KEKUATAN PENGAKUAN BERSALAH (Tinjaun Psikologis Film “Prisoners”)
Tugas
polisi adalah menemukan orang yang melakukan tindak kejahatan dan mengumpulkan bukti yang cukup kuat untuk
mendukung keyakinan mereka akan kesalahan tersangka (Mark Constanzo, 2008;49).
Berhubungan dengan kasus penculikan dalam film “Prisoners” Detektif
Loki (Jake Gyllenhaal), polisi tidak menemukan cukup bukti untuk menjerat sopir
karavan, yaitu pemuda bernama Alex Jones.
Analisis
yang cermat terhadap tempat kejadian perkara (TKP) mungkin dapat memberikan
bukti-bukti fisik, tetapi arahan dan bukti-bukti yang diungkap dengan menanyai
saksi dan tersangkalah yang seringkali menimbulkan keyakinan akan kesalahan
tersangka. Jika polisi yakin bahwa seseorang bertanggung jawab atas sebuah
tindakan kejahatan artinya, jika orang itu adalah seorang tersangka maka tujuan
menanyainya adalah untuk mendapatan pengakuan bersalah darinya.(49).
Untuk
pelbagai alasan, polisi lebih menyukai pengakuan bersalah dibanding bukti-bukti
dalam bentuk lain. Pertama,
pengakuan bersalah menghemat waktu. Persidangan tidak perlu digelar karena
tersangkan yang mengaku bersalah
biasanya diputuskan bersalah. Proses pengumpulan bukti, menganalisis
bukti-bukti, dan menemukan serta menanyai saksi-saksi, yang berjalan lamban dan
membosankan dapat dipersingkat atau bahkan dihindari. Kedua, yang paling penting, sebuah pengakuan bersalah adalah hal
terdekat yang diperoleh penuntut untuk menguatkan tuduhannya. Pengakuan
bersalah menempatkan tersangka pada jalur cepat menuju keputusan bersalah. (50)
Pengakuan
bersalah menyebabkan angka keputusan bersalah sebesar 73%, secara signifikan
lebih tinggi dibanding angka keputusan bersalah yang dihasilkan oleh bukti kuat
kedua (kesaksian saksi mata). Pengakuan bersalah dinilai jauh lebih memberatkan
dibanding bukti-bukti dalam bentuk lain, dan juga dianggap sebagai sebuah bukti
yang pengaruhnya terhadap keputusan pengadilan paling kuat.(50)
Teknik-teknik
interogasi telah mengalami evolusi selama lebih sari satu abad. Richard Leo
(1992) manyatakan bahwa teknik-teknik interogasi semakin lama semakin canggih,
dari kekerasan fisik langsung (the traditional third degree), penyiksaan fisik
terselubung yang tidak meninggalkan jejak (covert third degree), sampai koersi
psikologis murni (psychological third degree). Bentuk-bentuk awal penganiayaan
fisik yang digunakan oleh petugas polisi kadang-kadang cukup imaginatif.
Sebelum tahun 1930, polisi seringkali menggunakan pukulan dan kebrutalan untuk
mendapatkan pengakuan bersalah dari tersangka. Pelbagai macam penyiksaan fisik
itu meliputi antara lain; memukul dengan tinju, gagang senjata, pipa karet, dan
pentungan polisi; membakar kulit dengan cerutu atau rokok; menggunakan kejutan
listrik, memelintir buah zakar, dan merenggut atau tersangka perempuan dengan mencengkeram rambutnya (Skolnick dan
Fyfe, 1993).
Siksaan
fisik dapat dikombinasikan dengan deprivasi, isolasi, dan intimidasi. Deprivasi
tidur adalah cara yang sangat efektif untuk menurunkan resistensi tersangka,
dan dengan menunda pemberian makanan, airm dan izin untuk pergi ke toilet juga
dapat membuat tersangka lebih mau mengaku. Isolasi di sel yang gelap dan dingin
(incommunicado) kadang-kadang digunakan untuk membujuk tersangka agar mau
mengaku.
Sejak
tahun 1961, pengakuan bersalah secara umum dianggap tidak dapat diterima jika
dinilai merupakan hasil paksaan berupa siksaan fisik, deprivasi tidur atau
makanan, isolasi dalam jangka panjang, ancaman kekerasan, janji mendapat
hukuman yang lebih ringan, atau janji dibebaskan dari tuntutan (54).
Rabu,
11 Desember 2013
Sembilan
langkah interogasi menurut pendekatan Inbau, Reid, Buckley, dan Jayne.
