Hukum Agraria

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hubungan negara dengan individu yang berkaitan dengan tanah tercermin dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yakni: bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini kemudian menjadi visi, misi, dan spirit Undang-undang Dasar No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dengan Land Reform sebagai agenda utama.
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 mengandung amanat konstitusional yang sangat mendasar yaitu bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah dan seluruh kekayaan alam harus dapat mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berarti pula bahwa setiap hak atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya dituntut kepastian mengenai subjek, objek, serta pelaksanaan kewenangan haknya.
Dengan demikian, visi, misi dan spirit UUPA 1960 sebagai produk turunan Pasal 33 UUD 1945 sangat jelas berorientasi pada perwujudan tujuan NKRI, yaitu kesejahteraan (welfare state), dan kesejahteraan dapat dinikmati jika keadilan sudah diperoleh.

B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, pembahasan masalah akan dibatasi berdasarkan rumusan berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan agraria?
2.      Apa pengertian dari hukum agraria?
3.      Apa yang dimaksud dengan hukum tanah?
4.      Bagaimana pembidangan dan pokok bahasan hukum agraria?
5.      Apa saja yang menjadi sumber hukum tanah Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Agraria
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda), agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.[1] Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti 1) urusan pertanian atau tanah pertanian, 2) urusan pemilikan tanah.[2]
Menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan di atasnya. Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya. Apa yang ada di dalam tanah misalnya batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada di atas tanah dapat berupa tanaman, bangunan.[3]
Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminologi bahasa sebagaimana di atas, pengertian agraria dapat pula diketemukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri. Oleh karena itu, pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti atau makna yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat (2)).[4]
Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA adalah tanah. Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut.[5]
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan). Kekayaan alam yang terkandung di air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia (Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan).[6]
Pengertian agraria juga sering dikaitkan dengan corak kehidupan suatu masyarakat atau bangsa, misalnya Indonesia sebagai negara agraris, yaitu suatu bangsa yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari bercocok tanam (bertani) atau kehidupan masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian. Agraris sebagai kata sifat dipergunakan untuk membedakan corak kehidupan masyarakat pedesaan yang bertumpu pada sektor pertanian dengan corak kehidupan masyarakat perkotaan yang bertumpu pada sektor non-pertanian (perdagangan, industri, birokrasi).[7]
Dari beberapa pengertian agraria di atas, dapat dipahami bahwa pengertian agraria dalam arti sempit hanya mencakup tanah atau permukaan bumi. Sedangkan pengertian agraria dalam arti luas meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini bukan dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak.

B.     Pengertian Hukum Agraria
1.      Definisi Hukum
Sebelum membahas pengertian hukum agraria, terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai definisi hukum. Istilah hukum identik dengan istilah law dalam bahasa Inggris, droit dalam bahasa Perancis, Recht dalam bahasa Jerman, recht dalam bahasa Belanda, atau dirito dalam bahasa Italia. Menurut Ensiklopedia Indonesia, hukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, yang menentukan atau mengatur hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat.[8]
Von Savigny melihat hukum dari perspektif sejarah adanya hukum. Menurutnya, Das Recht wird nich gemacht, es ist und wird mit dem Volke (hukum tidak dibuat, ia ada dan menyatu dengan bangsa). Artinya, hukum berakar pada sejarah manusia sehingga dihidupkan oleh keadaan, keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat bangsa. Padmo Wahyono lebih melihat hukum sebagai sarana (tool) dengan membatasi hukum sebagai alat atau sarana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan sekaligus merupakan sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial.[9]
Pengertian hukum yang lebih prosedural implementatif dikemukakan oleh Utrecht dan Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh masyarakat itu.[10] Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah. Sementara itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, dan juga mencakupi lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.[11]
Mengacu pada beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum dibuat dalam rangka mengendalikan tingkah laku manusia sekaligus melindungi kepentingan manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial yang hidup dalam suatu masyarakat. Pembuatan hukum harus bermuara pada terciptanya kebaikan bersama dan terwujudnya keadilan dalam masyarakat.

