah Adat
Di Indonesia,
hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat di
mana sendi-sendi dari hukum tersebut berasal dari masyarakat hukum adat
setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dan negara yang
berdasarkan persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia. Dengan demikian menurut
B. F. Sihombing, hukum tanah adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang
tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada
yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis,
kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis. Adapun
Tanah Adat terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu
a.
Hukum tanah adat masa lampau ialah hak memiliki dan
menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Serta pada
zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti kepemilikan seeara autentik
maupun tertulis. Jadi, hanya pengakuan. Adapun ciri-ciri hukum tanah adat masa
lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau
sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai serta menggarap,
mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan
budaya hukumnya, kemudian secara turun-temurun masih berada di lokasi daerah
tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan
simbol-simbol berupa makam, patung, rumah-rumah adat, dan bahasa daerah yang
ada di negara Republik Indonesia.[39]
b.
Hukum tanah adat masa kini ialah hak memiliki dan
menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang,
dengan bukti autentik berupa girik, petuk pajak, pipil, hak agrarisehe
eigendom, milik yasan, hak atas
druwe, atau hak atas druwe desa, pesini, Grant Sultan,
landerijenbezitrecht, altijdciurente erpacht, hak usaha atas tanah bekas partikelir, fatwa
ahli waris, akta peralihan hak, dan surat segel di bawah
tangan, dan bahkan ada yang memperoleh sertifikat serta surat
pajak hasil bumi (Verponding Indonesia), dan hak-hak lainnya
sesuai dengan daerah berlakunya hukum adat tersebut, serta masih diakui secara
internal maupun eksternal.[40]
2. Kebiasaan
Tanah mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat. Di dalam hukum adat, antara
masyarakat hukum merupakan kesatuan dengan tanah yang didudukinya, terdapat
hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat
religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan
masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut,
memanfaatkannya, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah
juga berburu terhadap binatang-binatang yang ada di situ. Hak masyarakat hukum
atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat.[41]
Dalam literatur
perkataan, "adat" adalah suatu istilah yang dikutip dari bahasa Arab,
tetapi dapat dikatakan telah diterima semua bahasa di Indonesia. Mulanya
istilah itu berarti "kebiasaan". Nama ini sekarang dimaksudkan: semua
kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia di semua lapangan hidup, jadi juga
semua peraturan tentang tingkah laku macam apa pun juga, menurut mana orang
Indonesia bisa bertingkah. Termasuk di dalamnya kebiasaan dan tingkah laku
orang Indonesia terhadap tanah yaitu hak membuka tanah, transaksi-transaksi
tanah dan transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah.[42]
3. Tanah-tanah Swapraja
B.F. Sihombing
yang mengutip pendapat Dirman dalam bukunya Perundang-undangan Agraria di
Seluruh Indonesia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tanah-tanah Swapraja,
yaitu dahulu yang disebut daerah raja-raja atau Zelbestuurende Landschappen.
Menurut hukum ketatanegaraan dahulu daerah-daerah Swapraja di bagi
atas Swapraja dengan "kontrak panjang" (Lange
Contracten) dan Swapraja dengan "kontrak pendek" (Korte
Verklaring).
Dengan
demikian, peraturan-peraturan agraria swapraja pada umumnya boleh dikatakan pada
pokoknya selaras dengan peraturan-peraturan yang ada di daerah-daerah lainnya
di Indonesia, meskipun ada kalanya masing-masing daerah Swapraja terdapat
beberapa peraturan yang tidak sama dengan peraturan-peraturan yang ada di
daerah luar Swapraja, misalnya peraturan tentang landbouwconcessie (izin
pertanian) di Sumatra Timur dan landhuur (persewaan tanah) di Surakarta
dan Yogyakarta.[43]
4. Tanah Partikelir
Kalau ditilik
mengenai asal muasal dari tanah partikelir ini, maka tanah ini merupakan tanah
yang namanya diberikan oleh Belanda dengan nama eigendom. Dengan demikian,
pengertian tanah partikelir ini ialah tanah-tanah "eigendom" di atas
nama pemiliknya sebelum undang-undang ini berlaku mempunyai hak pertuanan.