Langkah
pertama, interogator menghadapi tersangkaa dengan ringkasan
tindak kejahatan dan bukti-bukti (riil atau tiruan) yang menunjukan bahwa ia
terlibat dalam tindak kejahatan yang dimaksud. Langkah kedua,
interogator menawarkan beberapa kemungkinan
excuses (alasan yang dapat dimaklumi)
untuk tindak kejahatan yang dimaksud kepada tersangka. Tujuannya adalah
memberikan kesempatan kepada tersangka untuk menempatkan beban moral atas
kesalahan itu kepada orang lain. Langkah ketiga, interogator secara persisten
memotong pernnyataan tersangka yang berusaha mengingkari keterlibatannya dalam
tindak kejahatan yang dimaksud, lalu kembali ke moral excuses yang sebelumnya
ditawarkan. Langkah keempat adalah mengatasi penjelasan yang ditawarkan
tersangka untuk mendukung pengingkarannya. Misalnya, seorang yang dituduh
terlibat perampokan bersenjata mungkin menyatakan bahwa ia tidak memiliki
senjata api, atau bahwa ia tidak membutuhkan uang, atau bahwa sikap religiusnya
yang kuat mencegahnya untuk melakukan tindak kejahatan semacam itu. Langkah
kelima adalah upaya mengembalikan fokus perhatian tersangka, yang
mungkin menarik diri setelah menjalani proses interogasi yang panjang dan
intensif. Pada tahap ini, petugas harus tampak tulus dan memahami. Ia mungkin
mendekati tersangka dan menyentuhnya, misalnya menepuk bahunya atau jika
tersangkanya perempuan, memegang tangannya dengan lembut.saat prosesnya
mencapai langkah keenam, tersangka biasanya menunjukkan tanda-tanda
“menyerah” dan interogator disarankan untuk mempertahankan kontak-mata dengan
tersangka dan menggerakkannya ke arah pengakuan bersalah. Langkah ketujuh adalah
menyusun kembali isunya menjadi sebuah pilihan: melakukan tindak kejahatan
dimaksud dengan alasan yang kuat atau melakukan tindak kejahatan dimaksud tanpa
alasan yang kuat. Langkah kedelapan adalah mendapatkan pengakuan bersalah penuh. Langkah
kesembilan adalah menuliskan pengakuan bersalah lalu tersangka diminta
menandatanganinya. (59-60).
Dalam
analisis terhadap taktik-taktik interogasi, Saul Kassin dan Karlyn McNall
(1991) mengindentifikasikan dua strategi dua stategi dasar yang digunakan oleh
petugas polisi, yaitu maksimalisasi dan minimalisasi. Maksimalisasi dilakukan
dengan menekankan kekuatan bukti-bukti yang memberatkan terdakwa dan mengatakan
kepada terdakwa bahwa hukumannya mungkin sangat berat jika ia tidak mau mengaku
tindak kejahatannya. Minimalisasi dilakukan dengan mengatakan terhadap
tersangka bahwa tindak kejahatannya dapat dipahami dan dapat dibenarkan. Kedua
macam strategi ini menghindari janji-janji keringanan hukuman yang bersifat
langsung. Maksimalisasi menyiratkan ancaman hukuman berat dan minimalisasi
menyiratkan janji keringanan hukuman.(60)
Maksimalisasi
seringkali dilakukan dengan membuat tersangka terkesan dengan kekuatan
bukti-bukti yang melawan dirinya. Kadang-kadang memang ada bukti-bukti
(misalnya saksi mata yang melihat tersangka di tempat kejadian) yang
menunjukkan keterlibatan tersangka. Jika tidak ada bukti-bukti riil, polisi
seringkali berbohong tentang adanya bukti-bukti itu. Mereka mungkin mengatakan
bahwa mereka memiliki saksi mata, atau menemukan sidik jari, contoh rambut,
atau jejak ban yang mengaitkan tersangka pada tindak kejahatan yang dimaksud.
Polisi sangat kreatif dalam usahanya menyakinkan tersangka bahwa bukti-bukti
yang melawan dirinya cukup banyak. Richard Ofshe dan Richard Leo (1996)
mendokumentasikan beberapa macam usaha kreatif tersebut. Mereka mencatat bahwa
“...seorang investogator hanya dibatasi
oleh imajinasinya dan kemampuannya untuk berbohong secara menyakinkan”
(h. 1033) (61)
Minimalisasi
biasanya dilakukan dengan menyebutkan beberapa alternatif motif untuk melakukan
tindak kejahatan tertentu, yang secara moral tidak begitu memuakkan. Bahkan dalam kaitannya dengan tindak
kejahatan yang menjijikan seperti perkosaan, atau pencabulan terhadap anak,
interogator disarankan untuk bersikap simpatik kepada tersangka, misalnya
dengan mengatakan bahwa seseorang dalam situasi serupa mungkina akan melakukan
tindakan serupa, mungkin akan melakukan tindakan yang sama dengannya. (62).