2.      Pengertian Hukum Agraria
Menurut Black Law’s Dictionary, hukum agraria adalah hukum yang mengatur kepemilikan, penggunaan, dan distribusi tanah pedesaan. Agrarian laws juga menunjuk pada perangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.[12]
Hukum agraria dalam bahasa Belanda disebut Agrarisch recht yang merupakan istilah yang dipakai dalam lingkungan administrasi pemerintahan. Dengan demikian Agrarisch recht dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan bagi para penguasa dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan.[13]
Menurut Soedikno Mertokusumo, hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria. Bachsan Mustofa menjabarkan kaidah hukum yang tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk hukum undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya yang dibuat oleh negara, sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk hukum adat agraria yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan.[14]
Menurut Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, hukum agraria (Agrarisch recht), adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata, maupun hukum tata negara (Staatsrecht) maupun pula hukum tata usaha negara (Administratifrecht) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.[15]
Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum Agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas:
a.       Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.
b.      Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
c.       Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Pertambangan.
d.      Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
e.       Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

Utrecht memberikan pengertian yang sama pada hukum agraria dan hukum tanah, tetapi dalam arti yang sempit meliputi bidang hukum administrasi negara. Menurutnya, hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian hukum tata usaha negara yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan sehingga memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria melakukan tugas mereka.[16]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum agraria merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur agraria, baik dalam pengertian sempit yang hany mencakup permukaan bumi (tanah) maupun dalam pengertian luas, mencakup bumi, air, ruanag angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.




C.    Pengertian Hukum Tanah
Sebagai pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas. Yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan disebut tanah bangunan.
Tanah, dalam lingkup agraria, merupakan bagian dari bumi, yakni permukaan bumi sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUPA:
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.[17]
Atas dasar ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah diberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Menurut Effendi Perangin bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum yang konkret.[18]
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.[19]
Objek hukum tanah adalah hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret.[20] Sebagai lembaga hukum, hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya. Sebagai hubungan hukum yang konkret, hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya.[21]
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional yaitu hak bangsa Indonesia, hak menguasai dari negara, hak ulayat masyarakat hukum adat, dan hak-hak perseorangan. Hak bangsa Indonesia merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan menjadi sumber bagi hak-hak penguasaan atas tanah yang lainnya.
Rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Itu artinya, tanah di seluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia.[22]
Terkait hak menguasai negara, konsepsinya secara normatif diatur dalam Pasal 2 UUPA. Hak ini tidak memberikan kewenangan untuk menguasai secara fisik tetapi semata-mata sebagai kewenangan publik. Negara diberikan kewenangan untuk mengatur tanah dan unsur-unsur sumber daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional.
Perincian kewenangan negara tersebut diatur dengan jelas dalam ayat (2), yang mencakup:
1.      Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.
2.      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3.      Menentukan dan mengatur hubungan-hubunngan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.[23]

Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengakuan terhadap hak ulayat ini ditegaskan dalam Pasal 3 UUPA. Substansinya ialah bahwa keberadaan hak ulayar diakui sepanjang hak ulayat itu masih hidup dan pelaksanaannya tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan UUPA serta kepentingan pembangunan.[24]
Hak-hak perseorangan meliputi hak-hak atas tanah, hak atas tanah wakaf, hak jaminan atas tanah, dan hak milik atas satuan rumah susun. Hak atas tanah yang bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik kepada warga negara Indonesia maupun warga negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum, baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.[25]
Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada dua macam asas dalam hukum tanah, yaitu:
1.      Asas Accessie atau Asas Perlekatan
Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah merupakan satu kesatuan; bangunan dan tanaman tersebut bagian dari tanah yang bersangkutan. Hak atas tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau menanamnya. Perbuatan hukum mengenai tanah dengan sendirinya karena hukum juga bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.[26]
2.      Asas Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal
Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan bagian dari tanah. Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman milik yang punya tanah yang ada di atasnya. Jika perbuatan hukumnya dimaksudkan meliputi juga bangunan dan tanamannya, maka hal ini secara tegas harus dinyatakan dalam akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan.[27]