Selain itu mewarisi pula tanah-tanah eigendom yang disebut tanah
"partikelir". Jadi, tanah-tanah partikelir adalah tanah-tanah
eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang istimewa. Perbedaan antara tanah-tanah
eigendom lainnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan
yang dahulu disebut landheerlijkerechten dan di Indonesia hak-hak
pertuanan. Dengan adanya hak-hak pertuanan itu, tanah-tanah partikeli
seakan-akan merupakan negara di dalam negara.[44]
Selain istimewa
dan mennpunyii hak pertuanan, tanah partikelir dapat dibedakan menjadi: pertama tanah-tanah partikelir
yang diduduki oleh orang-orang Timur Asing disebut tanah-tanah Tionghoa, kedua, yang diduduki oleh rakyat
asli disebut tanah-tanah usaha. Sedangkan ketiga tanah-tanah partikelir yang
dikuasai oleh tuan-tuan tanah sendiri yang disebut tanah kongsi (tanah-tanah
kongsi yang diusahakan oleh penduduk dipakainya untuk tempat perumahan diberikan
hak sewa.[45]
5. Tanah Negara
Sekarang ini,
Hukum Tanah Indonesia dari segi kewenangan penguasaannya ada kecenderungan
untuk lebih memerinci status tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah
negara menjadi:
a.
tanah-tanah wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yang
sudah diwakafkan.
b.
tanah-tanah hak pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang
dikuasai dengan hak menguasai dari negara kepada pemegang haknya.
c.
tanah-tanah hak ulayat, yaitu tanah-tanah yang
dikuasai oleh masyarakat hukum adat teritorial dengan hak ulayat.
d.
tanah-tanah kaum, yaitu tanah-tanah bersama
masyarakat-masyarakat hukum adat geneologis.
e.
tanah-tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh
Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hak penguasaan
ini pada hakikatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan hak menguasai
negara.
f.
tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai
oleh negara yang bukan tanah hak, bukan wakaf, bukan tanah hak pengelolaan,
bukan tanah hak ulayat, bukan tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan
hutan. Tanah-tanah ini, tanah-tanah yang benar-benar langsung dikuasai oleh
negara untuk singkatnya disebut tanah negara.
Menurut B.F.
Sihombing tanah negara dapat dibedakan menjadi:
a.
Tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh
negara dalam rangka hak menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air dan
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada suatu
tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat yang mempunyai kewenangan untuk:
1)
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2)
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3)
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
b.
Tanah negara, tanah-tanah yang dimiliki oleh
pemerintah yaitu tanah-tanah yang diperoleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah berdasarkan nasionalisasi, pemberian, penyerahan sukarela maupun melalui
pembebasan tanah, dan berdasarkan akta-akta pemilikan hak.
c.
Tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak memiliki
atau dikuasai oleh masyarakat, badan hukum swasta dan badan hukum keagamaan
atau badan sosial serta tanah-tanah yang dimiliki oleh perwakilan negara asing.[46]
6. Tanah Garapan
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
sebenarnya tidak mengatur mengenai keberadaan tanah garapan, karena tanah
garapan bukanlah status hak atas tanah. Menurut B.F. Sihombing, dalam peraturan
perundang-undangan terdapat istilah hukum untuk tanah garapan ini, yaitu
pemakaian tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya dan pendudukan tanah tidak sah
{onwettige occupcitie), sedangkan jenis tanah garapan dapat dikelompokkan
menjadi tiga yaitu (1) tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai oleh
negara (vrij landsdomein)\ (2) tanah garapan di atas tanah instansi atau
badan hukum milik pemerintah; dan (3) tanah garapan di atas tanah negara
perorangan atau badan hukum swasta.[47]
7.
