Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban PelunasanUtang (PKPU)
Pengertian Kepailitan
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang
debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan
pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur
tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada
para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan
pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan
yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.
Sejarah Perundang-undangan
Kepailitan Indonesia
Undang-undang Kepailitan Sejak 1945 Setelah bangsa
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Ada beberapa kurun
sejarah yang perlu dicermati sehubungan dengan berlakunya
Faillissementsverordening ( Peraturan Kepailitan ).
Kurun-kurun
sejarah itu ialah
1. Tahun
1945-1947, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan sebagai berikut:”
Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini" . Berdasarkan Aturan
Peralihan tersebut, maka seluruh perangkat hukum yang berasal dari zaman Hindia
Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali jika
setelah diuji ternyata bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila. Tahun 1947 Pada tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta
menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissmenten
1947). Tujuannya ialah untuk memberikan dasar hukum bagj penghapusan putusan
kepailitan yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang. Tugas ini sudah lama selesai,
sehingga dengan demikian Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itu sudah tidak
berlaku lagi.
2. Tahun
1947-1998 ,Di dalam praktik, Faillissementsverordening relatif sangat sedikit
digunakan. Faktor penyebabnya antara lain karena keberadaan peraturan itu di
tengah-tengah masyarakat, kurang dikenal dan dipahami. Sosialisasinya ke
masyarakat sangat minim. Awalnya, Faillissementsverordening itu hanya berlaku
untuk pedagang di lingkungan masyarakat yang tunduk pada hukum perdata dan
dagang Barat saja. Akibatnya, Faillissementsverordening itu tidak dirasakan
sebagai sesuatu peraturan yang menjadi milik masyarakat pribumi, dan karena itu
pula tidak pernah tumbuh di dalam kesadaran hukum masyarakat.Faktor penyebab
lain ialah karena sebagian besar masyarakat pedagang atau pengusaha pribumi
Indonesia dan para pengusaha menengah dan kecil masih belum banyak melakukan transaksi
bisnis yang besar-besar. Pada umumnya pula mereka masih melakukan transaksi
dalam lingkungan yang terbatas. Sebagian besar masyarakat pengusaha Bumiputra
belum mengenal sistem hukum bisnis Barat. Antara lain mereka belum:
- Melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan
badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas,
- Menerbitkan dan atau melakukan perdagangan
surat-surat berharga,
- Melakukan
pembukuan atas transaksi-transaksi bisnis dan keadaan keuangannya, melakukan
pembayaran dengan menggunakan sistem perbankan, dan membebankan tanggung jawab
atas utangnya pada kekayaan perusahaan, bukan pada kekayaan pribadinya.Karena
persepsi masyarakat yang negatif terhadap badan peradilan, maka masyarakat
merasa tidak ada sarana yang efektif yang dapat digunakan Kreditor untuk dapat
melindungi kepentingannya, khususnya agar Debitor yang nakal dapat melunasi
kewajibannya, jika perlu dengan melakukan paksaan secara hukum melalui
pengadilan.
3. Tahun 1998-Sekarang. Pada bulan
Juli 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia yang kemudian diperparah lagi
oleh krisis politik yang mengakibatkan lengsernya Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis moneter membuat hutang
menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali Debitor
tidak mampu membayar utang-utangnya. Di samping itu, kredit macet di perbankan
dalam negeri juga semakin membubung tinggi secara luar biasa (sebelum krisis
moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit
bermasalah atau Non-Performing Loans yang memprihatinkan), yaitu sebagai akibat
terpuruknya sektor riil karena krisis moneter.
Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat
diandalkan. Banyak Debitor yang dihubungi oleh para Kreditornya karena berusaha
mengelak untuk tanggung jawab atas penyelesaian utang-utangnya. Sedangkan
restrukturisasi utang hanyalah mungkin ditempuh apabila Debitor bertemu dan
duduk berunding dengan para Kreditornya atau sebaliknya. Di samping adanya
kesediaan untuk berunding itu, bisnis Debitor harus masih memiliki prospek yang
baik untuk mendatangkan revenue, sebagai sumber pelunasan utang yang
direstrukturisasi itu. Mengingat upaya restrukturisasi utang masih belum dapat
diharapkan akan berhasil baik, sedangkan upaya melalui kepailitan dengan
menggunakan Faillissementsverordening (Peraturan Kepailitan) yang berlaku dapat
sangat lambat prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya, maka masyarakat
Kreditor, terutama masyarakat Kreditor luar negeri, menghendaki agar Peraturan
Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissementsverordening, secepatnya dapat diganti
atau diubah. IMF sebagai pemberi utang kepada pemerintah Republik Indonesia
berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak dapat
terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para
pengusaha Indonesia kepada para Kreditor luar negerinya dan upaya penyelesaian
kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, maka IMF mendesak
pemerintah Republik Indonesia agar segera mengganti atau mengubah Peraturan
Kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissementsverordening, sebagai sarana
penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para Kreditornya. Sebagai
hasil desakan IMF tersebut, akhirnya pemerintah turun tangan, dan lahirlah
Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan
(Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah dan menambah Peraturan Kepailitan
(Faillissementsverordening). Dari segi bahasa, ada yang kurang tepat pada judul
Perpu tersebut, karena selama ini Faillissementsverordening kita kenal dengan
sebutan " Peraturan Kepailitan" dan bukan " Undang-undang
Kepailitan" . Oleh penyusun Perpu, kata " verordening" dalam Faillissements'verordening
telah diterjemahkan dengan kata " Undang-undang" - Perpu No. 1 Tahun
1998. Kemudian diterbitkannya Perpu Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 maka
5 bulan kemudian Perpu Kepailitan dan perubahan atas Kepailitan itu ditetapkan
menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Pada saat tulisan ini selesai dibuat,
suatu tim di bawah Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan
HAM telah selesai menyusun draft RUU tentang Kepailitan yang baru itu dan telah
diajukan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Mengingat dugaan
sebelumnya bahwa pelaksanaan Perpu No. 1 Tahun 1998 (yang telah menjadi UU No.
4 Tahun 1998) akan menimbulkan banyak kekecewaan, dan ternyata dugaan itu
terbukti, maka kebutuhan untuk mempunyai undang-undang kepailitan yang lebih
baik sudah sangat mendesak pada saat ini. Diharapkan RUU tentang Kepailitan
yang baru itu dapat diundangkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Latar Belakang Perubahan
Faillissementsverordening Menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Untuk
memahami terjadinya perubahan terhadap Faillissementverordening hingga menjadi Undang-undang
Kepailitan, yaitu UU No. 4 1998, perlu diketahui latar belakang mengapa
perubahan itu dilakukan. Beberapa pertimbangan yang dikemukakan adalah:
-
Gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap kehidupan perekonomian
nasional, dan menimbulkan kesulitan yang besar di kalangan dunia usaha untuk
meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajiban kepan Kreditor
- Untuk memberikan kesempatan
kepada pihak Kreditor pada perusahaan sebagai Debitor untuk mengupayakan
penyelesaian yang adil, diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara
cepat, terbuka dan efektif
- Salah satu sarana hukum yang
menjadi landasan bagi penyelesaian utang-piutang adalah peraturan tentang
kepailitan, termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang
& Peraturan tentang kepailitan yang masih berlaku, yaitu
Faillissementsverordening atau Undang-undang tentang Kepailitan sebagaimana
termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906
Nomor 348, memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan keadaan dan
kebutuhan bagi penyelesaian utang-piutang tadi. Untuk mengatasi gejolak moneter
beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah satu
persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian
utang-piutang perusahaan, dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh Debitor dan para
Kreditor secara cepat, terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera
diwujudkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian
utang-piutang di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara adil,
cepat, terbuka dan efektif melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan
Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa dan memutuskan
berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang kepailitan
dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukan dalam penyelengaraan kegiatan
usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya
- Sehubungan dengan adanya
kebutuhan yang sangat mendesak bagi penyelesaian masalah seperti tersebut di
atas, dipandang perlu untuk secepatnya melakukan penyempurnaan terhadap
beberapa ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun
1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 nomor 348) dan menetapkannya dengan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang.- Penyelesaian masalah
utang-piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif, yaitu: penyempurnaan
syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan. Termasuk di
dalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan
pernyataan kepailitan.