D.    Pembidangan dan Pokok Bahasan Hukum Agraria
Secara garis besar, Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi dua bidang, yaitu:
1.      Hukum Agraria Perdata (Keperdataan)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah (obyeknya). Contoh: jual beli, hak atas tanah sebagai jaminan utang ( hak tanggungan), pewarisan.
Pasal 1457 KUH Perdata menyebutkan, jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.[28] Sedangkan menurut hukum tanah, jual beli tanah adalah penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.[29]
Terdapat perbedaan antara jual beli tanah menurut KUH Perdata dan menurut hukum tanah. Menurut KUH Perdata, hak atas tanah belum beralih pada saat jual beli berlangsung, untuk itu harus dilakukan penyerahan (levering). Sedangkan menurut hukum tanah, pada saat jual beli itu hak atas tanah itu langsung beralih dari penjual kepada pembeli.
2.      Hukum Agraria Administrasi (Administratif)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktek hukum negara dan mengambil tindakan dari masalah-masalah agraria yang timbul. Contoh: pendaftaran tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak atas tanah.[30]

Sebelum berlakunya UUPA, hukum agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5 perangkat hukum, yaitu:
1.      Hukum Agraria Adat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah adat atau tanah Indonesia.[31]
Hukum agraria adat terdapat dalam hukum adat tentang tanah dan air (bersifat intern), yang memberikan pengaturan bagi sebagian terbesar tanah di negara. Hukum agraria adat diberlakukan bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat. Misalnya tanah (hak) ulayat, tanah milik perseorangan yang tunduk pada hukum adat.
2.      Hukum Agraria Barat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum perdata Barat, khususnya yang bersumber pada Boergerlijk Wetboek (BW). Hukum Agraria ini terdapat dalam Boergerlijk Wetboek (BW) (bersifat ekstern), yang memberikan pengaturan bagi sebagian kecil tanah tetapi bernilai tinggi. Hukum agraria ini diberlakukan atas dasar Konkordansi. Misalnya tanah hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht, Rechts van Gebruik.[32]
3.      Hukum Agraria Administratif
Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria pemerintah di dalam kedudukannya sebagai badan penguasa. Sumber pokok dari hukum agraria ini adalah Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, yang dilaksanakan dengan Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 1 18, yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan politik pertanahan/ agrarianya.[33]
4.      Hukum Agraria Swapraja
Yaitu keseluruhan dari kaidah hukum agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan tentang tanah di daerah-daerah swapraja (Yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan bagi tanah-tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang bersangkutan.[34]


5.      Hukum Agraria AntarGolongan
Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbullah hukum agraria antar golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku (hukum adat ataukah hukum Barat apabila 2 orang yang masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah. Hukum agraria ini memberikan pengaturan atau pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah Hukum antar golongan yang mengenai tanah.[35]

Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut, setelah Negara Indonesia merdeka, atas dasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan masih berlaku selama belum diadakan yang baru. Hanya saja Hukum Agraria Administratif yang tertuang dalam Agrarische Wet dan Agrarische Besluit tersebut diganti oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Hukum Agraria Administratif mengenai pemberian izin oleh pemerintah.[36]
Dilihat dari pokok bahasannya (obyeknya), Hukum Agraria Nasional dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Hukum Agraria dalam arti sempit, hanya membahas tentang hak penguasaan atas tanah, meliputi hak bangsa Indonesia atas tanah, hak menguasai dari negara atas tanah, hak ulayat, hak perseorangan atas tanah.
2.      Hukum Agraria dalam arti luas, materi yang dibahas, yaitu:
a.       Hukum Pertambangan, dalam kaitannya dengan Hak Kuasa Pertambangan.
b.      Hukum Kehutanan, dalam kaitannya dengan Hak Pengusahaan Hutan.
c.       Hukum Pengairan, dalam kaitannya dengan Hak Guna Air.
d.      Hukum Ruang Angkasa, dalam kaitannya dengan Hak Ruang Angkasa.
e.       Hukum Lingkungan Hidup, dalam kaitannya dengan tata guna tanah, Landreform.[37]