Hukum Tanah Belanda
Pembahasan
mengenai hukum tanah zaman penjajahan Belanda, tidak terlepas dari kebijakan
sistem hukum pertanahan yang terdapat di negara Belanda itu sendiri. Hukum
pertanahan yang berlaku di Indonesia pada masa penjajahan tetap mengacu pada
ketentuan peraturan hukum tanah, yaitu Agrarische wet 1870. Kehadiran
peraturan Hukum Tanah Belanda yang diatur dengan Agrarische wet ini,
sangat bertentangan dengan peraturan hukum tanah yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, pada zaman penjajahan
Belanda terdapat dualisme hukum pertanahan, yaitu hukum tanah yang tunduk
dengan peraturan Hukum Belanda dan tanah yang tunduk pada peraturan hukum yang
ada di Indonesia, yakni Hukum Tanah Adat.[48]
8. Hukum Tanah
Jepang
Berakhirnya
pemerintahan Belanda di Indonesia ditandai dengan terjadinya penyerahan
kekuasaan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan Jepang. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama,
pemerintahan Jepang melakukan pembangunan di bidang perekonomian, khususnya di
bidang pertanian dan perkebunan. Sebab pemerintah Jepang menyadari sepenuhnya
bahwa, untuk menopang pemerintahannya salah satu jalan yang harus dilakukan
adalah menjalankan roda perekonomian dengan bertumpu pada bidang perkebunan.
Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 'Tahun 1942
tentang Perkebunan. Untuk lebih mengefektifkan lancarnya undang-undang ini,
maka pemerintahan Jepang membentuk sebuah lembaga pengawas yang diberi nama
"Saib'ai Kaigyo Kanrikordan (SKK)." Badan ini selain pengawas juga
bertindak sebagai pemegang hak monopoli pembelian dan menentukan kewajiban
hasil perkebunan.[49]
9. Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda
Pada tanggal 27
Desember 1958 dibentuk undang-undang mengenai perusahaan-perusahaan milik
Belanda yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 162, yaitu
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan
Milik Belanda yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan
menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia.
Perusahaan-perusahaan
milik Belanda yang akan dinasionalisasi harus mempunyai kriteria menyangkut
isi, dan sifat dari perusahaan tersebut. Adapun isi dan sifatnya perusahaan
Belanda tersebut sebagai berikut: (a) perusahaan-perusahaan yang untuk
seluruhnya atau sebagian merupakan milik perorangan warga negara Belanda dan
bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia; (b) perusahaan milik suatu
badan hukum yang seluruhnya atau sebagian modal perseorangannya atau modal
pendiriannya berasal dari perseorangan warga negara Belanda dan badan-badan
hukum itu bertempat/ berkedudukan di wilayah Republik Indonesia; (c) perusahaan
yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk seluruhnya atau
sebagian merupakan perusahaan milik perseorangan warga Belanda yang kediamannya
di luar wilayah Republik Indonesia; (d) perusahaan yang letaknya dalam wilayah
Republik Indonesia dan merupakan milik suatu badan hukum yang bertempat
kedudukan dalam wilayah negara kerajaan Belanda.[50]
10. Penguasaan
Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Negara Belanda Lazimnya Dikenal dengan
Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-Benda Milik Belanda (P3MB).
Untuk melaksanakan
penguasaan dan mengadakan penyelesaian terhadap benda-benda tetap milik
perseorangan warga negara Belanda yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya di
daerah-daerah yang dipandang perlu oleh pemerintah (Menteri Muda Agraria),
dibentuk suatu panitia yang terdiri atas seorang pejabat dari Jawatan Agraria
sebagai ketua merangkap anggota dan seorang pamong praja yang ditunjuk Gubernur
Kepala Daerah Swatantra Tingkat I, satu Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang
bersangkutan masing-masing sebagai anggota. Panitia Pelaksana Penguasaan
Benda-Benda Milik Belanda (P3MB) bertugas untuk:
a.
Menerima penyerahan penguasaan benda-benda tetap milik
perseorangan warga negara Belanda yang pemiliknya meninggalkan Republik
Indonesia dan orang-orang yang dalam hubungan yang bagaimanapun dengan pemilik
itu pada tanggal 9 Februari atau sesudahnya menguasai benda-benda tersebut.
b.