Untuk kejahatan seksual, Inbau dan kawan-kawan menyarankan kepada interogator
untuk memberikan komentar-komentar seperti:
Sabtu,
14 Desember 2013
Pengakuan
bersalah palsu;
Amat
sangat sulit bagi kebanyakan orang untuk mengakui sebuah kejahatan yang tidak
dilakukannya.
Kita
tidak tahu – dan mungkin mustahil untuk mengetahui – berapa banyak pengakuan
bersalah yang sebenarnya palsu. Banyak terdakwa diputuskan bersalah hanya
berdasarkan pengakuan bersalahnya semata. Sebagian diantara mereka yang
menyatakan di dalam dan setelah persidangan bahwa pengakuan bersalah mereka
sebenarnya palsu – pengakuan bersalah itu adalah hasil tipuan, intimidasi, dan
penganiayaan yang dilakukan polisi terhadapnya. Kadang-kadang pengakuan
bersalah tersebut kelak terbukti palsu
ketika bukti-bukti fisik membuktikan bahwa si pembuat pengakuan bersalah
sebenarnya tidak bersalah atau menunjuk pelaku kejahatan yang sebenarnya. Tetapi,
yang jauh lebih sering terjadi, pengakuan bersalah itulah yang dipakai.
Biasanya mustahil untuk mengetahui apakah orang yang menyatakan dirinya tidak
bersalah benar-benar tidak bersalah. Karena kesulitan ini, estimasi untuk
pengakuan bersalah palsu amat sangat bervariasi, yaitu dari hanya 30 sampai 600
kasus per tahun (Kassin, 1997). (65)
Hal
yang benar-benar kita ketahui adalah bahwa sebagian besar pengakuan bersalah
palsu itu adalah pengakuan bersalah yang diperoleh dari orang-orang yang lemah
terhadap tekanan situasional yang kuat. Tersangka bisa tidak bersaya atau lemah
karena pelbagai macam sebab. Mereka mungkin masih muda, mudah didominasi, di
bawah pengaruh obat-obatan, bersikap submisif terhadap penguasa, memiliki
kecerdasan rendah, mengalami gangguan jiwa, kurang tidur, atau ketakutan. (66)
Haruskah
polisi diperbolehkan berbohong?
Pada
tahun 1986, police and criminal evidence
act (PACE) (Undang-undang kepolisian dan bukti-bukti kajahatan) menyatakan
bahwa tindakan menipu tersangka atau berbohong tentang bukti-bukti sebagai
cara-cara untuk menginduksi pengakuan bersalah tersangka adalah tindakan
ilegal. Semua wawancara dengan tersangka yang dilaksanakan di kantor polisi
harus direkam (suaranya) sehingga dapat dievaluasi oleh pengacara, hakim, dan
juri. Bullying, ancaman, dan intimidasi tidak diperkenankan, dan polisin
diharuskan memanggil orang dewasa yang memenuhi syarat sebagai saksi jalannya
wawancara dengan tersangka yang dianggap “lemah” (biasanya karena masih terlalu
muda atau karena inteligensinya rendah).(70)
Di
AS, pengadilan memberikan izin kepad polisi untuk berbohong selama interogasi.
Hampir tak ada keraguan bahwa kebohongan adalah senjata ampuh di gudang senjata
interogator. Tetapi, dengan melihat ke luar ruang interogasi, sebagian pengamat
khawatir bahwa kebohongan polisi akan menurunkan kepercayaan publik terhadap
polisi dan mengurangi kesediaan warga negara untuk bekerja sama dalam upaya penegakkan hukum.(slogobin,
1997) (72).
Selama
proses interogasi, sebagian tugas polisi adalah bertindak sebagai semacam alat
pendeteksi kebohongan manusia – meneliti dengan cermat perilaku nonverbal
tersangka, mencari adanya ketidakkonsistenan di dalam cerita tersangka, dan
memutuskan apakah tersangka berkata jujur.73.
Sabtu,
14 Desember 2013
Ada
banyak cara yang primitif yang digunakan untuk mendeteksi kebohongan tersangka.
Salah satu bentuknya adalah “trial by ordeal” (diadili dengan siksaan). Seorang
tersangka yang menolak mengakui tindak kejahatannya dipaksa mencelupkan
lengannya ke wadah berisi air mendidih untuk mengambil sebutir batu yang
terletak di dalamnya. Lengan yang melepuh itu kemudian diperban. Jika setelah
tiga hari luka bakar itu tidak terinfeksi, orang itu dianggap tidak berbohong
(Hans dan Vidmar, 1986).
Komentar