E.     Sumber Hukum Tanah Indonesia
Sumber hukum tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada saat ini yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan hak-hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa lampau dan saat ini. Sumber Hukum Tanah Indonesia dapat dikelompokkan dalam:[38]
1.      Hukum Tanah Adat
Di Indonesia, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat di mana sendi-sendi dari hukum tersebut berasal dari masyarakat hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia. Dengan demikian menurut B. F. Sihombing, hukum tanah adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis. Adapun Tanah Adat terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu
a.       Hukum tanah adat masa lampau ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti kepemilikan seeara autentik maupun tertulis. Jadi, hanya pengakuan. Adapun ciri-ciri hukum tanah adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun-temurun masih berada di lokasi daerah tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol-simbol berupa makam, patung, rumah-rumah adat, dan bahasa daerah yang ada di negara Republik Indonesia.[39]
b.      Hukum tanah adat masa kini ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang, dengan bukti autentik berupa girik, petuk pajak, pipil, hak agrarisehe eigendom,  milik yasan, hak atas druwe, atau hak atas druwe desa, pesini, Grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijdciurente erpacht,  hak usaha atas tanah bekas partikelir, fatwa ahli waris, akta peralihan hak, dan surat segel di bawah tangan, dan bahkan ada yang memperoleh sertifikat serta surat pajak hasil bumi (Verponding Indonesia), dan hak-hak lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hukum adat tersebut, serta masih diakui secara internal maupun eksternal.[40]

2.      Kebiasaan
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat. Di dalam hukum adat, antara masyarakat hukum merupakan kesatuan dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkannya, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah juga berburu terhadap binatang-binatang yang ada di situ. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat.[41]
Dalam literatur perkataan, "adat" adalah suatu istilah yang dikutip dari bahasa Arab, tetapi dapat dikatakan telah diterima semua bahasa di Indonesia. Mulanya istilah itu berarti "kebiasaan". Nama ini sekarang dimaksudkan: semua kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia di semua lapangan hidup, jadi juga semua peraturan tentang tingkah laku macam apa pun juga, menurut mana orang Indonesia bisa bertingkah. Termasuk di dalamnya kebiasaan dan tingkah laku orang Indonesia terhadap tanah yaitu hak membuka tanah, transaksi-transaksi tanah dan transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah.[42]

3.      Tanah-tanah Swapraja
B.F. Sihombing yang mengutip pendapat Dirman dalam bukunya Perundang-undangan Agraria di Seluruh Indonesia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tanah-tanah Swapraja, yaitu dahulu yang disebut daerah raja-raja atau Zelbestuurende Landschappen. Menurut hukum ketatanegaraan dahulu daerah-daerah Swapraja di bagi atas Swapraja dengan "kontrak panjang" (Lange Contracten) dan Swapraja dengan "kontrak pendek" (Korte Verklaring).
Dengan demikian, peraturan-peraturan agraria swapraja pada umumnya boleh dikatakan pada pokoknya selaras dengan peraturan-peraturan yang ada di daerah-daerah lainnya di Indonesia, meskipun ada kalanya masing-masing daerah Swapraja terdapat beberapa peraturan yang tidak sama dengan peraturan-peraturan yang ada di daerah luar Swapraja, misalnya peraturan tentang landbouwconcessie (izin pertanian) di Sumatra Timur dan landhuur (persewaan tanah) di Surakarta dan Yogyakarta.[43]

4.      Tanah Partikelir
Kalau ditilik mengenai asal muasal dari tanah partikelir ini, maka tanah ini merupakan tanah yang namanya diberikan oleh Belanda dengan nama eigendom. Dengan demikian, pengertian tanah partikelir ini ialah tanah-tanah "eigendom" di atas nama pemiliknya sebelum undang-undang ini berlaku mempunyai hak pertuanan. Selain itu mewarisi pula tanah-tanah eigendom yang disebut tanah "partikelir". Jadi, tanah-tanah partikelir adalah tanah-tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang istimewa. Perbedaan antara tanah-tanah eigendom lainnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang dahulu disebut landheerlijkerechten dan di Indonesia hak-hak pertuanan. Dengan adanya hak-hak pertuanan itu, tanah-tanah partikeli seakan-akan merupakan negara di dalam negara.[44]
Selain istimewa dan mennpunyii hak pertuanan, tanah partikelir dapat dibedakan menjadi: pertama tanah-tanah partikelir yang diduduki oleh orang-orang Timur Asing disebut tanah-tanah Tionghoa, kedua, yang diduduki oleh rakyat asli disebut tanah-tanah usaha. Sedangkan ketiga tanah-tanah partikelir yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah sendiri yang disebut tanah kongsi (tanah-tanah kongsi yang diusahakan oleh penduduk dipakainya untuk tempat perumahan diberikan hak sewa.[45]