Atas nama Menteri Muda Agraria melaksanakan penguasaan
sennua benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda tersebut terkenat
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Penusahaan-Perusahaan
Belanda dan yang pemiliknya meninggalkan Republik Indonesia.
c.
Mengusulkan kepada Menteri Muda Agraria penyelesaian
selanjutnya mengenai benda-benda tetap yang dikuasai di atas. Segala sesuatu
atas dasar pedoman-pedoman yang diberikan Menteri Muda Agraria.[51]
11. Surat Izin
Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (VB)
Surat izin
perumahan termasuk salah satu sumber hukum tanah nasional, kaarena keberadaan
perumahan tetap akan bersentuhan langsung dengan tanah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan
Sewa Menyewa Perumahan diuraikan
mengenai pengertian perumahan, yakni bangunan atau bagiannya termasuk halaman
dan jalan keluar masuk yang dianggap perlu yang dipergunakan oleh seseorang,
perusahaan atau badan-badan lain untuk tempat tinggal dan atau keperluan lain.[52]
Anwar Junus
mengatakan bahwa ada dua macam status perumahan yaitu
a.
Perumahan yang hak penggunaan dan penempatannya
dikuasai dan diatur oleh Pemerintah Daerah c.q. Dinas Perumahan. Golongan ini
adalah perumahan yang penggunaan dan penempatannya tersebut dimulai sejak sebelum
tanggal 3 Agustus 1962 dan dalam penggunaan dan penempatannya tersebut telah
menggunakan SIP yang dahulu terkenal dengan VB.
b.
Perumahan yang hak penggunaan dan penempatannya tidak
dikuasai dan diatur oleh pemerintah daerah c.q. Dinas Perumahan. Golongan ini
adalah
1)
perumahan pemerintah atau umum yang digunakan oleh
pemerintah,
2)
perumahan yang dikuasai/dimiliki oleh Negara atau
pemerintah daerah, dan
3)
perumahan baru yang didirikan sesudah tanggal 3
Agustus 1962.[53]
12. Tanah Bondo
Deso
Tanah Bondo Deso adalah tanah hak milik yang dipunyai
desa atau sekelompok masyarakat, penggunaannya dapat bersama-sama atau
bergiliran. Adapun hasilnya untuk kepentingan bersama, misal untuk biaya
pembangunan balai desa, masjid, pasar desa, dan sebagainya.
13. Tanah Bengkok
Tanah bengkok adalah gaji pegawai yang berupa tanah.
Pegawai yang dimaksud adalah perangkat desa, misalnya Kepala Desa, Sekretaris
Desa (carik) dan Kepala-Kepala Bagian. Mengenai besar kecilnya tanah bengkok
ditentukan oleh: a) kepadatan penduduknya, b) luas wilayah, c) kesuburan tanah,
d) jenis jabatan yang dipangkunya. Hak yang ada di sini adalah hak menikmati
artinya perangkat desa tersebut hanya berhak menikmati hasil dari tanah bengkok
tersebut selama menjadi perangkat desa, apabila sudah selesai tugasnya maka
tanah kembali kepada negara dan akan dinikmati oleh penggantinya. Jadi, tidak
boleh perangkat desa menjual tanah bengkoknya.[54]
14. Tanah Wedi
Kengser
Tanah Wedi Kengser adalah tanah yang terletak di
sepanjang aliran sungai. Tanah ini baik bentuk, sifat, dan fungsinya selalu
berubah-ubah, sesuai dengan situasi dan kondisi alamnya. Contoh: suatu ketika
tanah Wedi Kengser berupa tanah kering juga dapat ditanami pawija, tetapi
setelah musim penghujan tanah tersebut dapat hanyut dan berubah menjadi sungai.