- Penyempurnaan pengaturan yang
bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil
pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya Kreditor, atas kekayaan Debitor
sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan.
- Peneguhan fungsi Kurator dan
penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut di samping
institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu Kurator. Ketentuan yang
ditambahkan antara lain mengatur syarat-syarat untuk dapat melakukan kegiatan
sebagai Kurator berikut kewajiban mereka.- Penegasan upaya hukum yang dapat
diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan, bahwa untuk itu dapat langsung
diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Tata cara dan kerangka waktu bagi upaya
hukum tadi juga ditegaskan dalam penyempurnaan ini. Dalam rangka kelancaran
proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil, dalam rangka
penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak
di antara Kreditor yang memegang Hak Tanggungan, gadai atau agunan lainnya.
Diatur pula ketentuan mengenai status hukum atas perikatan-perikatan yang telah
dibuat Debitor sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan.
- Penyempurnaan dilakukan pula
terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban pembayaran sebagaimana telah
diatur dalam bagian KEDUA Undang-undang Kepailitan.
- Penegasan dan pembentukan peradilan
khusus yang mau menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga berupa
Pengadilan Niaga dengan hakim-hakimnya yang & bertugas secara khusus.
Pembentukan Pengadilan Niaga bukan merupakan langkah diferensiasi atas
Peradilan Umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang- undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
- Mengenai Pengadilan Niaga, dapat
dikemukakan bahwa Pengadilan Niaga bukan merupakan badan peradilan baru di luar
badan-badan peradilan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang No. 14 Tahun
1970 tersebut, tetapi hanya sekadar merupakan chamber khusus yang baru dalam
Peradilan Umum. Jadi, bukan badan peradilan yang berdiri sendiri. Dalam
peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini, peradilan khusus yang disebut
Pengadilan Niaga tersebut akan khusus bertugas menangani permintaan pernyataan
kepailitan. Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan secara bertahap. Begitu pula
dengan lingkup tugas dan kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan
atau diperluas dari waktu ke waktu.
- Semuanya akan dilakukan dengan
mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan yang penting lagi, tingkat kemampuan
serta ketersediaan sumber daya yang akan mendukungnya.
- Perpu No. 1 Tahun 1998
sebagaimana kemudian telah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 bukan merupakan
Undang-undang Kepailitan yang baru melainkan hanya sekadar mengubah dan
menambah Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 Jo S. 1906 No. 348.
Faillissementsverordening terdiri dari 279 pasal, sedangkan UU No. 41 Tahun
1998 mencabut 6 pasal (Pasal 14A, 19, 218, 219, 221 dan 272) dan 1 ayat (Pasal
149 ayat (3)). Terdapat 93 pasal yang diubah dan menambah 10 pasal baru. Dengan
demikian jumlah pasal UU No. 4 Tahun 1998 adalah 282 pasal.RUU Kepailitan.Pada waktu
Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-undang tentang Kepailitan untuk ditetapkan sebagai undang-undang,
terjadi perbedaan pendapat di DPR dan pemerintah mengenai substansi Perpu
tersebut. Salah satu syarat IMF akan memberikan dana adalah apabila Indonesia
mempunyai UU Kepailitan dan akhirnya disepakatilah bahwa pemerintah dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal UU No. 4 Tahun
1998 diundangkan, yaitu sejak 9 September 1998, akan menyampaikan RUU tentang
Kepailitan yang baru kepada DPR RI.Sesuai dengan kesepakatan tersebut
seharusnya paling lambat tanggal 9 September 1999 Pemerintah sudah harus
menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang baru sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun
1998 jo UU No. 4 Tahun 1998. Namun karena berbagai alasan dan hambatan ternyata
RUU tersebut tertunda penyelesaiannya. Pada hakikatnya perbedaanya tidak
terlalu, tetapi ada beberapa ketentuan2 lama yang dihapuskan.
Tujuan utama kepailitan
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan
pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah
oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga
kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak
masing-masing.
Lembaga kepailitan
Pada
dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para
pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar.
Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua
fungsi sekaligus, yaitu:
•
Kepailitan sebagai
lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat
curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada
semua kreditur.