5.      Tanah Negara
Sekarang ini, Hukum Tanah Indonesia dari segi kewenangan penguasaannya ada kecenderungan untuk lebih memerinci status tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah negara menjadi:
a.       tanah-tanah wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yang sudah diwakafkan.
b.      tanah-tanah hak pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak menguasai dari negara kepada pemegang haknya.
c.       tanah-tanah hak ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat teritorial dengan hak ulayat.
d.      tanah-tanah kaum, yaitu tanah-tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum adat geneologis.
e.       tanah-tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hak penguasaan ini pada hakikatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan hak menguasai negara.
f.       tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang bukan tanah hak, bukan wakaf, bukan tanah hak pengelolaan, bukan tanah hak ulayat, bukan tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan hutan. Tanah-tanah ini, tanah-tanah yang benar-benar langsung dikuasai oleh negara untuk singkatnya disebut tanah negara.

Menurut B.F. Sihombing tanah negara dapat dibedakan menjadi:
a.       Tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam rangka hak menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada suatu tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang mempunyai kewenangan untuk:
1)      mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2)      menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3)      menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
b.      Tanah negara, tanah-tanah yang dimiliki oleh pemerintah yaitu tanah-tanah yang diperoleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan nasionalisasi, pemberian, penyerahan sukarela maupun melalui pembebasan tanah, dan berdasarkan akta-akta pemilikan hak.
c.       Tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak memiliki atau dikuasai oleh masyarakat, badan hukum swasta dan badan hukum keagamaan atau badan sosial serta tanah-tanah yang dimiliki oleh perwakilan negara asing.[46]

6.      Tanah Garapan
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sebenarnya tidak mengatur mengenai keberadaan tanah garapan, karena tanah garapan bukanlah status hak atas tanah. Menurut B.F. Sihombing, dalam peraturan perundang-undangan terdapat istilah hukum untuk tanah garapan ini, yaitu pemakaian tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya dan pendudukan tanah tidak sah {onwettige occupcitie), sedangkan jenis tanah garapan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara (vrij landsdomein)\ (2) tanah garapan di atas tanah instansi atau badan hukum milik pemerintah; dan (3) tanah garapan di atas tanah negara perorangan atau badan hukum swasta.[47]


7.      Hukum Tanah Belanda
Pembahasan mengenai hukum tanah zaman penjajahan Belanda, tidak terlepas dari kebijakan sistem hukum pertanahan yang terdapat di negara Belanda itu sendiri. Hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia pada masa penjajahan tetap mengacu pada ketentuan peraturan hukum tanah, yaitu Agrarische wet 1870. Kehadiran peraturan Hukum Tanah Belanda yang diatur dengan Agrarische wet ini, sangat bertentangan dengan peraturan hukum tanah yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, pada zaman penjajahan Belanda terdapat dualisme hukum pertanahan, yaitu hukum tanah yang tunduk dengan peraturan Hukum Belanda dan tanah yang tunduk pada peraturan hukum yang ada di Indonesia, yakni Hukum Tanah Adat.[48]

8.      Hukum Tanah Jepang
Berakhirnya pemerintahan Belanda di Indonesia ditandai dengan terjadinya penyerahan kekuasaan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan Jepang.  Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, pemerintahan Jepang melakukan pembangunan di bidang perekonomian, khususnya di bidang pertanian dan perkebunan. Sebab pemerintah Jepang menyadari sepenuhnya bahwa, untuk menopang pemerintahannya salah satu jalan yang harus dilakukan adalah menjalankan roda perekonomian dengan bertumpu pada bidang perkebunan. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 'Tahun 1942 tentang Perkebunan. Untuk lebih mengefektifkan lancarnya undang-undang ini, maka pemerintahan Jepang membentuk sebuah lembaga pengawas yang diberi nama "Saib'ai Kaigyo Kanrikordan (SKK)." Badan ini selain pengawas juga bertindak sebagai pemegang hak monopoli pembelian dan menentukan kewajiban hasil perkebunan.[49]