Dengan demikian tanah Wedi Kengser hilang dan berpindah ke tempat lain. Tanah
ini ada di bawah penguasaan negara.[55]
15. Tanah
Kelenggahan
Tanah kelenggahan adalah tanah gaji yang berupa tanah
yang diberikan oleh raja kepada pembantu-pembantunya yang biasa disebut dengan
abdi dalem, misalnya patih, tumenggung, adipati, dan sebagainya.[56]
16. Tanah Pekulen
Tanah pekulen adalah gaji pegawai berupa tanah yang
diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat yang bukan pejabat desa. Hal ini
terjadi pada zaman kolonial sebagai penghargaan dari Pemerintah kepada warga
masyarakat yang berjasa.[57]
17. Tanah Res
Extra Commercium
Tanah Res commercium adalah tanah yang berada
di luar lalu lintas perdagangan, yang oleh negara dapat dipergunakan untuk
kesejahteraan seluruh warga masyarakat. Tanah ini juga dapat disebut sebagai
tanah cadangan negara, jadi dipergunakan apabila perlu. Biasanya tanah tersebut
dipergunakan untuk:
a.
kepentingan suci/peribadatan, misalnya untuk masjid,
gereja, kuil, dan sebagainya.
b.
kepentingan negara, meliputi kepentingan nasional dan
kepentingan pertanian.
c.
kepentingan umum, yang meliputi kepentingan masyarakat
dan pembangunan.[58]
18. Tanah Absentee
Tanah absentee adalah tanah yang letaknya
beijauhan dengan pemiliknya. Hal ini dilarang oleh Pemerintah, kecuali pegawai
negeri dan ABRI. Alasan pemerintah melarang pemilikan tanah ini adalah
kepentingan sosial dan perlindungan tanah. Karena ada kekhawatiran dari pemerintah
kalau tanah absentee dibiarkan akan menjadi tanah telantar atau kurang
produktif sebab pemiliknya jauh. Untuk itu pemerintah akan segera mengambil
langkah penyelamatan. Adapun pegawai negeri dan ABRI masih dimungkinkan, karena
golongan ini adalah abdi negara yang dalam tugasnya dapat berpindah-pindah
tempat. Bagi pemilik tanah absentee dapat menyelamatkan haknya antara
lain dengan jalan:
a.
tanah tersebut dijual kepada masyarakat sekitar
lokasi.
b.
salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal.
c.
diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat (biasanya
berupa wakaf atau hibah).[59]
19. Tanah Oncoran
dan Tanah Bukan Oncoran
Tanah oncoran adalah tanah pertanian yang mendapat
pengairan yang tertentu. Adapun tanah bukan oncoran adalah tanah pertanian yang
tidak mendapat pengairan tertentu.[60]
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah di atas, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pengertian agraria dalam arti sempit
hanya mencakup tanah atau permukaan bumi. Sedangkan pengertian agraria dalam
arti luas meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini bukan dalam pengertian
fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak.
2.
Hukum agraria merupakan keseluruhan kaidah-kaidah
hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur agraria,
baik dalam pengertian sempit yang hanya mencakup permukaan bumi (tanah) maupun
dalam pengertian luas, mencakup bumi, air, ruanag angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya.
3.
Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek
pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai
lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek publik
dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga
keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.
4.
Hukum agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi
dua bidang yaitu hukum agraria perdata dan hukum agraria administrasi. Sebelum
berlakunya UUPA hukum agraria terdiri atas lima perangkat hukum yaitu hukum
agraria adat, hukum agraria Barat, hukum agraria administratif, hukum agraria
swapraja, dan hukum agraria antar golongan. Dilihat dari pokok bahasan atau
objeknya, hukum agraria nasional dibagi menjadi dua yaitu hukum agraria dalam
arti sempit dan dalam arti luas.
5.
Beberapa sumber hukum tanah Indonesia yaitu hukum
tanah adat, kebiasaan, tanah-tanah swapraja, tanah partikelir, tanah negara,
tanah garapan, hukum tanah Belanda, hukum tanah Jepang, tanah-tanah milik
perusahaan asing Belanda, tanah-tanah milik perseorangan warga Belanda, surat izin
perumahan, tanah bondo deso, tanah bengkok, tanah wedi kengser, tanah
kelenggehan, tanah pekulen, tanah res
extra commercium, tanah absentee,
tanah oncoran, dan bukan tanah oncoran.