•
Kepailitan sebagai
lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan
eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang
kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus
merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Para Pihak yang dapat
mengajukan kepailitan yaitu:
• atas permohonan debitur sendiri
• atas permintaan seorang atau lebih kreditur
• Oleh kejaksaan atas kepentingan umum
• Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga
bank
• oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur
merupakan perusahaan efek.
Syarat Yuridis untuk
kepailitan adalah :
1. Adanya hutang
2. Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat
ditagih
3. Adanya debitur
4. Adanya kreditur (lebih dari satu)
5. Permohonan peryataan pailit
6. Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga
Adapun para pihak yang
dapat melakukan permintaan kepailitan adalah :
1. Debitur
2. Kreditur
3. Kejaksaan demi kepentingan umum
4. Bank Indonesia
5. Badan Pengawas Pasar Modal
Langkah-langkah yang
ada dalam kepailitan, yaitu :
1. Permohonan pailit, syarat
permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998, seperti apa yang
telah ditulis diatas.
2. Keputusan pailit berkekuatan
tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai sampai keputusan pailit
berkekuatan tetap adalah 90 hari.
3. Rapat verifikasi, adalah rapat
pendaftaran utang-piutang, pada langkah ini dilakukan pendataan berapa jumlah
utang dan piutang yang dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap
yang paling penting dalam kepailitan karena akan ditentukan urutan pertimbangan
hak dari masing-masing kreditur. Rapat verifikasi dipimpin oleh hakim pengawas
dan dihadiri oleh :
(a) Panitera (sebagai pencatat),
(b) Debitur (tidak boleh diwakilkan
karena nanti debitur harus menjelaskan kalau nanti terjadi perbedaan pendapat
tentang jumlah tagihan,
(c) Kreditur atau kuasanya (jika
berhalangan untuk hadir tidak apa-apa, nantinya mengikuti hasil rapat),
(d) Kurator (harus hadir karena
merupakan pengelola aset).
4. Perdamaian, jika perdamaian
diterima maka proses kepailitan berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan ke
proses selanjutnya. Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan. Ada
beberapa perbedaan antara perdamaian yang terjadi dalam proses kepailitan
dengan perdamaian yang biasa.
Perdamaian dalam proses kepailitan meliputi :
(a) mengikat semua kreditur kecuali
kreditur separatis, karena kreditur separatis telah dijamin tersendiri dengan
benda jaminan yang terpisah dengan harta pailit umumnya.
(b) terikat formalitas,
(c) ratifikasi dalam sidang
homologasi,
(d) jika pengadilan niaga menolak
adanya hukum kasasi,
(e) ada kekuatan eksekutorial, apa
yang tertera dalam perdamaian, pelaksanaanya dapat dilakukan secara paksa.
Tahap-tahap dalam proses perdamaian
antara lain :
(a) pengajuan usul perdamaian,
(b) pengumuman usulan perdamaian,
(c) rapat pengambilan keputusan,
(d) sidang homologasi,
(e) upaya hukum kasasi,
(f) rehabilitasi.
5. Homologasi akur, yaitu
permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika proses perdamaian diterima.
6. Insolvensi, yaitu suatu keadaan
dimana debitur dinyatakan benar-benar tidak mampu membayar, atau dengan kata
lain harta debitur lebih sedikit jumlahnya dengan hutangnya. Hal tentang
insolvensi ini sangat menentukan nasib debitur, apakah akan ada eksekusi atau
terjadi restrukturisasi hutang dengan damai. Saat terjadinya insolvensi (pasal
178 UUK) yaitu: (a) saat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian, (b) penawaran
perdamaian ditolak, (c) pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Dengan adanya
insolvensi maka harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kepada para kreditur.
7. Pemberesan/likuidasi, yaitu
ppenjualan harta kekayaan debitur pailit, yang dibagikan kepad kreditur
konkuren, setelah dikurangi biaya-biaya.
8. Rehabilitasi, yaitu suatu usaha
pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi dengan catatan jika proses perdamaian
diterima, karena jika perdamaian ditolak maka rehabilitasi tidak ada. Syarat
rehabilitsi adalah : telah terjadi perdamaian, telah terjadi pembayaran utang
secara penuh.
9. Kepailitan berakhir.
Komentar