9.      Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda
Pada tanggal 27 Desember 1958 dibentuk undang-undang mengenai perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 162, yaitu Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia.
Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang akan dinasionalisasi harus mempunyai kriteria menyangkut isi, dan sifat dari perusahaan tersebut. Adapun isi dan sifatnya perusahaan Belanda tersebut sebagai berikut: (a) perusahaan-perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perorangan warga negara Belanda dan bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia; (b) perusahaan milik suatu badan hukum yang seluruhnya atau sebagian modal perseorangannya atau modal pendiriannya berasal dari perseorangan warga negara Belanda dan badan-badan hukum itu bertempat/ berkedudukan di wilayah Republik Indonesia; (c) perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk seluruhnya atau sebagian merupakan perusahaan milik perseorangan warga Belanda yang kediamannya di luar wilayah Republik Indonesia; (d) perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan merupakan milik suatu badan hukum yang bertempat kedudukan dalam wilayah negara kerajaan Belanda.[50]



10.  Penguasaan Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Negara Belanda Lazimnya Dikenal dengan Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-Benda Milik Belanda (P3MB).
Untuk melaksanakan penguasaan dan mengadakan penyelesaian terhadap benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya di daerah-daerah yang dipandang perlu oleh pemerintah (Menteri Muda Agraria), dibentuk suatu panitia yang terdiri atas seorang pejabat dari Jawatan Agraria sebagai ketua merangkap anggota dan seorang pamong praja yang ditunjuk Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I, satu Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan masing-masing sebagai anggota. Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-Benda Milik Belanda (P3MB) bertugas untuk:
a.       Menerima penyerahan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang pemiliknya meninggalkan Republik Indonesia dan orang-orang yang dalam hubungan yang bagaimanapun dengan pemilik itu pada tanggal 9 Februari atau sesudahnya menguasai benda-benda tersebut.
b.      Atas nama Menteri Muda Agraria melaksanakan penguasaan sennua benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda tersebut terkenat Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Penusahaan-Perusahaan Belanda dan yang pemiliknya meninggalkan Republik Indonesia.
c.       Mengusulkan kepada Menteri Muda Agraria penyelesaian selanjutnya mengenai benda-benda tetap yang dikuasai di atas. Segala sesuatu atas dasar pedoman-pedoman yang diberikan Menteri Muda Agraria.[51]


11.  Surat Izin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (VB)
Surat izin perumahan termasuk salah satu sumber hukum tanah nasional, kaarena keberadaan perumahan tetap akan bersentuhan langsung dengan tanah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan diuraikan mengenai pengertian perumahan, yakni bangunan atau bagiannya termasuk halaman dan jalan keluar masuk yang dianggap perlu yang dipergunakan oleh seseorang, perusahaan atau badan-badan lain untuk tempat tinggal dan atau keperluan lain.[52]
Anwar Junus mengatakan bahwa ada dua macam status perumahan yaitu
a.       Perumahan yang hak penggunaan dan penempatannya dikuasai dan diatur oleh Pemerintah Daerah c.q. Dinas Perumahan. Golongan ini adalah perumahan yang penggunaan dan penempatannya tersebut dimulai sejak sebelum tanggal 3 Agustus 1962 dan dalam penggunaan dan penempatannya tersebut telah menggunakan SIP yang dahulu terkenal dengan VB.
b.      Perumahan yang hak penggunaan dan penempatannya tidak dikuasai dan diatur oleh pemerintah daerah c.q. Dinas Perumahan. Golongan ini adalah
1)      perumahan pemerintah atau umum yang digunakan oleh pemerintah,
2)      perumahan yang dikuasai/dimiliki oleh Negara atau pemerintah daerah, dan
3)      perumahan baru yang didirikan sesudah tanggal 3 Agustus 1962.[53]

12.  Tanah Bondo Deso
Tanah Bondo Deso adalah tanah hak milik yang dipunyai desa atau sekelompok masyarakat, penggunaannya dapat bersama-sama atau bergiliran. Adapun hasilnya untuk kepentingan bersama, misal untuk biaya pembangunan balai desa, masjid, pasar desa, dan sebagainya.
13.  Tanah Bengkok
Tanah bengkok adalah gaji pegawai yang berupa tanah. Pegawai yang dimaksud adalah perangkat desa, misalnya Kepala Desa, Sekretaris Desa (carik) dan Kepala-Kepala Bagian. Mengenai besar kecilnya tanah bengkok ditentukan oleh: a) kepadatan penduduknya, b) luas wilayah, c) kesuburan tanah, d) jenis jabatan yang dipangkunya. Hak yang ada di sini adalah hak menikmati artinya perangkat desa tersebut hanya berhak menikmati hasil dari tanah bengkok tersebut selama menjadi perangkat desa, apabila sudah selesai tugasnya maka tanah kembali kepada negara dan akan dinikmati oleh penggantinya. Jadi, tidak boleh perangkat desa menjual tanah bengkoknya.[54]