DAFTAR PUSTAKA
A.P. Parlindungan. 1983. Aneka
Hukum Agraria. Bandung: Alumni.
Bernhard Limbong. 2012. Hukum
Agraria Nasional. Jakarta: Margaretha Pustaka.
Dudu Duswara Machmudin. 2010. Pengantar
Ilmu Hukum – Sebuah Sketsa. Bandung: Refika Aditama.
Effendi Perangin. 1986. 401
Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria. Jakarta: Rajawali.
Effendi Perangin. 1991. Hukum
Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum.
Jakarta: Rajawali.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.3, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
Sudarsono. 2007. Pengantar Ilmu
Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudharyo Soimin. Status Hak dan
Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.
Supriadi. 2010. Hukum Agraria. Jakarta:
Sinar Grafika.
Urip Santoso. 2009. Hukum Agraria
dan Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana.
[1]Urip
Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas
Tanah, Cet. V (Jakarta: Kencana, 2009), h. 1.
[2]Kamus
Besar Bahasa Indonesia Offline 1.3, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
[3]Urip
Santoso, Op.Cit.
[4]Supriadi,
Hukum Agraria, Cet. IV (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), h. 1.
[5]Urip
Santoso, Op.Cit., h. 3.
[6]Ibid.
[7]Ibid., h. 5.
[8]Dudu
Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum –
Sebuah Sketsa, Cet. III (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 7.
[9]Bernhard
Limbong, Hukum Agraria Nasional, Cet.
I (Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012), h. 47-48.
[10]Sudarsono,
Pengantar Ilmu Hukum, Cet. V
(Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 43.
[11]Bernhard
Limbong, Op.cit., h. 49.
[12]Ibid., h. 51.
[13]Ibid.
[14]Urip
Santoso, Loc.cit.
[15]Ibid.
[16]Bernhard
Limbong, Op.cit.,
[17]Supriadi,
Loc.cit., h. 3.
[18]Effendi
Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban
tentang Hukum Agraria, Cet. I (Jakarta:
Rajawali, 1986), h. 29.
[19]Urip
Santoso, Loc.cit., h. 12.
[20]Effendi
Perangin, Hukum Agraria di Indonesia
Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Cet. III (Jakarta:
Rajawali, 1991), h. 195.
[21]Bernhard
Limbong, Loc.cit., h. 90.
[22]Ibid., h. 91.
[23]A.
P. Parlindungan, Aneka Hukum Agraria
(Bandung: Alumni, 1983), h. 4.
[24]Bernhard
Limbong, Op.cit., h. 92.
[25]Ibid.
[26]Urip
Santoso, Loc.cit., h. 13.
[27]Ibid.
[28]Sudharyo
Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Cet.
II (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 86.
[29]Effendi
Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban
tentang Hukum Agraria, h. 73.
[30]Urip
Santoso, Loc.cit., h. 7.
[31]Ibid., h. 8
[32]Ibid.
[33]Ibid.
[34]Ibid., h. 9
[35]Ibid.
[36]Ibid.
[37]Ibid., h. 10.
[38]Supriadi,
Loc.cit., h. 8.
[39]Ibid., h. 10.
[40]Ibid., h. 13.
[41]Ibid., h. 15.
[42]Ibid., h. 15-16.
[43]Ibid., h. 17-18.
[44]Ibid., h. 19.
[45]Ibid., h. 20.
[46]Ibid., h. 22-23.
[47]Ibid.
[48]Ibid., h. 25.
[49]Ibid.
[50]Ibid., h. 27.
[51]Ibid., h. 31.
[52]Ibid., h. 37.
[53]Ibid.
[54]Ibid., h. 38.
[55]Ibid.
[56]Ibid.
[57]Ibid., h. 39.
[58]Ibid.
[59]Ibid.
[60]Ibid., h. 40.
Komentar