14.  Tanah Wedi Kengser
Tanah Wedi Kengser adalah tanah yang terletak di sepanjang aliran sungai. Tanah ini baik bentuk, sifat, dan fungsinya selalu berubah-ubah, sesuai dengan situasi dan kondisi alamnya. Contoh: suatu ketika tanah Wedi Kengser berupa tanah kering juga dapat ditanami pawija, tetapi setelah musim penghujan tanah tersebut dapat hanyut dan berubah menjadi sungai. Dengan demikian tanah Wedi Kengser hilang dan berpindah ke tempat lain. Tanah ini ada di bawah penguasaan negara.[55]

15.  Tanah Kelenggahan
Tanah kelenggahan adalah tanah gaji yang berupa tanah yang diberikan oleh raja kepada pembantu-pembantunya yang biasa disebut dengan abdi dalem, misalnya patih, tumenggung, adipati, dan sebagainya.[56]


16.  Tanah Pekulen
Tanah pekulen adalah gaji pegawai berupa tanah yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat yang bukan pejabat desa. Hal ini terjadi pada zaman kolonial sebagai penghargaan dari Pemerintah kepada warga masyarakat yang berjasa.[57]

17.  Tanah Res Extra Commercium
Tanah Res commercium adalah tanah yang berada di luar lalu lintas perdagangan, yang oleh negara dapat dipergunakan untuk kesejahteraan seluruh warga masyarakat. Tanah ini juga dapat disebut sebagai tanah cadangan negara, jadi dipergunakan apabila perlu. Biasanya tanah tersebut dipergunakan untuk:
a.       kepentingan suci/peribadatan, misalnya untuk masjid, gereja, kuil, dan sebagainya.
b.      kepentingan negara, meliputi kepentingan nasional dan kepentingan pertanian.
c.       kepentingan umum, yang meliputi kepentingan masyarakat dan pembangunan.[58]

18.  Tanah Absentee
Tanah absentee adalah tanah yang letaknya beijauhan dengan pemiliknya. Hal ini dilarang oleh Pemerintah, kecuali pegawai negeri dan ABRI. Alasan pemerintah melarang pemilikan tanah ini adalah kepentingan sosial dan perlindungan tanah. Karena ada kekhawatiran dari pemerintah kalau tanah absentee dibiarkan akan menjadi tanah telantar atau kurang produktif sebab pemiliknya jauh. Untuk itu pemerintah akan segera mengambil langkah penyelamatan. Adapun pegawai negeri dan ABRI masih dimungkinkan, karena golongan ini adalah abdi negara yang dalam tugasnya dapat berpindah-pindah tempat. Bagi pemilik tanah absentee dapat menyelamatkan haknya antara lain dengan jalan:
a.       tanah tersebut dijual kepada masyarakat sekitar lokasi.
b.      salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal.
c.       diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat (biasanya berupa wakaf atau hibah).[59]

19.  Tanah Oncoran dan Tanah Bukan Oncoran
Tanah oncoran adalah tanah pertanian yang mendapat pengairan yang tertentu. Adapun tanah bukan oncoran adalah tanah pertanian yang tidak mendapat pengairan tertentu.[60]
















BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Pengertian agraria dalam arti sempit hanya mencakup tanah atau permukaan bumi. Sedangkan pengertian agraria dalam arti luas meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini bukan dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak.
2.      Hukum agraria merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur agraria, baik dalam pengertian sempit yang hanya mencakup permukaan bumi (tanah) maupun dalam pengertian luas, mencakup bumi, air, ruanag angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
3.      Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.
4.      Hukum agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi dua bidang yaitu hukum agraria perdata dan hukum agraria administrasi. Sebelum berlakunya UUPA hukum agraria terdiri atas lima perangkat hukum yaitu hukum agraria adat, hukum agraria Barat, hukum agraria administratif, hukum agraria swapraja, dan hukum agraria antar golongan. Dilihat dari pokok bahasan atau objeknya, hukum agraria nasional dibagi menjadi dua yaitu hukum agraria dalam arti sempit dan dalam arti luas.

5.      Beberapa sumber hukum tanah Indonesia yaitu hukum tanah adat, kebiasaan, tanah-tanah swapraja, tanah partikelir, tanah negara, tanah garapan, hukum tanah Belanda, hukum tanah Jepang, tanah-tanah milik perusahaan asing Belanda, tanah-tanah milik perseorangan warga Belanda, surat izin perumahan, tanah bondo deso, tanah bengkok, tanah wedi kengser, tanah kelenggehan, tanah pekulen, tanah res extra commercium, tanah absentee, tanah oncoran, dan bukan tanah oncoran.















DAFTAR PUSTAKA
A.P. Parlindungan. 1983. Aneka Hukum Agraria. Bandung: Alumni.
Bernhard Limbong. 2012. Hukum Agraria Nasional. Jakarta: Margaretha Pustaka.
Dudu Duswara Machmudin. 2010. Pengantar Ilmu Hukum – Sebuah Sketsa. Bandung: Refika Aditama.
Effendi Perangin. 1986. 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria. Jakarta: Rajawali.
Effendi Perangin. 1991. Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: Rajawali.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.3, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
Sudarsono. 2007. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudharyo Soimin. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.
Supriadi. 2010. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Urip Santoso. 2009. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana.



[1]Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Cet. V (Jakarta: Kencana, 2009), h. 1.
[2]Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.3, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
[3]Urip Santoso, Op.Cit.
[4]Supriadi, Hukum Agraria, Cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 1.
[5]Urip Santoso, Op.Cit., h. 3.
[6]Ibid.
[7]Ibid., h. 5.
[8]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum – Sebuah Sketsa, Cet. III (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 7.
[9]Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Cet. I (Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012), h. 47-48.
[10]Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. V (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 43.
[11]Bernhard Limbong, Op.cit., h. 49.
[12]Ibid., h. 51.
[13]Ibid.
[14]Urip Santoso, Loc.cit.
[15]Ibid.
[16]Bernhard Limbong, Op.cit.,
[17]Supriadi, Loc.cit., h. 3.
[18]Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria, Cet. I (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 29.
[19]Urip Santoso, Loc.cit., h. 12.
[20]Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Cet. III (Jakarta: Rajawali, 1991), h. 195.
[21]Bernhard Limbong, Loc.cit., h. 90.
[22]Ibid., h. 91.
[23]A. P. Parlindungan, Aneka Hukum Agraria (Bandung: Alumni, 1983), h. 4.
[24]Bernhard Limbong, Op.cit., h. 92.
[25]Ibid.
[26]Urip Santoso, Loc.cit., h. 13.
[27]Ibid.
[28]Sudharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 86.
[29]Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria, h. 73.
[30]Urip Santoso, Loc.cit., h. 7.
[31]Ibid., h. 8
[32]Ibid.
[33]Ibid.
[34]Ibid., h. 9
[35]Ibid.
[36]Ibid.
[37]Ibid., h. 10.
[38]Supriadi, Loc.cit., h. 8.
[39]Ibid., h. 10.
[40]Ibid., h. 13.
[41]Ibid., h. 15.
[42]Ibid., h. 15-16.
[43]Ibid., h. 17-18.
[44]Ibid., h. 19.
[45]Ibid., h. 20.
[46]Ibid., h. 22-23.
[47]Ibid.
[48]Ibid., h. 25.
[49]Ibid.
[50]Ibid., h. 27.
[51]Ibid., h. 31.
[52]Ibid., h. 37.
[53]Ibid.
[54]Ibid., h. 38.
[55]Ibid.
[56]Ibid.
[57]Ibid., h. 39.
[58]Ibid.
[59]Ibid.
[60]Ibid., h. 40.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng Manggarai: Tombo ca anak koe ata oke le eman

Dasar, Struktur, Fungsi dan Corak Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja Katolik

HUKUM ADAT SUKU ASMAT